(Draft peraturan tata tertib peliputan pers pada kegiatan DPR RI,
Bentuk Perlawanan Koruptor Terhadap Kebebasan Informasi Bagi publik)
Rancangan atau draf peraturan tata tertib peliputan pers pada kegiatan DPR RI telah memberikan guncangan besar. Mulai dari peliput (wartawan), media baik cetak maupun elektronik dan Dewan Pers juga AJI bereaksi keras. Di tengah tuntutan kebebasan pers sejak era reformasi telah mulai menggeliat kembali, kini datanglah draft peliputan di DPR ini untuk kembali mengekang kebebasan yang baru mulai di rasakan insan pers. Sejatinya peraturan tata tertib di buat demi kelancaran suatu proses agar dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan aturan yang di buat tersebut. Namun melihat beberapa pasal yang di buat ternyata memang bertentangan dengan maksud dan tujuan yang sesungguhnya dari sebuah peraturan. Kepentingan sponsor lebih jelas dalam draft ini menunjukkan bahwa pelaku pembuat peraturan di negeri ini sudah tidak malu-malu lagi untuk berbuat curang. Bentuk perlawanan yang memalukan ini adalah reaksi keras DPR, dengan gencarnya pemberitaan di berbagai media mengenai kasus-kasus korupsi yang telah melanda seluruh komisi di DPR. Memang Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan bahwa tatib itu tak akan membatasi kerja jurnalis, namun yang terjadi bukan saja pembatasan tetapi lebih dari itu. Pasal-pasal dalam tatib tersebut adalah pengekangan pers, isi pasal-pasal tersebut jelas merupakan pembunuhan secara keji terhadap kebebasan informasi yang nota bene merupakan hak rakyat banyak untuk mendapatkan informasi yang jujur. Bahkan dengan berani mempertontonkan tindakan yang menentang Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan pasal-pasal yang di buat dalamdraf peraturan tata tertib peliputan pers pada kegiatan DPR RI. Nuansa pengekangan jelas dilihat pada pasal Pasal 6 ayat 4, yang menyebutkan bahwa wartawan bisa mendapatkan kartu peliputan di DPR dengan menyerahkan contoh berita tentang DPR kepada Sekretariat Jenderal DPR. Bukan saja wartawan yang tak pernah meliput di DPR tidak bisa mendapatkan kartu, namun besar pula kemungkinannya bahwa wartawan yang pernah menulis berita "miring" tentang DPR tidak akan mendapatkan kartu peliputan. Masih di pasal 6, wartawan yang hendak mengajukan kartu peliputan di DPR wajib mengisi kolom jumlah penghasilan mereka. Untuk apa? Besar kemungkinannya para anggota Dewan ini hendak menakar berapa harga para wartawan ini bisa di ajak "nego" agar tidak menerbitkan berita miring tentang DPR. Tidak hanya itu, di Pasal 8 huruf F bahkan DPR pun telah melarang wartawan melakukan kegiatan yang selama ini mereka pertontonkan dalam rapat-rapat di berbagai komisi yaitu menggunakan handphone. Namun jika saja draf peraturan tata tertib peliputan pers pada kegiatan DPR RI akhirnya di syahkan. Sebenarnya dengan segala keterbatasan wartawan yang meliput di DPR tersebut masih menyisakan satu hal yang belum di larang bagi wartawan. Hal yang juga adalah kebiasaan anggota DPR dalam berbagai rapat komisi maupun rapat paripurna. Satu-satunya hal yang tidak dilarang oleh DPR adalah tidur, karena mungkin mereka sendiri masih sangat menginginkannya.
Sumber berita: Metro TV, Kompas.com, Tribunnews.com, detik.com, seputar-indonesia.com dan antara.com.
Salam hangat
D' Chand Ra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H