Mohon tunggu...
Melynia QA
Melynia QA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN KHAS JEMBER

ig : ___mellyyynnn

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema UU Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan atas UU Nomor 1 1974 tentang Perkawinan

19 Desember 2021   14:17 Diperbarui: 19 Desember 2021   14:28 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 atas perubahan Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan ketentuan atas  batas minimal boleh menikah yaitu laki-laki yang awalnya 19 tahun ditetapkan 19 tahun dan wanita yang awalnya 16 tahun di turunkan menjadi 19 tahun.
Perubahan ini tentunya di dasari akan alasan-alasan yang sudah dipertimbangkan oleh pemerintah.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didefinisikan, bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dari Undang-Undang tersebut maka menjadi alasan mengapa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini harus di revisi.
Di harapkan kenaikan batas umur yang lebih tinggi bagi wanita untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan keturunan resiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga diharapkan dapat terpenuhinya hak - hak atas anak termasuk pendampingan orang tua serta memberinakses terhadap anak akan pendidikan yang tinggi mungkin.

Namun, jika telusuri lebih lanjut menggunakan kacamata realita kita, perubahan atas Undang - Undang ini menimbulkan beberapa dampak yang kurang menguntungkan terhadap masyarakat terutama kalangan masyarakat Desa atau kampung.
Masyarakat desa yang menerima pinangan dari laki - laki (umur 16-17) maka dianggap anaknya sudah dewasa dan mereka beranggapan jika sudah dipinang tidak baik untuk berlama - lama dengan status tunangan, maka tidak jarang dikalangan masyarakat desa menikahkan anaknya tidak jauh dari hari mereka bertunangan.
Ketentuan Undang - Undang yang mengharuskan anak menikah di usia 19 tahun mengakibatkan angka nikah siri semakin banyak. Melalui analisa lapangan yang dilakukan di Desa Plerean Kecamatan Sumberjambe Kabupaten Jember, tidak jarang orang tua yang menikahkan anaknya secara bawah tangan atau nikah siri yang sudah kita ketahui bahwa nikah siri hanyalah merugikan pihak perempuan. Maka tidak jarang didapati dari pernikahan siri tersebut menimbulkan mudahnya perceraian bahkan ditinggal begitu saja. Mereka para orang tua beralasan bahwa jika anaknya terutama perempuan yang sudah bertunangan maka harus di segerakan menikah meskipun tidak memenuhi ketentuan hukum atau Undang - Undang. Mereka lebih khawatir anaknya hanya menimbulkan dosa dan menjauhi omongan tidak baik dari tetangga.


Pemerintah sudah memberi ketentuan atas dispensasi menikah yang diatur dalam pasal 7 ayat 2 UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang pengajuan dispensasi boleh menikah atas dasar mendesak.
Namun hal ini ternyata masyarakat sangatlah menyulitkan dan membutuhkan biaya untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama. Masih banyak juga masyarakat yang kurang pendidikan dan tidak tahu hukum, maka jalur nikah siri adalah jalan terbaik yang menurut masyarakat sana benarkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun