Mohon tunggu...
Mellysia Xu
Mellysia Xu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kebijakan Tax Heaven Berbasis Laissez Faire Menuju Kawasan Ekonomi Khusus Batam

16 Januari 2017   18:36 Diperbarui: 16 Juni 2017   09:26 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Upaya untuk menjadikan Batam sebagai sentra industri terus berjalan. Setelah kurang lebih 9 tahun sejak ditetapkannya Batam sebagai free trade zone( FTZ), evaluasi yang dilakukan mengharuskan pemerintah dan pihak-pihak terkait harus menegaskan formula baru untuk bisa terus mendorong Batam untuk maju menjadi kota terdepan dalam hal perputaran bisnis.

Munculnya konsep Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) menjadi alternatif, adalah respon atas lambannya konsep FTZ dalam mempercepat transformasi Batam sebagai pusat perputaran bisnis yang bisa diandalkan. Ada banyak hal yang mempengaruhi yang pada kenyataannya justru membuat pergerakan Batam sebagai kota industri menjadi terhambat, salah satunya adalah birokrasi dan kebijakan-kebijakan BP Batam yang justru dinilai justru memperlambat laju pertumbuhan bisnis di Batam.

Selain kendala birokrasi, tumpang tindih dualisme kewenangan, dan kebijakan-kebijakan pungutan resmi lainnya yang dianggap memberatkan. Terdapat persoalan substansial lain yang perlu disoroti, yakni terkait konsep dan ide FTZ ini yang belum sepenuhnya berkiblat pada tuntutan arus globalisasi. Kepercayaan atas hukum-hukum pasar yang minim membuat FTZ terkadang lebih tampak sebagai bentuk perdagangan semi bebas. Akibatnya banyak sumber daya potensial yang menjadi tidak termaksimalkan.

Dalam konteks ini, untuk mensinergikan antara potensi Batam dan konsepsi Kawasan Ekonomi Khusus dalam mendorong percepatan Batam sebagai pusat industri bisnis. Penulis mengajukan suatu sudut padang dalam melihat KEK ini dengan menekankan peran vital dari model tax heaven sebagai alternatif. Suatu bentuk model ekonomi bebas yang berbasis sistem suaka pajak, dengan memandang arus pembangunan dari sudut pandang pasar bukan pemerintah.

Realitas dan Persoalan Batam Kekinian

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution (2016), mengatakan Batam mengalami penurunan daya saing. Secara eksternal di tingkat regional, Batam tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Seiring adanya globalisasi dan perkembangan kerjasama antarnegara di kawasan, konsep FTZ sudah cenderung ditinggalkan. Sebagai contoh Iskandar Regional Development Authority(IRDA) di Malaysia, yang didirikan akhir 2006, sudah jauh meninggalkan Batam yang sudah didirikan sejak lebih dari 40 tahun lalu. Atau, Kawasan Ekonomi Khusus Shenzhen di China yang menyumbang 75% dari pendapatan wilayah Shenzen sebesar US$ 114,5 miliar dan memiliki pendapatan per kapita US$ 13,200.


Selain ketertinggalan secara eskternal, Batam juga digempur dengan persoalan internal yang tak terselesaikan. Dualisme kewenangan yang kadang tumpang tindih antar BP Batam dan Pemda Batam, justru menjadi kendali birokrasi yang menghambat atmosfer investasi. Pungutan dengan jalur dua pintu kadang kerapkali menjadi sumber keluhan para pengusaha.

Selain itu, setelah Badan Pengusahaan (BP) Batam resmi mengeluarkan tarif baru untuk Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) melalui Peraturan Kepala BP Batam Nomor 19 Tahun 2016. Kenaikan tarif yang drastis ini, memicu protes baik di kalangan pengusaha maupun masyarakat pada umumnya. Kondisi ini hanya semakin memperburuk, memperkeruh situasi iklim investasi di Batam. Bukan hanya berpotensi menggagalkan rencana investasi pengusaha, bahkan dikabarkan beberapa pengusaha justru mengancam untuk hengkang dari Batam[1].

Pertumbuhan industri baru juga masih tergolong lamban. Meskipun secara data kuantitatif menunjukkan peningkatan, namun bila dibandingkan terhadap margin angkatan kerja dan potensi sumber daya yang tersedia, peningkatan tersebut belumlah bisa dikatakan signifikan. Pada tahun 2012 jumlah perusahaan industri besar sedang tercatat sebanyak 275 perusahaan, meningkat menjadi 290 perusahaan pada tahun 2013. Kemudian pada tahun 2014 jumlah perusahaan industri besar sedang meningkat kembali menjadi 298 perusahaan[2]. Ini berarti peningkatan jumlah perusahaan dalam kurun waktu 3 tahun hanya berkisar di angka 2-5%. Suatu angka yang tergolong kecil, ketimbang perkiraan yang diharapkan.

Selain faktor internal tadi, juga dipengaruhi oleh iklim sosial yang tidak terlalu kondusif. Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masih terjadi belakangan ini, demonstrasi menuntut kenaikan upah (konflik perburuhan), adalah beberapa di antara faktor itu. Sehingga faktor keamanan berinvestasi pun semakin terabaikan, yang pada akhirnya pertumbuhan investasi baru juga ikut terhambat. Data publikasi BPS (2015) menyebut tingkat pengangguran terbuka meningkat dari 6,09% menjadi 6,64%. Itu artinya dari sekitar 537.914 orang yang termasuk dalam angkatan kerja, sebanyak 502.179 orang penduduk yang bekerja dan sisanya 35.735 orang menganggur. Kondisi ini bisa menjadi social economic cost atau bisa pula menjadi social economic revenue. Tergantung dari bagaimana sistem dan kebijakan yang ada memandang atau melihat realitas tersebut.

Potensi Batam: Antara Belum Dimaksimalkan atau Terabaikan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun