Wacana kenaikan harga bahan bakar minyak yang digulirkan pemerintah, dinilai lebih mementingkan perusahaan asing. Di lain pihak, SPBU Pertamina terancam bangkrut ditinggal pelanggannya yang beralih ke SPBU asing jika penghapusan subsidi BBM benar-benar terjadi. Indikasi tersebut sebenarnya telah terbaca ketika pemerintah mengesahkan undang-undang Migas tahun 2001 silam. Dalam peraturannya Pertamina bukan menjadi satu-satunya pemegang monopoli atas bahan bakar minyak dan gas. Selain menyebabkan sektor hulu atau tambang dikuasai asing, peraturan itu juga memicu MNC minyak untuk menguasai sektor hilir, yaitu perdagangan minyak nasional. Pemerintah sendiri saat ini telah memberi izin kepada 21 perusahaan asing. Di mana masing-masing perusahaan mempunyai izin untuk membuka 2000 SPBU. Di Jakarta saja, sekarang sudah ada Shell dari Belanda, Petronas dari Malaysia, dan Total dari Prancis. Tapi keberadaannya masih sepi pelanggan. Oleh karenanya, pengusaha asing ‘ngotot’ mengintervensi pemerintah untuk segera merealisasikan kebijakan penghapusan BBM bersubsidi. Rencana penghapusan subsidi ini, sedikit banyak juga memicu kekhawatiran SPBU Pertamina. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, yang selama ini menarik investor untuk membuka usaha ini adalah karena konsumen lebih memilih premium subsidi Pertamina dari pada BBM ber-oktan 92 yang dijual SPBU asing. Bagi pemain asing, hanya ada satu cara untuk dapat bersaing sempurna dengan Pertamina. Yakni, premium bersubsidi yang selama ini dimonopoli Pertamina, setidaknya harus memiliki kesamamaan harga dengan pertamax. Sehingga, bila nantinya masyarakat harus beralih ke pertamax atau bahkan pemerintah kemudian menghilangkan sama sekali subsidi BBM, pemain asing ini akan masuk. Lewat sedikit promosi ditambah dengan pelayanan dan fasilitas SPBU yang lebih modern dibanding Pertamina, dengan mudah MNC dapat mengalihkan pelanggan untuk ‘mengunjungi’ SPBU miliknya. Dalam menghadapi harga minyak dunia yang tinggi, seharusnya pemerintah tidak menghapus subsidi, melainkan membatasi jumlah kendaraan bermotor yang diproduksi pabrik. Selain itu, perbaikan sarana dan pelayanan moda transportasi massal dinilai menjadi solusi terbaik ketimbang harus menyerahkan perdagangan minyak kepada pihak asing. Kalau sudah begini, semakin jelas bahwa apa yang sedang dilakukan pemerintah adalah bukan bukan demi memajukan ekonomi bangsa, melainkan untuk memenuhi permintaan pengusaha asing dengan agenda liberalisasi migasnya. Tulisan ini dipublikasikan juga di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H