Mohon tunggu...
Mellysia Xu
Mellysia Xu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Skip Challange, Antara IQ Terlalu Tinggi atau Sama Sekali Tidak Memiliki

13 Maret 2017   20:28 Diperbarui: 13 Maret 2017   20:42 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Skip Challange atau Pass Out Challange tentu saat terdengar akrab di setiap telinga. apalagi di kalangan remaja terutama anak sekolahan, Skip challenge adalah tantangan yang dilakukan dengan menekan dada sehingga dapat menghambat pernapasan. Gara-gara hal tersebut biasanya orang yang melakukan skip challenge akan kehabisan napas, lalu kejang-kejang, dan bisa pingsan seketika. Saat mengacaukan asupan oksigen ke otak, maka seseorang berada dalam situasi yang berbahaya dan risiko ekstrem. Tak hanya kerusakan otak, risiko yang lebih parah, yakni kematian bisa saja terjadi, meskipun berbahaya, namun “permainan” yang nyatanya sudah ada sejak 1995 ini masih saja diikuti oleh anak-anak remaja, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. 

Harian The Independent menyebut fenomena choking game/skip challange telah muncul sejak 2005 lalu di Inggris, setelah menimbulkan 250-1000 (AS) kematian. Salah satu korban meninggal adalah Karnel Haughton asal Birmingham, pada 1 Juni 2016 lalu. Pihak keluarga mengklaim Karnel meninggal karena sesak napas, dan meyakini hal ini karena choking game. Mereka tidak percaya sang putra sengaja berusaha untuk bunuh diri. yah jelas bagaimana mungkin percaya anak yang sudah sekolah bunuh diri tanpa sebab, karena orangtua percaya anaknya diajarkan memilah mana yang bahaya da mana yang tidak semenjak sebelum sekolah, tetapi realitas tidak bisa dipungkiri bukan ketidaktahuan tapi rasa penasaran yang tidak dilandasi pemikiran yang panjang yang menyebabkannya.

Krisis pengetahuan dan pemahaman pada remaja saat ini sangat mengkhawatirkan, bagaimana tidak permainan yang jelas jelas berbahaya ini dianggap sebagai ajang uji nyali atau sebagai permainan dare game, kurasa mereka memahami bahaya akan permainan ini tapi dangkal nya otak dan kedewasaan yang tak memadai sehingga menyebabkan yang dipikirkan adalah apa saja yang bisa kulakukan? sampai mana batas kemampuanku? atau yang lebih esktreamnya terlalu pintar atau mau menjadi dokter tapi tak kesampaian dan akhirnya mempraktekkan sendiri yang berujung malpraktek (haha).

Permainan yang baru viral di Indonesia di tahun 2017 ini tentu suatu keterlambatan jika di Inggris telah menjadi tren saat 2005, namun bukan itu masalah utamanya, tetapi disini kita membahasa bagaimana siswa dan pelajar mengakses dan mencari informasi, menambah pengetahuan tentang dunia luar, jelas tidak up to date sekali untuk masalah masalah seperti ini, apalagi untuk pelajaran ataupun historis. mungkin jika tren ini muncul di Korea, Indonesia akan cepat menangkapnya, lagi-lagi karena korea dan hedonisme nya itu sudah seperti makanan pokok bagi remaja Indonesia saat ini (kebanyakan).

Bahkan yang lebih mengejutkannya lagi yang merupakan korban dari skip challange ini bukan anak anak yang tidak menerima pendidikan atau anak-anak yang tidak mengerti arti bahaya, atau anak-anak pecandu zat adiktif dll. Disisi lain maraknya fenomena dan banyaknya fans yang mengikuti ini merupakan bentuk nyata pola asuh yang salah, pendidikan yang gagal memberikan didikan, kesadaran yang dangkal bahwa anak-anak bahkan remaja sekalipun masih belum bisa merealisasikan mana yang baik dan mana yang benar, hanya mengikuti apa yang dilakukan orang lain saja demi ketenaran semata. 

Disisi ini juga dapat dilihat bahwa masih banyak pemikiran yang belum berkembang, manusia-manusia yang belum mempunyai tujuan dan pegangan hidup, yang menjadikan seseorang tidak berpendirian dan tidak percaya diri untuk menjalankan sesuatu berdasarkan keputusannya sendiri, masih bergantung terhadap orang lain. maka timbullah kelompok-kelompok orang yang terisolasi (pikiran) yang tidak akan berkembang karena minimnya pergaulan yang memicu improvisasi diri.

Skip challange ini membuktikan kurangnya pendidikan yang bisa merealisasikan kehidupan nyata dan membedah kehidupan luar yang membantu seseorang untuk mengembangkan pola pikir secara mendalam terhadap sesuatu. skip challange memang menjadi tantangan yang seru bagi sebagian orang untuk menunjukkan kebolehannya tetapi bagi orang yang waras itu merupakan suatu kebodohan yang dinikmati secara beramai-ramai dan diekspos di dunia maya sehingga kebodohan itu di deklarasikan terhadap semua orang di dunia. kembali aku bertanya..penyebabnya terlalu pintar atau cuman merasa pintar (bodoh) ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun