Mohon tunggu...
Lumbung Padi
Lumbung Padi Mohon Tunggu... -

bergerak berdasarkan hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ucapan Selamat Natal bentuk Toleransi

24 Desember 2013   15:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:32 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini bersifat reflektif pribadi tentang Toleransi yang menjadi kegelisahan terhadap kondisi intoleransi dan kepekaan hati manusia terhadap persoalan riil yang terjadi.

Beberapa hari lalu, seorang teman mengeluhkan bagaimana mudahnya pendirian masjid di pemukiman dibandingkan dengan pendirian gereja atau tempat ibadah lainnya? Sebenarnya ini juga terjadi di hampir di kebanyakan pemukiman termasuk pemukiman tempat saya tinggal. Saya juga menjadi gelisah mengapa mudah sekali membangun musholla atau masjid dengan megahnya (berlapis beton) yang pastinya menggunakan biaya yang sangat tinggi?padahal ada tukang ojek di dekat musholla yang gelisah karena anaknya tidak bisa sekolah dan hidupnya pas pasan.

Apakah benar agama tidak memperhatikan persoalan – persoalan riil yang terjadi dalam kehidupan? Lalu apa yang menjadi esensi ajaran puasa dan zakat? Bukankah itu untuk menjembatani agama dengan persoalan riil yang terjadi dalam kehidupan. Bagi saya, agama adalah jalan untuk mengasah kekuatan hati demikian ketika beberapa agama turun ke bumi. Kehidupan pada saat itu memang sangat kacau balau karena hati manusia tidak bekerja dengan baik. Padahal Allah mempunyai harapan yang tinggi kepada manusia, sebagai pemimpin bumi yang disebutkan dalam surat Al Baqarah dengan sebutan Khulafaur Rasyidin. Pemimpin yang dapat mengatur kehidupaan riil di bumi supaya lebih baik. Namun yang terjadi saat ini benturan antar manusia terjadi dengan menggunakan  berbagai baju identitas keagamaan. Mengapa ini harus terjadi diantara kita?

Saya yakin setiap manusia pasti mengalami proses kegelisahan kebenaran ajaran agama masing masing namun bagaimana caranya hal itu agar tidak menyakiti hati manusia lainnya. Kita mengetahui bahwa manusia terlahir secara beragam, ini telah menjadi kodrat Illahi yang tidak terelakkan. Semakin kita menegasikan keberagaman maka semakin menjauhkan kita dari keilahian Allah. Saya sendiri pernah mengalami proses itu, waktu itu saya berumur sekitar 8 tahun, saya punya teman yang beragama nasrani. Ingat sekali pada saat itu  saya sedang bermain ayunan di depan rumah tetangga, obrolan kami dari bercanda kemudian menjadi serius dengan eyel – eyelan ala anak kecil tentang Nabi Isa dan Yesus. Apa yang menjadi pengetahuan saat itu tentang Nabi Isa, saya katakan ke teman saya begitu juga sebaliknya. Sampai saya bilang “kalau kamu gak percaya silakan Tanya saja pak ustad” terus teman saya juga berbalas “kamu juga bisa tanya pak pendeta”. Ini model eyel eyelan ala anak anak kecil yang tiada henti. Akhirnya saya pulang ke rumah, kebetulan mama sedang di rumah kemudian saya bilang ke mama bahwa saya habis eyel eyelan dengan teman tentang Nabi Isa dan Yesus. Setelah saya bercerita panjang lebar lalu saya pikir mama akan berpihak membela saya, namun cukup mengejutkan bagi saya mama berkata, “tidak baik begitu, itu akan menyakiti hatinya,kamu harus minta maaf”.  Saya langsung terdiam saat itu. Lalu keesokannya saya  bertemu dengan teman saya lagi namun uniknya kami tetap bermain bersama seperti biasa seolah olah tidak pernah terjadi eyel eyelan diantara kami. Saya tidak bisa mengingat apakah saya telah mengucapkan permohonan maaf atau tidak kepada teman saya itu? Namun jikalau tidak terucap pada saat itu maka saya berharap teman saya mau memaafkan perkataan saya. Namun hal yang tidak terlupakan bagi saya adalah  kata kata mama yang terus membekas dalam hati dan pikiran saya. Memang mama saya seorang ibu rumah tangga biasa yang kebetulan beragama Islam dan dibesarkan dalam lingkungan kejawen serta bersekolah di SKKA Katolik Marsudirini Solo kemudian menikah dengan  bapak saya yang bekerja berpindah pindah di luar jawa yang otomatis berkenalan dengan beragam manusia. Apakah itu yang mempengaruhi pemikiran sederhananya tentang keberagaman?.

Saya baru menyadari bahwa apa yang dikatakan Mama saat itu adalah bentuk sikap toleransi dengan ekspresi yang sederhana. Ini sangat berpengaruh pada pola pendidikan di keluarga kami. Sehingga ketika saya harus berteman dengan teman – teman sekolah yang bukan seagama maka saya sudah tidak canggung lagi. Ternyata sikap toleransi adalah proses yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan kepekaan hati sejak dini dan wawasan pergaulan yang beragam.Ini yang dapat membuka pemikiran dan hati kita untuk lebih peduli terhadap keberagaman dan persoalan riil yang terjadi agar senantiasa agama tetap menjadi penerang jalan ummat. Maka tidak ada alasan bagi saya untuk tetap terus mengucapkan SELAMAT HARI RAYA NATAL KAWAN, SEMOGA CINTA MENJADI PEREKAT DAMAI HIDUP KITA. (241213)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun