© Melvi Yendra Harry memulai hari Senin itu dengan perasaan kesal. Bujangan 30 tahun itu sengaja bangun subuh-subuh agar tidak terlambat sampai di tempat kerjanya yang baru. Sebulan yang lalu ia di-PHK dengan alasan efisiensi dari sebuah perusahaan auto-finance dengan pesangon yang lumayan. Ia dibangunkan oleh alarm telepon genggamnya pada pukul 4 pagi, dan bergegas menyiapkan diri. Harry tidak ingin hari pertamanya di perusahaan penjual perangkat lunak MetroData berantakan. Setelah minum segelas susu dan sepotong roti bakar yang ia buat sendiri, Harry keluar dari flatnya. Sudah bertahun-tahun Harry hidup sebatang kara. Seluruh keluarganya menjadi korban bencana tsunami beberapa tahun yang lalu. Jadi, ia tinggal sendirian di kota itu, menyewa sebuah flat di sebuah gedung tua delapan lantai di pinggiran kota. Untuk naik dan turun dari flatnya yang ada di lantai tujuh, Harry biasa menggunakan lift. Tapi akhir-akhir ini lift yang cuma satu-satunya itu sering rusak. Pengelola gedung enggan memperbaiki lift tua itu karena biayanya besar. Sementara uang yang didapatnya dari gedung tua itu tidaklah banyak: flat-flat yang ada terisi tidak sampai seperempatnya. Lagi pula gedung itu konon sudah dijual kepada sebuah perusahaan asing yang berencana mengganti gedung tua itu dengan sebuah gedung perkantoran, tahun depan. Harry melangkah cepat melintasi flat-flat di lantai tujuh yang tak berpenghuni. Beberapa lampu sudah tidak berfungsi dan tampaknya belum akan diganti dalam waktu dekat. Koridor di luar pintu-pintu flat masih lengang. Di lantai tujuh hanya ada tiga penyewa. Selain Harry sendiri, ada seorang karyawati sebuah bank swasta dan sebuah keluarga kecil dengan empat anak. Di lantai-lantai lain keadaannya tidak jauh berbeda. Satu lantai hanya diisi dua atau tiga penyewa. Di siang hari saja, gedung ini sepi sekali. Apalagi pada pukul lima pagi. Harry sampai di depan lift. Nyaris saja ia berteriak kegirangan. Lift itu dalam keadaan menyala. Itu artinya lift itu bisa digunakan. Harry menekan tombol yang sudah tak jelas bentuknya. Pintu lift yang berwarna silver berderak terbuka. Memang tidak mulus seperti lift di gedung-gedung mewah, tapi Harry tidak peduli. Ia masuk ke ruang sempit berukuran 2 x 1,5 m itu lalu menekan tombol “close”. Pintu lift menutup dan dengan suara sedikit gaduh, lift itu mulai bergerak turun. Harry meletakkan tas kerjanya di lantai, mengeluarkan telepon genggamnya dan menulis pesan singkat untuk Rue, pacarnya. Semalam Rue mengirimkan ucapan selamat bekerja di tempat yang baru untuk Harry. Karena ketiduran, Harry belum sempat membalas pesan itu, dan ia pikir sekaranglah saat yang tepat untuk melakukannya. Terima kasih, Rue. Semoga aku bisa sampai di kantor tepat waktu. Doakan aku tidak terkena PHK lagi. Love, Harry-mu. Harry mengirim SMS itu dan tak lama kemudian, sebuah pesan masuk. Itu pasti report-nya, pikir Harry. Dia membuka inbox dan ia salah. Yang muncul di layar adalah pesan bahwa pesan tidak bisa dikirim karena pulsa sudah habis. “Sialan!” kata Harry nyaris berteriak. Ia lupa mengisi kembali pulsa kartunya. Semoga Rue memaafkanku kali ini, pikirnya. Rue memang sering memarahinya karena selalu lupa mengisi kembali pulsa telepon, apa lagi di saat-saat penting. Sambil menyimpan kembali telepon genggamnya di saku celana, Harry menatap deretan angka-angka di atas pintu lift. Angka lima sekarang sedang menyala. Lamban sekali, pikir Harry. Lift itu mengeluarkan suara berdengung. Walaupun gerakannya lamban, Harry bisa merasakan benda itu bergetar halus di kedua kakinya. Ketika angka empat menyala di atas pintu, getaran halus itu tiba-tiba lenyap. Harry mulanya berpikir, ada calon penumpang di lantai tiga yang ingin bergabung dengannya. Tapi setelah sekian lama, pintu lift tidak kunjung membuka, tapi lift juga tidak bergerak sama sekali. Harry menunggu dengan sabar. Tapi setelah satu menit lebih berlalu tanpa ada apa-apa, ia mulai panik. Harry dengan cemas menatap angka 4 di atas pintu yang berkedip-kedip. Ada apa ini? pikir Harry. Lampu di dalam lift tiba-tiba padam, begitu pula angka empat di atas pintu. Keadaan di dalam lift mendadak gelap-gulita. Dengan refleks Harry memencet tombol “open”. Tapi tak ada apa-apa. Harry menggedor-gedor pintu lalu berteriak-teriak panik. “Tolong! Tolooong!!! Apakah ada orang di luar sana? Hallo?” Hening. Tidak terdengar apa pun. Harry menunggu. Ia berpikir positif bahwa semua ini tidak perlu membuatnya panik berlebihan. Ini kejadian biasa yang bisa terjadi di lift mana pun. Pasti ada yang mendengar teriakanku, pikir Harry. Ia yakin sekali akan hal itu. Setelah tahu ada yang terjebak di dalam lift, salah seorang tetangganya akan segera memanggil pengelola gedung yang dalam beberapa menit sampai di depan pintu lift sialan ini bersama serombongan anggota pemadam kebakaran. Dalam setengah jam atau paling lama satu jam, ia akan bisa keluar dari lift dan bisa berangkat ke kantor. Tentu saja sebelum itu ia harus berbasa-basi sedikit dengan pengelola gedung, mengatakan sebaiknya lift ini diganti secepatnya. Di kantor, akan ada banyak pertanyaan dari bosnya yang baru—tentu saja—tapi ia punya alibi yang kuat berikut puluhan orang saksi yang akan membenarkan kata-katanya. Dan setelah semua ini berlalu, ia berjanji tidak akan pernah menggunakan lift sialan ini lagi untuk selama-lamanya. Bahkan kalau perlu ia akan pindah dari flat tuanya itu dan mencari tempat tinggal yang lebih layak untuknya, dengan catatan, flatnya yang baru nanti tidak berada di gedung tua dengan lift rusak seperti ini! Harry kemudian sadar bahwa teriakannya takkan bisa di dengar siapa pun. Ini masih pukul lima pagi. Sepagi ini tidak ada penghuni flat lain yang berkeliaran di koridor. Karena lift ini sering rusak, hanya penghuni di lantai enam, tujuh, dan delapan saja yang sering menggunakannya. Itu pun tidak semuanya. Penghuni di lantai yang lebih rendah, lebih suka menggunakan tangga untuk naik dan turun dari flat mereka. Ia mungkin bisa menunggu seseorang. Tapi sampai berapa lama? Harry maju setengah langkah, menempelkan telinganya serapat mungkin ke pintu lift yang dingin, dan berkonsentrasi. Tapi ia tidak mendengar suara apa pun. Jadi, ia benar-benar dalam kesulitan sekarang. Harry duduk di lantai. Matanya mencari-cari dalam kegelapan. Sesaat ia merasa seperti berada dalam kuburnya sendiri. Napasnya terasa sesak. Entah karena rasa takutnya atau karena udara dalam lift yang terbatas. Harry tiba-tiba ingat sesuatu. Ia cepat-cepat mengeluarkan ponselnya, siap memencet nomor Rue, tapi sedetik kemudian ia ingat bahwa benda itu tidak ada pulsanya. Harry kecewa. Apa yang bisa kulakukan sekarang? pikirnya sambil menatap ponselnya itu. Seandainya saja Rue meneleponnya sekarang. Seandainya saja tadi ia turun pakai tangga saja. Seandainya ... Harry mendengar suara-suara dari luar. Tapi ia tidak yakin apakah suara itu berasal dari atas atau bawah pintu lift. Hanya saja, ia yakin mendengar suara-suara langkah sepatu di koridor. Suara itu terdengar konsisten, makin lama makin terasa dekat ke arahnya. Ketika suara itu hilang, Harry mendengar—walau tidak terlalu jelas—suara orang berbicara di luar lift, “Sial! Liftnya rusak lagi! Bagaimana sih, gedung ini dikelola?” Itu suara laki-laki. Harry cepat-cepat bangkit dari lantai, tangannya memukul-mukul pintu lift sambil berteriak keras-keras. “Hallo? Apa ada orang di luar? Tolooong ...! Tolong saya! Saya ada di sini. Hei! Hallo? Apa Anda dengar suara saya?” Harry berteriak sekuat tenaga. Ia juga menghantam pintu dengan tangannya. Tapi tak ada sahutan dari luar. Siapa pun yang ada di luar sana, seperti tak mendengar teriakan keras Harry. Tapi masa sih tidak dengar? Kalau ia bisa mendengar suara mereka, kenapa mereka tidak bisa mendengar teriakannya? Orang-orang itu kemudian pergi. Suara sepatu mereka terdengar makin lama makin kecil, sampai akhirnya tidak terdengar lagi sama sekali. Harry menarik napas dalam-dalam, lalu melepaskannya. Ia dengan kecewa kembali duduk di lantai. *** Satu jam telah berlalu ... Harry mengangkat kepalanya dari atas lutut. Uh, aku ketiduran, ucapnya dalam hati. Ia menatap kegelapan di sekelilingnya. Belum ada perubahan apa pun dengan lift itu. Ia masih terkurung di sana. Sendirian. Dalam kegelapan pula. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Seseorang menghubungiku! jeritnya dalam hati. Cepat-cepat ditariknya keluar ponsel itu dari dalam saku celananya. “Hallo?” “Apa kami bicara dengan Pak Harry?” Suara seorang perempuan. Harry cepat-cepat berdiri dan bersemangat. “Ya, betul. Maaf ini dengan siapa?” Harry berkata cepat. Napasnya memburu. Siapa pun yang meneleponnya, ia harus cepat-cepat meminta pertolongan. “Bisakah Anda ...?” “Maaf Pak Harry, kalau saya mengganggu Anda. Saya Michelle dari dari Central Vision Credit Card, ingin menawarkan fasilitas kartu diskon kepada Bapak, yang dapat digunakan untuk diskon hotel, tiket penerbangan, restoran, bengkel, derek mobil, salon, klinik ...” wanita di seberang sana terus bicara tanpa mendengarkan kata-kata Harry. “Tolong dengarkan saya sebentar ...” Harry memotong. Wanita itu berhenti bicara. “Ya, kenapa Pak Harry?” “Saya butuh bantuan Anda sekarang juga. Saya sedang terjebak dalam sebuah lift yang sedang rusak. Saya butuh ...” “Aduh, maaf, Pak ... saya ...” Wanita di seberang sana tampak ragu-ragu. Harry mulai panik. “Tolong, please ... jangan tutup teleponnya! Tolong dengarkan saya! Saya butuh bantuan Anda ...” Klik! Harry mendengar telepon ditutup. “Sial!” Harry menghantam pintu lift dengan kaki kanannya. Ia membanting tasnya ke lantai. Digenggamnya ponselnya kuat-kuat. Hampir saja benda itu dibantingnya ke lantai, kalau tidak tiba-tiba bergetar kembali. Harry melihat ke layar kecil pada ponselnya. Itu Rue! teriaknya girang. “Rue ...!” teriaknya. “Harry, kamu ada di mana?” Harry menarik napas lega. “Rue ... untung kamu meneleponku. Aku sekarang ada di ...” Terdengar suara bib-bib-bib menandakan batere ponsel tidak akan bertahan lama. Suara Rue terdengar kesal. “Kenapa kamu tidak balas SMS-ku? Kamu tidak punya pulsa lagi ya ...?” Harry semakin panik. “Rue ... dengarkan aku dulu. Aku terjebak ...” Bib-bib-bib! Ponsel Harry tiba-tiba mati. Ia tidak lagi mendengar dengung elektronis dari benda itu. Ia cepat-cepat menghidupkan kembali ponselnya dan menunggu Rue menelepon ulang. Tapi baru beberapa detik, benda itu mati kembali. Baterenya benar-benar tidak kuat lagi. Sekali lagi Harry berteriak dan menghantam pintu lift dengan kakinya. Kali ini lebih kuat dan lebih keras. Bodoh! hardiknya pada diri sendiri. Seharusnya aku tidak masuk ke lift sialan ini. Seharusnya aku sudah pindah sejak dulu dari apartemen penuh cecurut ini. Seharusnya ia mengikuti nasihat Rue untuk selalu mengisi pulsa ponselnya bila telah habis. Seharusnya ia semalam men-charge batere ponselnya sehingga ia bisa memberitahu Rue keberadaannya. Tapi semuanya sudah terlambat. *** Dua minggu kemudian Rue keluar dari flat milik Harry bersama Mr. Cayman, orang yang diberi tanggung jawab mengelola gedung apartemen tua delapan lantai itu. “Dua minggu yang lalu saya masih bicara dengannya lewat handphone. Tapi kemudian pembicaraan tiba-tiba terputus. Setelah itu saya tidak pernah lagi bisa menghubunginya. Ia juga tidak pernah datang ke kantornya yang baru. Harry seakan-akan lenyap di telan bumi,” kata Rue. “Saya menerima laporan dari petugas satpam di pintu masuk, bahwa dua minggu terakhir ini Pak Harry tidak pernah lagi terlihat di sini.” “Tidak ada kabar dari rumah sakit atau polisi?” tanya Rue. Ia mengiringi langkah Mr. Cayman menyusuri koridor. Rue khawatir terjadi apa-apa terhadap Harry. Kecelakaan, misalnya. “Sayangnya, belum, Nona Rue,” sahut Mr. Cayman simpatik. Mereka berhenti di tengah-tengah koridor. “Kalau begitu, saya permisi, Pak Cayman,” kata Rue sambil memberikan kartu namanya. “Kalau ada kabar tentang Harry, tolong hubungi saya di nomor ini.” Mr. Cayman mengangguk. “Oya, kenapa liftnya tidak diperbaiki?” Rue menatap tulisan “Out of Order” di pintu lift, tak jauh dari tempatnya berdiri. “Tanggung. Beberapa bulan lagi gedung ini akan diruntuhkan.” “Oya?” Mr. Cayman mengangguk. “Sampai jumpa, Nona Rue. Tidak apa-apa kan Anda turun sendiri?” Rue menganggukkan kepalanya kemudian meneruskan langkah. Ketika melewati pintu lift, ia merasakan sesuatu yang aneh. Semacam rasa dingin yang membuat kita menggigil di musim salju. Tapi Rue tidak mengacuhkannya. *** Tiga bulan kemudian, ketika gedung itu selesai diruntuhkan, seorang pekerja bangunan menemukan sebuah telepon genggam di balik reruntuhan. Walau penuh debu, benda itu tampak masih baik keadaannya. Ia mengantongi benda itu, kemudian meneruskan pekerjaannya.[] Cerpen saya lainnya bisa dibaca di http://melviyendra.blogspot.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H