Teori disonansi kognitif adalah konsep dalam psikologi yang dikemukakan oleh Leon Festinger pada tahun 1957. Teori ini mengacu pada ketidaknyamanan mental yang muncul ketika seseorang memiliki dua keyakinan atau pemikiran yang saling bertentangan atau tidak konsisten. Dalam situasi ini, seorang individu mungkin akan merasa tegang atau tidak nyaman karena adanya disonansi kognitif. Untuk mengurangi disonansi kognitif itu sendiri, mereka dapat melakukan beberapa tindakan, seperti mengubah salah satu keyakinan atau pemikiran mereka. Teori disonansi kognitif telah banyak digunakan untuk memahami setiap perilaku orang-orang dalam berbagai konteks, termasuk pengambilan keputusan, persuasi, dan perubahan sikap.
Teori disonansi kognitif itu sendiri seringkali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya, ketika seseorang mengetahui bahwa mereka seharusnya menghemat uang saku dan berusaha tidak menghabiskan uang itu untuk sesuatu diluar kebutuhan. Namun, mereka cenderung terus menghabiskan uang tersebut untuk hal-hal yang tidak penting. Selain itu, kasus yang sering terjadi adalah ketika seorang individu telah lulus dari perguruan tinggi dan akan masuk ke dunia kerja. Biasanya mereka memilih profesi pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan bakat mereka masing-masing yang pada akhirnya dapat menciptakan konflik kognitif dalam kehidupan sehari-hari. Dan tidak hanya itu, konflik disonansi kognitif juga dapat terjadi dalam hubungan interpersonal yang akan dibahas dalam artikel ini yaitu masalah perselingkuhan dalam hubungan percintaan seseorang.
Seseorang yang terlibat dalam perselingkuhan mungkin memiliki keyakinan atau nilai-nilai yang berlawanan dengan tindakan mereka. Misalnya, mereka mungkin tahu bahwa selingkuh adalah perbuatan yang salah, dan dapat menyakiti pasangan mereka, atau bertentangan dengan nilai-nilai kepercayaan mereka tentang komitmen dalam hubungan. Untuk mengurangi perasaan tidak nyaman ini, individu yang selingkuh mungkin mencari pembenaran atau rasionalisasi. Salah satu contohnya yaitu ketika mencari pembenaran, mereka biasanya berusaha untuk menggiring opini teman terdekatnya yang kemudian menciptakan pemikiran yang sama dengan dirinya. Mereka mungkin berusaha meyakinkan diri mereka bahwa selingkuh adalah suatu kebutuhan, bahwa pasangan mereka tidak memahami mereka, atau bahwa perselingkuhan itu disebabkan karena pasangannya kurang memberikan perhatian dan juga kasih sayang pada dirinya.
Selanjutnya, orang yang selingkuh mungkin terlibat dalam perilaku tambahan untuk mengurangi disonansi kognitif mereka. Ini bisa termasuk merahasiakan perselingkuhan, mengurangi kontak dengan pasangan mereka, atau mencari pembenaran lebih lanjut dengan meyakinkan diri mereka bahwa mereka "layak" untuk melakukan perselingkuhan. Sayangnya, dalam beberapa kasus, perselingkuhan dapat memperkuat disonansi kognitif. Semakin lama perselingkuhan berlangsung, semakin sulit bagi individu itu untuk mengakui bahwa tindakan mereka salah. Mereka mungkin semakin merasa terjebak dalam perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai mereka yang kemudian menyebabkan perselingkuhan tersebut dapat bertahan lama dan terus berlanjut.
Dalam konteks ini, kita dapat memahami bahwa disonansi kognitif itu sendiri dapat membuat seseorang melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan keyakinan awal mereka baik dalam hal yang baik maupun hal yang buruk. Berdasarkan apa yang telah dijelaskan di atas disonansi kognitif dapat memberikan gambaran kepada kita mengapa seorang individu bisa terlibat dalam sebuah perselingkuhan meskipun mereka tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah perbuatan yang salah. Perasaan konflik antara pengetahuan bahwa perselingkuhan itu salah dan tindakan nyata selingkuh menciptakan ketidaknyamanan psikologis, dan individu cenderung mencari berbagai macam cara untuk mengurangi disonansi ini, bahkan jika itu melibatkan pembenaran yang tidak rasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H