Bapak selalu asyik menengok pertandingan sepak bola, atau kadang-kadang badminton dari balik layar TV. Kakak menggerutu di depan laptop ketika bosnya meminta 'lembur' dan mengirimkan laporan keuangan secepatnya. Di sisi lain, ada ibu yang tengah fokus membaca pesan tips tradisional 'ampuh' mengobati gigitan ular, hasil forward teman SMA-nya di grup WhatsApp. Si kecil, keponakan satu-satunya hanya bisa mengobrol dengan boneka beruang di depan kipas angin listrik yang berputar. Sementara saya terobsesi untuk menatap layar smartphone sembari mendendangkan lagu-lagu One Direction.
Apa pesan yang ingin disampaikan dari rutinitas keluarga saya tatkala sore menjelang malam? Tidak ada, karena tidak terlihat istimewa, hanya nampak seperti cerita yang biasa saja. Namun, saya hanya menyoroti kebiasaan keluarga saya yang mungkin juga dialami keluarga lainnya. Sesuai judulnya yakni ketergantungan terhadap teknologi.
Sebentar, pasti banyak orang yang salah paham atau menolak argumen saya terkait teknologi. Hingga timbul narasi-narasi seperti, "memangnya kenapa kalau kecanduan teknologi? bukankah teknologi dapat membantu meringankan kehidupan manusia? Iya memang benar, saya akui. Terlebih lagi selama pandemi ini yang telah banyak mengubah aktivitas fisik menjadi berbasis digital.
Apabila banyak orang yang menjunjung teknologi dan dunia maya. Justru saya berbeda pemikiran (out of the box), tetapi bukan berarti saya ingin bertingkah anti mainstream. Saya hanya memegang teguh pepatah yang selama ini berkembang di masyarakat. 'Segala sesuatu yang berlebihan itu tidaklah baik, kecuali duit'. Hal ini juga berlaku bagi teknologi yang tidak hanya merenggut intensitas interaksi langsung antar manusia, tetapi juga keselamatan bumi tercinta.
Bagaimana Teknologi Menghancurkan Bumi Secara Perlahan?
Jika ingin mengikuti seminar, tidak perlu lagi datang ke gedung, cukup mendaftar webinar. Mempunyai jadwal kelas di perguruan tinggi? Hanya perlu duduk manis di dalam rumah bersama laptop. Apabila dahulu kerja jarak jauh sangatlah mustahil, justru kali ini Pemerintah menerapkan aturan #WorkFromHome. Ingin sejenak melepas penat dengan jalan-jalan ke tempat wisata? Bisa berpartisipasi pada virtual tour, melalang buana hingga penjuru negeri.
Tidak disangka, wabah yang datang tanpa diundang dan penuh kesengsaraan juga membawa hikmah. Selama pandemi ini, teknologi dipaksa untuk 'melibatkan diri' ke dalam sendi-sendi kehidupan manusia. Semua semakin mudah karena telah berubah menjadi virtual. Hingga banyak orang yang cukup perhatian terhadap isu lingkungan nampaknya semakin bergembira. Sebab banyak di antara kita yang beranggapan bahwa tranformasi aktivitas fisik menjadi digital sangatlah berdampak positif terhadap lingkungan. Benarkah seperti itu?
Berdasarkan hasil studi dalam Journal of Cleaner Production oleh Universitas McMaster, justru menyimpulkan fakta yang berbeda. Para peneliti mencoba menghitung jejak karbon dunia teknologi (mulai dari penyedia data atau server, laptop, personal computer, monitor, dan smartphone) pada tahun 2010 sampai 2020. Mereka menemukan bahwa jejak karbon dunia teknologi meningkat 3,5%, yaitu 125 megaton CO2 per tahun pada tahun 2020.
Sebuah smartphone yang selama ini diagung-agungkan manusia, nyatanya telah banyak menyumbang emisi karbon. Dari proses produksinya saja, sudah melibatkan berbagai jenis pertambangan seperti emas dan tembaga. Para peneliti Universitas McMaster menyebutkan bahwa jejak karbon pembuatan sebuah ponsel setara dengan 55 kg karbon dioksida.
Pemakaian smartphone rata-rata hanya selama dua tahun, karena adanya upgrade model terbaru yang digencarkan produsen. Setelah rusak, kebanyakan kita memperlakukan smartphone 'lem biru' (lempar beli baru). Hingga produksi limbah elektronik menyentuh angka 40-50 juta ton setiap tahunnya dan tidak terdaur ulang sebagaimana mestinya..
Belum lagi ketika kita terperdaya untuk selalu dan selalu menggunakannya. Sebab selama setahun bermain internet, listrik yang digunakan seperti mengendarai mobil bolak-balik Banyuwangi ke Tegal (kurang lebih 1.400 km). Contoh lainnya, ketika mengikuti 3-5 jam video konferensi melalui Zoom setiap hari selama 3 bulan, jumlah emisi karbon yang diproduksi sebesar 32,14 kg Co2.
Bahkan ketika menuliskan artikel ini di laptop, saya telah menghabiskan listrik sebesar 352 kWh selama satu jam. Belum lagi, jika menemui writer's block dan mengalami revisi berkali-kali. Bisa dibayangkan, ini masih satu alat elektronik saja. Bagaimana jika menggunakan beberapa elektronik sekaligus, berapa banyak emisi karbon yang terbentuk?
Tanpa Aturan Tertulis, 'Cukup Sadari dari Diri Sendiri'Â
Nol-bersih emisi (net-zero emissions) menjadi isu hangat semenjak Presiden Amerika, Joe Biden memperbincangkannya pada Climate Leader's Summit, April 2021 lalu. Net-Zero Emissions merupakan sebuah komitmen negara-negara di dunia untuk mencapai target nol-bersih emisi di tahun 2050.
Walaupun menggunakan kata 'zero', sesungguhnya suatu hal mustahil jika ingin memusnahkan karbon di bumi. Sebab, selama kita menghembuskan nafas saja, sudah menghasilkan karbon dioksida (Co2). Oleh karena itu, yang bisa dilakukan manusia adalah mengurangi emisi karbon.
Apabila perusahaan besar diminta untuk meminimalisir limbah karbon atau beralih menggunakan bahan bakar ramah lingkungan. Di tingkat individu, cukup lakukan hal-hal sederhana. Jadilah pribadi yang mawas diri dan peduli terhadap alam, salah satunya kurangi penggunaan teknologi.
'Mengurangi' pemakaian teknologi memang terdengar klise dan naif. Sebab ibarat dua sisi mata uang, perkembangan teknologi tentunya membawa manfaat positif dan juga dampak negatif. Semakin kita menjauhi teknologi, maka semakin mendekatkan diri pada ketertinggalan zaman. Namun, ketika kita terlampau bergantung kepada teknologi, nantinya akan membawa pada candu yang ternyata berimbas kepada 'kesehatan' bumi.
Namun, dalam upaya mendukung net-zero emissions, saya tetap mengisyaratkan kepada diri-sendiri dan sesama untuk bijak memanfaatkan teknologi. Setidaknya langkah nyata yang bisa ditempuh sebagai berikut.
#1 Reparasi Sebelum Beli
Kebanyakan dari kita selalu ingin menjadi yang terdepan dan terbaik, termasuk pula dalam penggunaan teknologi. Kita merasa bangga ketika memiliki barang elektronik model anyar. Alhasil, barang elektronik yang biasanya memiliki durasi pemakaian bertahun-tahun, hanya mampu bertahan sebentar (rata-rata satu sampai dua tahun). Selain menguntungkan pihak produsen, apa yang kita lakukan ini malah berakibat buruk pada jejak karbon.
Alih-alih takut ketinggalan zaman, lebih baik gunakanlah ponsel lama yang masih hidup dan layak pakai. Ketika menghadapi kendala terkait penurunan kualitas barang elektronik, sebaiknya lakukan reparasi. Selain menyelamatkan bumi dari jutaan ton limbah elektronik, perbaikan komponen dapat membuat kita menjadi lebih hemat.
#2 Kenali Produsen Barang Elektronik Ramah Lingkungan
Sebelum memutuskan membeli barang elektronik baru, pastikan untuk melihat keterlibatan suatu perusahaan terhadap dunia lingkungan. Lihatlah apakah produsen barang elektronik memiliki transparansi dalam proses pembuatannya? Menjelaskan secara detail supplier tentang bahan baku yang mereka gunakan. Menengok apakah mereka menerapkan aspek ramah lingkungan dalam desain barang elektronik yang dihasilkan? Lihatlah website resmi produsen barang elektronik, apakah mereka membuat produk dari bahan baku daur ulang? Apakah mereka memberikan layanan reparasi bagi konsumen? Bagaimana mereka mengelola limbah barang elektronik?
#3 Pilih Elektronik yang Menerapkan Spesifikasi Berkelanjutan
Tidak bermaksud mendiskretkan suatu merek, tetapi nyatanya jenis kabel charger yang digunakan juga berpengaruh terhadap dunia lingkungan. Dilansir dari Reuters, Uni Eropa berencana untuk menerapkan aturan penggunaan USB Type-C pada gawai seperti smartphone, tablet, dan headphone. Bukan tanpa alasan, sebab USB Type-C dinilai lebih ramah lingkungan karena mampu menghemat listrik hingga 293 juta dolar AS setiap tahunnya.
Bahkan untuk ukuran layar smartphone juga berpengaruh terhadap jumlah emisi karbon yang dihasilkan. Sebuah ponsel cerdas yang memiliki layar berukuran 6,4 inci, memproduksi 70 kg emisi karbon. Sementara ponsel berlayar 6,06 inci menghasilkan karbon lebih sedikit, yakni 62 kg.
#4 Pakailah Teknologi Sesuai Kebutuhan
Beberapa tahun lalu, kampanye Flight Shame begitu gencar dibicarakan. Fenomena ini digunakan untuk menyebut orang-orang yang tanpa rasa malu menggunakan transportasi udara. Walaupun menggunakan istilah dengan konotasi 'negatif', tetapi sesungguhnya hal ini memiliki tujuan positif. Banyak orang yang merasa bangga ketika menumpang pesawat, tanpa memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan (2509,08 kg Co2/tahun). Sehingga banyak penggiat lingkungan yang menyarankan (jika memungkinkan) untuk lebih memilih moda transportasi darat.
Sementara itu, saat di darat, kita (Orang Indonesia) cenderung menggunakan transportasi populer seperti mobil dan motor. Penggunaan sepeda sendiri baru booming ketika wabah COVID-19 datang. lmuwan Stanford University sempat menyentil Indonesia dengan menyebut kita sebagai negara paling malas berjalan kaki secara global (3.513 langkah/hari) pada tahun 2017. Hal ini menunjukkan bahwa kita terlalu bergantung kepada teknologi.
Pada skala penggunaan teknologi secara pribadi, Indonesia juga menang telak. KOMINFO (Kementerian Komunikasi dan Informatika) menyampaikan bahwa dari total 274 juta penduduk Indonesia, 202 juta orang (73%) diantaranya merupakan pengguna internet pada tahun 2020. Untuk pengguna smartphone, kita berada di peringkat empat dunia, yaitu sebesar 160,23 juta orang.
Oleh karena itu, untuk mengurangi perasaan bersalah kepada bumi, dalam penggunaan smartphone, cobalah untuk mengubah pengaturan dari HD ke resolusi lebih rendah ketika tidak dibutuhkan. Usahakan menggunakan Wi-FI dan matikan sistem download aplikasi otomatis. Hapuslah beberapa pesan di kotak email dan unsubscribe beberapa email marketing. Sebab, setiap 20 email masuk setiap hari selama setahun, dapat menghasilkan karbon dioksida yang jumlahnya seperti mengendarai mobil sejauh 1.000 kilometer. Matikan mode backup data setiap hari, lakukan backup beberapa minggu sekali saja.
Selain itu, direkomendasikan menggunakan energi alam, seperti tidak perlu menyetrika jika hanya untuk baju-baju kasual. Bukalah jendela di siang hari untuk merasakan kesejukan AC 'air cendela' alami dibandingkan kipas angin. Serta kegiatan-kegiatan lain yang sebisa mungkin meminimalisir penggunaan teknologi dan listrik.
Demikianlah pemaparan terkait dampak ketergantungan manusia kepada teknologi terhadap bumi. Inilah cara saya untuk mendukung wujud nyata net-zero emissions. Nah, kira-kira sejauh mana usaha yang kamu lakukan untuk mempercepat net-zero emissions?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H