Membangun Stabilitas Sistem Keuangan Dengan Kebijakan Makroprudensial
A. Pendahuluan
Baru-baru ini kata makroprudensial menjadi ramai dibicarakan, hal ini terjadi karena kata ini telah menjadi “magic words” bak abrakadabra oleh Janet Yellen (Gubernur Federal Reserves) dan Christine Lagarde (Direktur IMF) dalam acara “Michel Camdessus Central Banking Lecture on Financial Stability”, Juli 2014. Menurut Yellen dan Lagarde ancaman stabilitas sistem keuangan akibat kekhawatian terjadinya bubble yang berasal dari kebijakan Quantitative Easing (QE) dapat diatasi melalui kebijakan makroprudensial (WSJ, 2014).
Apakah kebijakan makroprudensial itu ? Bank Indonesia(2014) dan IMF (Lim et al, 2011) mengartikan makroprudensial sebagai Bagian dari Kebijakan Utama yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang bagi sektor perekonomian, serta meningkatkan akses dan efisiensi sistem keuangan dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan, serta mendukung stabilitas moneter dan stabilitas sistem pembayaran. Kebijakan makroprudensial dibagi menjadi tiga tipe Credit-related, Liquidity-related, dan Capital-related (Lim et al, 2011).
Berdasarkan PBI NOMOR 16/11/PBI/2014 Bank Indonesia diberikan mandat pengaturan dan pengawasan makroprudensial demi terjaganya stabilitas sistem keuangan yaitu Kondisi dimana institusi keuangan dan pasar keuangan berfungsi secara efektif dan efisien serta mampu bertahan terhadap kerentanan internal dan eksternal sehingga alokasi sumber pendanaan atau pembiayaan dapat berkontribusi dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
B. Kenapa Menggunakan Kebijakan Makroprudensial ?
Dalam acara “Michel Camdessus Central Banking Lecture on Financial Stability”,Janet Yellen (2014) menyatakan bahwa kebijakan pengetatan moneter pada pertengahan tahun 2000-an tidak dapat mengatasi masalah krisis subrpime mortgage tahun 2008. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat populer yang menyatkan bahwa rendahnya tingkat suku bunga Federal Reserves (The Fed) menjadi pemicu bubble properti, tingkat leverage berlebih di sektor swasta, dan tingkat ketergantung yang tinggi terhadap pendanaan jangka pendek yang berakhir pada krisis subprime mortgage tahun 2008. Menurut Yellen (2014), kebijakan moneter merupakan alat yang tumpul untuk mengatasi masalah tersebut. Kenaikan tingkat suku bunga memang menekan kenaikan harga rumah pada saat itu. Akan tetapi, kenaikan tingkat suka bunga The Fed berarti kenaikan cicilan hutang yang ditanggung rumah tangga serta meningkatkan tingkat pengangguan. Hal tersebut memberikan adverse effect yaitu penurunan kemampuan rumah tangga untuk membayar cicilan rumahnya tersebut (Yellen, 2014). Oleh karena itu kebijakan moneter memiliki kelemahan serius.
Kebijakan makroprudensial dapat menjadi solusi dari beberapa kelemahan kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Sebagai contoh, Pada suatu negara yang rentan akan arus modal yang masuk serta fluktuasi nilai tukar, pinjaman dalam mata uang asing yang berlebih akan menjadi ancaman stabilitas sistem keuangan mereka. Kondisi tersebut menjadi rumit saat tingkat inflasi di negara tersebut dibawah target inflasi otoritas terkait.
Kondisi tersebut menjadi kelemahan bagi kebijakan moneter. Kebijakan berupa pengetatan moneter bisa saja mengurangi tingkat kredit dalam mata uang asing yang berlebih akan tetapi dampaknya malah membuat tingkat inflasi makin jauh lebih rendah dari yang ditargetkan dan bisa memberikan adverse effect. Oleh karena itu, kebijakan makroprudensial dapat menjadi solusi melalui kebijakan pembatasan jumlah kredit dalam mata uang asing. Dengan begitu, tingkat kredit dalam mata uang asing yang menjadi ancaman stabilitas sistem keuangan terjaga sedangkan tingkat kredit dalam mata uang lokal yang dapat mendorong inflasi menuju yang ditargetkan tidak berkurang.
Atau contoh yang ada di Indonesia, Pemerintah maupun Bank Indonesia khawatir terhadap bubble properti. Disisi lain, tingkat suku bunga yang ada sudah terlalu tinggi sehingga kalau dinaikkan lagi takut mencekik para peminjam dan meningkatkan NPL serta memperlambat pertumbuhan ekonomi. Kondisi tersebut menjadi serba salah, dalam perspektif moneter, kekhawatiran bubble properti dapat ditekan melalui kenaikan tingkat suku bunga. Akan tetapi, kebijakan meningkatkan tingkat suku bunga memiliki dampak negatif yang lebih besar sehingga kebijakan tersebut menjadi undesirable. Oleh karena itu, kebjakan yang paling tepat bagi Bank Indonesia adalah melalui kebijakan makroprudensial yaitu Loan to value (LTV). Kebijakan ini akan menekan jumlah kredit KPR sehingga dapat menekan kenaikan harga aset properti yang sudah terlalu tinggi.
Beberapa negara telah berhasil menggunakan kebijakan makroprudensial dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Di New Zealand, otoritas mengeluarkan kebijakan markoprudensial berupa Minimum liquidity mismatch ratio dan Minimum core funding ratio untuk mengurangi tingkat risiko likuditas perbankan. Hasilnya, tingkat wholesale funding dalam struktur perbankan di New Zealand meningkat. Dimana peningkatan wholesale funding ini memberikan stabilitas pada likuiditas perbankan sehingga kontribusi bank terhadap risiko sistemik rendah (Adrian dan Brunenrmeier, 2011).
Indonesia sendiri telah berhasil mengimplementasikan kebijakan makroprudensial. Contoh yang kita rasakan sendiri adalah kebijakan Loan to Value Ratio (LTV) untuk KPR dan Down Payment (DP) untuk KKB. Dimana kondisi pertubumhan kredit KPR pada saat itu mencapai 40% dan tingkat kegagalan kredit KKB mencapai 10%. Setelah penetapan LTV terlihat tingkat pertumbuhan kredit KPR yang berkurang. Lihat grafik 1
Grafik.1
sumber: DKPM-Bank Indonesia
C. Bagaimana Memilih dan implementasi kebijakan makroprudensial
Kebijakan makroprudensial terdiri dari berbagai macam. Oleh karena itu adalah tugas selanjutnya adalah bagaimana memilihnya. Pilihan tersebut tergantung dari tujuan yang ingin dipilih Apakah bertujuan untuk mengatasi risiko tingginya pertumbuhan kredti, tingkat leverage yang tinggi, masalah likuiditas, dan volatilitas arus modal dan fluktuasi nilai tukar. Lihat Grafik 2.
Grafik 2.
Jadi, Jikalau yang menjadi tujuan adalah mengatasi risiko akibat tingkat pertumbuhan kredit yang tinggi maupun kenaikan harga aset yang tak normal seperti bubble harga properti maka kebijakan yang sesuai adalah credit-related instruments seperti LTV (loan to Value). Kebijakan LTV juga dapat dilengkapi dengan kebijakan lainnya seperti reserve requirement untuk mengatasi credit boom secara umum.
Selanjutnya jika yang menjadi tujuan adalah mengatasi risiko akibat tingkat leverage yang terlalu tinggi maka kebijakan yang dipilih adalah capital-related instruments. Ukuran ini dapat memberikan countercyclical capital buffer bagi sistem perbankan. Saat pada saat siklus boom otoritas terkait dapat menentukan kenaikan tingkat capital requirement atau provision pada perbankan. selain itu, kebijakan ini juga bisa dilengkapi dengan credit-related instruments jika yang menjadi penggerak utama dari kenaikan tingkat leverage bank adalah kenaikan kredit.
Begitupula jika yang tujuan adalah risiko likuiditas maka kebijakan yang diambil adalah liquidity-related instruments seperti pembatasan maturity mismatch ataupun pembatasan net open currency position.
Yang terakhir adalah adalah risiko capital flows. Untuk mengatasi risiko tersebut maka ketiga instrumen diatas dapat digunakan sebagai kebijakan makroprudensial. Seperti pembatasan net open currency posiition yang membatasi tingkat ketergantungan sektor keuangan terhadap sumber pendanaan dari luar negeri. Begitupula dengan credit-related instruments jika yang menjadi sumber pertumbuhan kredit yang berlebih membuat bank meminjam dana dari luar negeri. Dalam konteks tersebut maka capital-related instruments dapat berguna untuk membatasi tingkat pertumbuhan kredit dan memberikan buffer.
Dalam mengimplementasikan kebijakan makroprudensial ada beberapa pertimbangan penting. Pertimbangan tersebut mempengaruhi tingkat keberhasilan desain dan kalibrasi instrumen makroprudensial. Pertimbangan tersebut adalah:
· Broad-based versus targeted
· Fixed versus time-varying
· Rules versus discretion
· Coordination with other policies
C.1. Single Versus Multiple
Kita tidak hanya dapat memilih salah satu kebijakan makroprudensial akan tetapi juga dikombinasikan satu sama lain. Hal tersebut akan mengatasi maslaah beberapa sumber risiko sekaligus. Akan tetapi, penggunaan secara kebijakan makroprudensial secara bersama-sama sekaligus akan memberikan beban biaya besar kepada bank. Selain itu, penggunaan kebijakan makroprudensial secara bersama-sama juga akan memberikan kesulitan dalam mengkalibrasi dan mengkomunikasikannya. Oleh karena itu, dalam implementasi kebijakan makroprudensial kita dapat menggunakan beberapa instrumen tapi juga memiliki biaya dan distorsi yang terendah.
C.2. Broad-based Versus Targeted
Beberapa instrumen makroprudensial dapat digunakan untuk target risiko yang lebih spesifik. Kemampuan itulah yang menjadi keunggulan dari kebijakan makroprudensial dibandingkan kebijakan moneter. Oleh karena itu, kebijakan makroprudensial lebih akurat dan efektif dibandingkan dengan kebijakan moneter. Contohnya adalah kebijakan Loan to value seperti yang diterapkan di indonesia. Kebijakan bisa lebih dispesifikan misalnya Loan to Value yang lebih tinggi dikenakan untuk perumahan tipe 21 kebawah karena ada pertimbangan sosial yaitu banyak rakyat berpendapatan rumah yang belum memiliki rumah. Akan tetapi, kebijakan ini harus diikuti dengan kebijakan lainnya seperti pelarangan memiliki kredit rumah lebih dari dua. Dari hal tersebut terungkap salah satu kelemahan dari target lebih spesifik adalah mudah untuk dimanipulasi selain biaya administrasi yang lebih besar.
C.3. Fixed Versus Time-varying
Penggunaan kebijakan makroprudensial perlu disesuaikan dengan kondisi siklus bisnis yang ada. Saat kondisi boom, otoritas terkait seharusnya meningkatkan capital buffering agar dapat mengatasi masalah procyclicality. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian, Adrian dan Brunnermeier (2011) menyatakan bahwa risiko sistemik lahir disaat volatilitas itu rendah seperti saat boom. Bank of England (2009) juga berpendapat bahwa terjadi eksposur kredit berlebih saat kondisi upswing atau boom menjadi sebab resiko sistemik yang mengganggu stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, Kebijakan makroprudensial harus dinamis dalam persepktif waktu maupun siklus bisnis. Sontohnya adalah kebijakan makrorudensial yang dapat mengendalikan tingkat kreditnya disaat kondisi boomseperti pembatasan kredit maupun dynamic provision.
C.4. Rules Versus Discretion
Kebijakan makroprudensial dapat berdasarkan diskresi hal ini dikarenakan implementasi kebijakan melalui proses learning-by-doing. Dimana membutuhkan “trial and error” dalam mengkalibrasi instrumen. Selain itu, kondisi dinamis yang dihadapi membuat kebijakan melalui peraturan dinilai terlalu kaku sehingga tidak sesuai dengan kondisi dinamis yang ada.
kebijakan makroprudensial menghadapi risiko sistemik yang dinamis. kebijakan berdasarkan diskresi akan memeberikan hasil yang efektif dan tepat sasaran. Akan tetapi, kebijakan diskresi rawan penyalahgunaan kewenangan. Untuk mengantisipasi penyalahgunaan kewenangan, Kebijakan berdasarkan diskresi harus memenuhi dua akuntabilitas (Prasojo, 2010) yaitu akuntabilitas secara professional dan akuntabilitas secara legal. Akuntabilitas secara professional adalah kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara profesional serta dapat diuji oleh sejumlah pakar ekonomi dan moneter yang independen, imparsial, dan obyektif. Sedangkan Akuntabilitas secara legal harus menjawab apakah diskresi yang dipergunakan benar-benar memiliki dasar dan sumber kewenangan.
Di Indonesia sendiri desain dan implementasi kebijakan makroprudensial sebagai berikut,
Sumber: Bank Indonesia
D. Dimensi makroprudensial
Selain itu kita juga harus melihat dimensi dari kebijakan makroprudensial. Kebiajkan makroprudensial memiliki dua dimensi yaitu Dimensi waktu dan dimensi waktu dan dimensi ruang.
Dimensi waktu adalah procyclicality yaitu Bagaimana risiko dalam sistem keuangan berevolusi sepanjang waktu, termasuk evolusi dengan sektor ekonomi (procyclicality) (Bank Indonesia). Procyclicality sendiri memperbesar “feedback” antar sistem keuangan maupun sistem keuangan dengan makroekonomi (BIS). Dimana procyclicality dapat menyebabkan “unsustainable boom”. Saat periode “boom” menjadi “burst”, procyclicality memperbesar kekacauan dan menyebabkan resesi ekonomi mendalam. Oleh karena itu kita harus melihat bagaimana sustainability perusahaan dalam jangka panjang dan melihat bagaimana dampak tindakan perusahan tersebut dalam kondisi buruk. Oleh karena itu kita harus forward looking dalam melihat dimensi ini.
Sedangkan dimensi ruang adalah Bagaimana risiko terdistribusi dalam sistem keuangan pada satu periode tertentu yang disebabkan oleh kesamaan eksposur (concentration risk) dan/atau interlink dalam sistem keuangan (contagion risk). Concentration risk berkaitan dengan seberapa besar tingkat ,misalnya, kredit pada suatu sektor. Semakin besar konsentrasi kredit pada suatu sektor maka semakin besar concentration risk yang dimiliki. Sedangkan contagion risk adalah seberapa besar dampak menular yang disebabkan jika sebuah bank mengalami kebangkrutan. Semakin besar contagion risk maka semakin besar dampak menular yang disebabkan atau semakin banyak bank yang ikut menjadi bangkrut saat suatu bank bankrut. Oleh kareana itu kita harus melihat konetivitas suatu bank dengan bank lain. Apakah suatu bank dengan bank lain memiliki jaringan yang kompleks ? Apakah dampak jikalau sebuah bank mengalami default terhadap bank lainnya >
E. Dynamic Macroprudential Policy
Kelemahan dari kebijakan atau regulasiperbankan adalah regulasi tersebut tidak diciptakan untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi di masa depan. Hal ini terjadi karena kebijakan atau regulasi diciptakan setelah terjadinya krisis. Regulasi yang ada tidak mengikuti perubahan praktek atau inovasi di sektor perbankan. Tak heran, jikalau krisis terjadi terus berulang.
Dalam macroprudential examination, otoriats terkait harus dapat mendesain sebuan sistem pemeriksaan yang dibangun untuk prosedur pelaporan yang mampu membuat orotitas beradaptasi terhadap perubahan dalam praktek maupun institusi perbankan dan menyelidiki dampaknya terhadap gangguna stabilitas sistem keuangan.
Sedangkan dalam kebijakan makroprudensial, Hayman Minsky (Kregel, 2014) menekankan perlunya melihat perubahan institusi dan praktek di dunia perbankan dalam mengambil kebijakan makroprudensial. Regulator harus melihat bagaimana dampak regulasi terhadap perubahan tersebut dan melihat dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan. Krisis tahun 2008 lalu menjadi bukti bahwa ketidaksigapan otoritas terhadap perubahan di dunia perbankan menjadi sumber masalah ketidakstabilan sistem keuangan. The Fed kurang menganalisa dampak mekanisme sekuritisasi subprime mortgage serta peran credit default swap dalam hubungan bank dengan institusi keuangannya lainnya seperti shadow banking
F. Interaksi Kebijakan Makroprudensial dengan yang lainnya.
Kebijakan markoprudensial harus dikoordinasikan dengan kebijakan lainnya agar tidak saling tindih dan lebih efektif. Salah satu contohnya adalah penggunaan kebijakan markoprudensial yang diikuti oleh kebijakan fiskal. Di Hong Kong dan Singapura kebijakan LTV diikuti oleh kebijakan pegenaan pajak dalam transaksireal estate. Hal tersebut tentunya akan membuat kebijakan makroprudensial menjadi lebih efektif karena mengurangi manipulasi dari kebijakan pembatasan kepemilikan kredit KPR maupun menekan harga rumah lebih lebih dalam. Akan tetapi, koordinasi kebijakan akan melibatkan beberapa pihak sehingga keputusan yang akan diambil akan memakan waktu banyak.
Dalam hubungannya dengan kebijakan moneter, Yellen (2014) menyatakan ada tiga prinsip utama yang menjadi paduan interaksi kebijakan makroprudensial dan kebijakan moneter.
1. Regulator menerapkan kebijakan makroprudensial secara menyeluruh. Hal ini akan mengurangi peran kebijakan moneter dalam hal stabilitas sistem keuangan. Kebijakan moneter harus lebih berfokus pada stabilitas harga dan tingkat pengangguan.
2. Pembuat kebijakan secara seksama memonitor resiko yang menggangu sistem keuangan dan realistis akan keterbatasan yang dimiliki oleh kebijakan makroprudensial.
3. Pembuat kebijakan harus mengkomunikasikan dengan jelas dan konsisten akan pandangan mereka terhadap stabilitas sistem keuangan dan bagaimana pandangan tersebut mempengaruhi kebijakan moneter.
G. Pengawasan Makroprudensial
Selain regulasi, Bank Indonesia juga diberikan mandat pengawasan makroprudensial. Pengawasan makroprudensial ini dilakukan untuk men-design dan implementasi kebijakan makroprudensial. Oleh karana itu, Bank Indonesia harus mampu mengukur dan mengawasi seberapa besar risiko sistemik yang ada pada sistem keuangan. Risiko sistemik yang diukur dan diawasi juga harus dapat mencakup dimensi time series maupun cross section. Meski metode-metode pengukuran risiko sistemik ini sendiri menimbulkan pro dan kontra. Metode pengukuran risiko yang paling populer adalah Value at-Risk (VaR) akan tetapi metode ini ternyata memiliki kelemahan serius.
Setelah tahun 2008 banyak orang yang mengkritik metode VaR karena tidak dapat menjelaskan kondisi ekstrim atau fenomena tail distributon. Padahal kondisi seperti krisis merupakan kondisi ekstrim atau fenomena tail distributon. Selain itu, VaR hanya memperhatikan faktor individu bank saja. Padahal, padahal 20 tahun yang lalu Hayman Minsky (1994) menyatakan bahwa penyebab krisis keuangan pada tahun 1980an di amerika adalah akibat The Fed hanya mampu mengidentifikasi risiko individu tetapi tidak mampu menjelaskan risiko individu terhadap sistem.
Kelemahan VaR ini lalu diperbaiki oleh metode lain seperti CoVaR (Conditional Value at Risk) ataupun MES (Marginal Expected Shortfall). Metode tersebut dapat menggambarkan fenomena tail distribution. Akan tetapi metode tesebut masih lemah karena tidak dapat melihat dimensi procyclicality. Untuk mengatasinya maka metode yang digunakan harus forward looking. Metode CoVaR pun kemudian dimodifikasi menjadi forward-CoVaR untuk mengukur risiko sistemik didepan.
Akan tetapi, metode diatas (market based risk measurement) kurang cocok untuk kondisi di Indonesia. Hal ini dikarenakan pasar modal indonesia yang masih belum efisien. Selain itu, metode ini hanya terbatas untuk bank yang telah terlisting di bursa efek indonesia saja. Dengan kata lain, market based risk measurment memiliki banyak kelemahan. Oleh karena itu, kita tak seharusnya terpaku dengan hasil pengkuran tersebut.
Coba kita tengok kembali dengan apa yang terjadi pada krisis tahun 2008 lalu, Robert Shiller menyatakan,
“Economist more respect for sophisticated methods rather than substantial evidence”
Salah penyebab dari kegagalan antisipasi krisis tahun 2008 lalu adalah para ekonom yang terlalu terpaku terhadap hasil beberapa metode pengukuran risiko yang kompleks. Padahal hasil tersebut berbeda dengan fakta yang ada. Oleh karena itu kita membutuhkan sebuah ukuran risiko sistemik lain yang sederhana.
Tak hanya itu, penggunaan model matematika tidak dapat menggambarkan dan memasukan faktor-faktor yang kompleks seperti irrationality dan exuberance. Padahal faktor ini lah yang menjadi sumber utama penyebab dari gangguan stabilitas sistem keuangan. Tak heran jikalau model matematika gagal mencegah terjadinya krisis.
Untuk mengatasi masalah tersebut penulis menyarankan agar otoritas dapat melihat bagaimana psikologi investor dalam mengambil keputusan terkait dengan risiko. Apakah para investor sudah berani mengambil risiko berlebih. Bagaimana risk apetite dari investor serta melihat harga aset keuangan maupun properti.
Shiller sendiri membuat Shiller CAPE ratio yang mengukur seberapa besar tingkat bubble harga saham di pasar modal. Begitupula dengan S&P/Case-Shiller Home Price Indices yang mengukur tingkat bubble properti. ukuran tersebut memiliki pengukuran yang sederhana serta menggambarkan psikologi investor dalam mengambil risiko.
Selain itu, karena keterkaitan sistem keuangan kita terhadap sistem keuangan luar negeri yang sangat kuat. Maka otoritas tak boleh melihat indikator apa yang terjadi di dalam negeri saja. Kondisi luar ngeri, seperti pasar saham Dow Jones ataupun risiko sistemik perbankan di negara lain juga harus menjadi perhatian otoritas.
Daftar Referensi,
Adrian, Tobian dan Markus Brunnermeier.2011. CoVaR. FRB of New York Staff Report No. 348.
Bank of England.2009. The role of macroprudential policy. Discussion Paper. London: Bank of England.
Bank for International Settlements. 2010. 80th Annual Report. http://www.bis.org/
Bank Indonesia. Peran Bank Indonesia Dalam Stabilitas Sistem keuangan. http://www.bi.go.id/
Bank Indonesia. 2014. Kebijakan Makroprudensial dan Stabilitas Sistem Keuangan. http://www.bi.go.id/
Danielsson, Jon. 2009. The myth of the riskometer. http://www.voxeu.org/
Kregel, Jan. 2014. Minsky and Dynamic maroprudential Regulation. Levy Economics Institute of Bard College. Working Paper No. 131, 2014.
Lim, C, F. Columba, A. Costa, P. Kongsamut, A. Otani, M. Saiyid, T. Wezel, and X. Wu. 2011. Macroprudential Policy: What Instruments and How to Use Them?. IMF Working Paper WP/11/238.
Minsky, Hayman. 1994a. Financial Instability and the Decline (?) of Banking: Public Policy Implications. Paper 88. Minsky Archive.
Prasojo, Eko. 2010. Akuntabilitas Talangan Century. http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/93411-%5B_Konten_%5D-Akuntanbilitas%20talangan.pdf
Shiller, Robert dan Arthur M. Okun. 2008. Finding a Fix for the Housing Market. MacroMarkets LLC. http://blog.reply.com/wp-content/themes/blue-zinfandel-3column/images/post_photos/FindingFixforHousingMarket.pdf
Yellen, Janet. 2014. Monetary Policy and Financial Stability. http://www.federalreserve.gov/newsevents/speech/yellen20140702a.htm
http://blogs.wsj.com/economics/2014/07/02/transcript-of-yellen-and-lagarde-comments-at-imf-event/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H