Mohon tunggu...
Mell Shaliha
Mell Shaliha Mohon Tunggu... -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen yang akhirnya lolos di Koran- Minggu Pagi Jogja

12 April 2013   11:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:19 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MBAH DAR

Oleh : Mell Shaliha

Terik sudah sempurna menggosongkan semua bagian tubuhnya yang sudah ringkih. Kecuali bagian yang tertutup kemeja coklat kumal dan celana hitam yang sudah sobek di bagian pantatnya. Mbah Dar, begitu ia sering menyebut dirinya sendiri di hadapan orang yang kadang mau mendengarkan cerita pahitnya. Usianya sudah mencapai delapan puluh tujuh tahun, lebih lama dari umur kemerdekaan negara ini.

Sudah beberapa tahun ia hidup di jalanan. Rumahnya yang pas di pinggir jalan digusur tanpa ampun dengan alasan pelebaran jalan tanpa imbalan sepeserpun. Mbah Dar adalah seorang mantan pejuang Veteran. Tapi ia tidak pernah mendapatkan kesejahteraan sedikitpun dari negara. Justru ketidakpedulian negara membuatnya nekat sampai menjadi seorang pengemis. Dulu sempat ia menjadi kuli pasar, sayang tubuh rentanya sudah tidak sanggup lagi untuk memikul beban goni bermuatan lebih dari lima belas kilo setiap hari.

Istrinya pergi meninggalkannya karena ia tak mampu menjamin kebahagiaan secara materi. “Hidup itu butuh kesejahteraan, kalau hal itu tidak bisa kau penuhi lebih baik aku mencari suami yang bisa membahagiakanku.” Ucap istrinya lalu pergi menyeret anak laki-laki semata wayangnya yang telah menginjak usia delapan belas tahun.

Mbah Dar tidak mungkin menghentikan bahkan mengejar mereka, karena ia tahu tidak ada lagi janji yang bisa ia tepati. Tidak pula ada harapan untuk hidup sejahtera di usianya yang sudah tidak muda lagi. Untuk dirinya sendiri saja kesulitan apalagi harus berjanji membahagiakan putra dan istrinya. Meski jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia tetap berharap sigaran nyawanya itu tidak meninggalkannya.

Delapan tahun silam, putra yang meninggalkannya datang di gubuk reot pinggir pasar. Ia mencium tangannya takzim dan berpamitan. Anak itu sudah beranjak dewasa, mungkin orang tua barunya bisa menjadikannya seorang pemuda tampan yang berpendidikan. Tak seperti dirinya. Ia sangat bahagia, namun hal besar yang menjadikannya memendam amarah adalah ketika putranya itu meminta ijin.

“Pak, saya akan melanjutkan sekolah saya di kota. Saya ingin menjadi tentara. Seperti bapak dulu.”

“Apa? Tidak! Tidak usah kau bersusah menjadi tentara, kau tidak akan pernah sejahtera. Apa kau mau ditinggalkan istrimu kelak?” Jawabnya tajam.

“Jadilah pejabat saja biar hidupmu sejahtera, di manapun kamu berada, kau tidak akan kekurangan uang jika kau menjadi pejabat negara.”

“Maaf Pak, tapi…”

“Tidak usah kau minta ijin padaku jika kau nekat ingin menjadi tentara. Anggap saja aku sudah mati. Aku akan menunggumu di sini dan melihatmu datang dengan mobil mewah dan jas berdasi merah.” Lalu  anak laki-lakinya pergi dengan mata berkaca. Melepas tangan legam bapaknya yang sepertinya tak rela ia tinggalkan.

***

Mbah Dar berdiri di depan toko mainan sambil membuka kedua tangannya. Lambaian tangan dari penjaga toko pun segera membuatnya meneruskan perjalanan memutari pasar. Sesampai di depan kios tukang sol sepatu ia duduk di tangga pasar. Ia tampak kelelahan. Ia sama sekali tak menadahkan tangan, ada ketakutan kecil dari hatinya. Ketakutan akan lambaian dan usiran mereka.

Seorang ibu paruh baya pemilik kios sol sepatu itu mendekatinya dan mengulurkan selembar uang dua ribu rupiah. Mbah Dar agak tercengang dengan perlakuan itu, tiba-tiba mendongak, tak langsung menerima uang itu.

“Mbah mau makan?” tawar ibu-ibu itu.

“Tidak, terima kasih, sudah makan tadi.”

“Minum ya Mbah?” tawarnya lagi. Lalu Mbah Dar mengangguk. Segelas teh panas menghangatkan perutnya. Ia berterima kasih berulang-ulang.

“Mbah tinggal di mana?” tanya Ibu itu lagi. Dijawabnya dengan menunjukkan pojok pasar, bekas kios yang  ditutup dengan beberapa bambu dan  kardus bekas semen. Ibu itu mengangguk.

“Apa Mbah  ga punya keluarga?”

“Tidak. Dulu punya, tapi mereka sudah hidup bahagia dengan jalan mereka masing-masing.”

Ibu itu mengangguk lagi.

“Sekarang saya menunggu anak laki-laki saya datang dengan mobil mewah dan berjas serta berdasi merah. Apa kalian akan menganggapku gila?”

“Tidak Mbah. Semua orang berhak mempunyai keinginan.” Jawab salah satu pegawai di kios itu.

“Tidak semua. Tidak untuk seorang pejuang Veteran tua seperti saya.” Ibu dan pegawai itu melotot kaget. Akhirnya pecah juga cerita masa lalunya. Bahwa negara tak pernah peduli padanya, bahkan negara tidak tahu, presidennya tidak pernah mengerti arti dari perjuangan hidupnya sebagai seorang Veteran.

“Maaf mas mau servis sepatu.” Kata seorang pelanggan memotong cerita Mbah Dar. Mbah Dar melihat laki-laki gagah yang berpakaian tentara itu dengan wajah yang menyiratkan kebencian, meski ia tidak jelas siapa orang yang ada di hadapannya itu.

“Baik, Pak, tapi mohon ditunggu sebentar ya, soalnya antri yang servis hari ini.” Kata pegawai kios.

“Iya tidak apa-apa.” Lalu laki-laki yang berseragam tentara itu duduk tanpa melihat ke arah Mbah Dar.

“Oh ya Mbah, ini saya beri kaos untuk ganti. Kebetulan suami saya punya banyak.” Ibu pemilik kios menyodorkan kaos putih berlengan biru gambar presiden. Dibukanya perlahan sambil mengucapkan terima kasih. Namun ia meminjam korek api pada karyawan dan membakar kaos itu di depan mereka.

“Maaf Bu, saya tidak akan mengagungkan orang ini dengan memakai kaos bergambar dirinya. Bagi saya dia itu bukan siapa-siapa. Dan saya tidak butuh pakaian ini.” Mendengar jawaban itu si tentara menoleh. Ia memperhatikan wajah Mbah Dar dengan seksama.

“Bapak?” Panggil tentara muda itu keras-keras. Mbah Dar menoleh ke arahnya dan mengigit rahangnya kuat-kuat. Tentara itu meraih tangannya dan langsung dikibaskan.

“Bu terima kasih tehnya. Saya pamit.” Kata Mbah Dar dengan kaki pincang meninggalkan kios itu. Tentara yang ternyata putra Mbah Dar menunduk penuh penyesalan dan mengikutinya dari belakang.

“Anakku sudah jadi pejabat negara dan aku bangga. Dia datang dengan mobil mewah, berjas dan berdasi merah. Anakku memang pintar, anakku memang hebat.” Gumamnya menyisir pinggiran pasar dengan susah payah.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun