[caption id="attachment_285334" align="alignleft" width="600" caption="Buku, â��Presiden Manusia 1/2 Binatangâ��, karya Eduardus Lemanto"][/caption] Realitas kehidupan bangsa kita dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya terus mengalami degradasi nilai. Selain karena karakter lemah pemimpin pada semua institusi – nasional dan daerah -, kebijakan yang mereka hasilkan juga minim implikasi pada rakyat.
Di sisi lain, perilaku-perilaku destruktif dalam bentuk korupsi, kolusi, nepotisme, mafia (hukum, pajak, politik) dan sebagainya terus meluas.
Kondisi ini membuat banyak kalangan menyimpulkan bahwa Indonesia adalah bangsa tanpa negara (a nation without a state), sebagian lagi melihat Indonesia sedang mengarah menjadi negara gagal (failed state).
Kesimpulan itu sebetulnya tidak tampak keliru karena realitas menunjukkan, sebagian besar penyelenggara negara beserta lembaga-lembaganya jatuh pada persoalan sama bertahun-tahun.
Produk dari kondisi itu adalah masalah sosial seperti kebodohan, kemiskinan, keliaran (disorder), peperangan, konflik antarkelompok, baik suku, ras, maupun agama.
Pertanyaan kemudian, di mana letak persoalannya dan siapa yang mesti berada di garda terdepan untuk memperbaiki keadaan ini?
Buku “Presiden Manusia 1/2 Binatang”, karya akademik Eduardus Lemanto, berupaya membedah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan demkian. Edu adalah aktivis yang sedang menyelesaikan tesis untuk Program Magister Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Diryarkara, Jakarta.
Buku setebal 169 halaman ini baru saja diterbitkan pada awal Desember 2013 oleh Publishing House, Tebert, Jakarta Selatan. Kata pengantarnya ditulis oleh Karni Ilyas, Pemimpin Redaksi TV One dan epilog oleh Sebastian Salang, Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).
Mungkin Anda akan sejenak terperangah dengan formulasi judul di atas. Anda pun mungkin berasumsi, si penulis hanya ingin mencari popularitas.
Kesan demikian kiranya tak memiliki alasan untuk dipertahankan, bila kita memahami tesis yang dibangun Edu soal filsafat kekuasaan (philosophy of power) dalam buku ini. Bahwasannya, “Manusia 1/2 Binatang” itu adalah sebuah kajian psikologi kekuasaan dan antropologi filosofis.
Mengapa ada kata presiden pada judul? Hal ini berkaitan dengan perannya sebagai pemegang kekuasaan tinggi. Presiden, dalam buku ini dipahami sebagai representasi para pemimpin/penguasa dalam sebuah negara.
Pertanyaan fundamental penulis adalah, apa tujuan dari kekuasaan dan bagaimana menggunakan kekuasaan itu?
Edu memandu kita untuk sedikit mengintip dinamika perpolitikan tanah air. Ia mengatakan, politik sudah dan tengah mengalami penyempitan makna. Makna inklusifnya dikerutkan menjadi makna ekslusif yakni berpolitik hanya demi kepentingan kelompok tertentu.
Pergeseran ini tentu disebabkan oleh perilaku mereka yang memaknai politik semata-mata sebagai strategi untuk memenangkan kekuasaan. Perilaku itu hadir dalam bentuk sikap partisan dan yang paling mencelakakan adalah perilaku koruptif.
Karena perilaku ini, maka, sebagian besar orang menganggap politik sebagai aktivitas yang paling jahat. Anggapan ini tentu bisa diterima mengingat begitu banyak aktivitas politik ditandai oleh korupsi. Karena fakta itu maka wajah buruk politik harus dicarikan keburukannya pada pelaku politik yang korup.
Edu mengambil contoh dengan mengajak kita berwisata ke China. Di China, kita dipertemukan dengan seorang Zhu Rongji, Perdana Menteri China (Maret 1998 – Maret 2003) yang begitu gerah atas perilaku koruptif yang begitu masif.
Pernyataan Zhu: “Sediakan saya 100 peti mati. 99 di antaranya digunakan untuk para koruptor dan yang satunya lagi buat saya jika kalian mendapatkan saya korupsi”, menurut Edu, merupakan contoh ideal ketegasan seorang pemimpin.
Karya pria kelahiran Manggarai – Flores – NTT yang diulas secara lugas, bebas dan tanpa beban itu, sesungguhnya tidak sedang mengkaji hakekat politik itu sendiri, melainkan fokus pada para politisi, pemegang kekuasaan dan sebagainya.
Menurutnya, polemik politik semisal korupsi dan mafia pajak akhir-akhir ini, sebagian besar menjadi diskursus aktor politik ketimbang politik itu sendiri. Diskursus ini diharapkan mendorong kita untuk bersama-sama mengecek dan memergoki perilaku-perilaku destruktif dari mereka yang terlibat dalam politik praktis.
Dari sana, kita diharapkan mampu menilai model pemimpin seperti apa yang dibutuhkan agar situasi yang kini amburadul bisa segera diakhiri. Inilah saatnya bagi kita untuk memilih pemimpin yang betul dan efektif.
Buku ini mengajak kita untuk mengecek dan memeriksa, apakah para pemimpin kita sudah mempunyai kehendak baik (good will), kemauan (willingness), dan integritas (integrity) dalam menjalankan roda pemerintahan menuju realisasi kesejahteraan bersama. Sumber: http://www.theindonesianway.com/2013/12/20/36081/presiden-manusia-%C2%BD-binatang-gugatan-terhadap-laku-pemimpin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H