Mohon tunggu...
melly indri saputri
melly indri saputri Mohon Tunggu... -

mahasiswa UIN SUNAN KALIJAGA Yogyakarta. jurusan ilmu komunikasi. angkatan 2014

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pawai Kembuli, Tradisi Desa di Lombok Timur

9 Januari 2015   15:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:29 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1420768267124985985

Maulid Nabi besar Muhammad SAW, ada yang merayakan namun ada juga yang menganggap merayakannya adalah bid’ah. Namun itu semua tergantung pada kepercayaan masing-masing. Di beberapa tempat atau daerah, kegiatan Maulid Nabi dirayakan dengan semeriah mungkin. Adanya lomba panjat pinang, makan kerupuk, sendok kelereng, dan lain sebagainya. Di salah satu tempat di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat di sebuah desa yang bernama Desa Rempung kegiatan peringatan Maulid Nabi dirayakan dengan meriah dari tahun ke tahun. Namun ada salah satu kegiatan atau lomba yang diadakan di tempat ini yang cukup berbeda dengan tempat-tempat yang lainnya. Perlombaan tersebut yaitu “Lomba Pawai Kembuli”.


Kembuli adalah sebuah miniatur bangunan yang dihias semenarik mungkin. Miniatur-miniatur ini biasa berbentuk masjid, ka’bah, maupun bentuk-bentuk lain yang sesuai dengan keagamaan. Lomba kembuli ini merupakan tradisi turun-temurun sejak dulu hingga sekarang. Penduduk desa ini akan merasa ada yang kurang apabila dalam momen maulid lomba kembuli tidak diadakan. Lomba ini merupakan lomba pawai yang diiringi kembuli pada bagian paling belakang. Orang-orang yang ikut dalam pawai kembuli ini biasanya dari murid-murid santren atau remaja pada masing-masing RW.

Dalam pembuatannya, kembuli tidak akan jadi jika dibuat dalam waktu sehari atau dua hari. Namun membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk mempersiapkannya agar memberikan hasil yang maksimal. Yang berpartisipasi dalam pembuatan kembuli adalah para pemuda di masing-masing RW dan juga remaja santren. Mereka akan dengan senangnya membuat benda ini karena merasakan persatuan dan kesatuan serta kekompakan dengan sesamanya. Karena momen seperti ini akan sulit ditemukan jika tidak ada kegiatan seperti ini.

Para pemuda di masing-masing RW akan berusaha membuat kembuli dengan sebaik-baiknya sesuai dengan desain yang mereka tentukan. Lomba pawai kembuli ini berbeda dengan pawai lampion yang biasa diadakan pada malam-malam lebaran. Bedanya adalah jika lampion menggunakan lampu sebagai pelengkapnya. Namun pada kembuli tidak. Ini memprioritaskan pada pemakaian warna luar, baik dengan cat, kertas warna, dan lain sebagainya.

Hanya dengan membawa kembuli saja itu tidak cukup. Kembuli yang akan dipawaikan akan dilengkapi dengan makanan-makanan khas maulid dan dikelilingi dengan uang kertas. Makanan-makanan ini akan digantungkan pada tali yang mengelilingi kembuli, begitu juga dengan uang kertas. Makanan dan uang ini didapatkan oleh pemuda-pemuda dari penduduk di sekitaran RW tersebut. Akan ada orang-orang yang diberi tugas untuk meminta makanan ke tiap-tiap rumah di RW tersebut. Adapun uang yang didapatkan juga merupakan uang yang diberikan oleh penduduk sekitar sebagai bentuk partsipasinya dalam perlombaan ini. Uang dan makanan yang didapatkan tadi nantinya akan disumbangkan ke masjid. Makanan akan disuguhkan untuk orang-orang yang menghadiri pengajian maulid di masjid pada saat acara pawai kembuli berhenti, kemudian uangnya akan disumbangkan sebagai amal pada pembangunan masjid.

Lomba pawai kembuli ini dilakukan dengan mengelilingi setiap jalan di Desa Rempung ini. Mengitari jalan hanya dengan melewati jalan raya. Perlombaan pawai kembuli ini sangat menarik perhatian warga sekitar sehingga tidak heran jika banyak warga yang rela menanti pawai kembuli di pinggir jalan raya. Adapun penilaian di pawai kembuli ini adalah pada kreativitas dan juga kerapian serta kekompakan dari masing-masing peserta. Hadiah dari perlombaan ini juga cukup menarik. Biasanya berupa seekor kambing atau juga uang dengan nilai yang sama dengan harga kambing.

Ini merupakan tradisi turun-temurun yang belum pudar hingga saat ini di kawasan warga desa yang kecil di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun