Semua pihak merasa prihatin sekali akibat insiden yang mengoyak kehidupan kebangsaan, seperti terjadi di Kabupaten Tolikara, Papua, sedih dan masygullah yang terasa di hati. Tebersit juga rasa geram dan penasaran, mengapa kejadian absurd tersebut bisa terjadi. Kita bisa menempatkan insiden itu dalam perspektif waktu. Jumat (17/7) adalah hari Idul Fitri ketika umat Islam berbahagia menyambut kemenangan setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Kembali ke fitri atau kesucian menyiratkan kedamaian dan jauh dari kekerasan. Jadi, sungguh tak bisa dimengerti ketika dalam suasana yang diliputi kedamaian itu berlangsung aksi kekerasan yang membuat puluhan kios, juga mushala, terbakar. Peristiwa itu menewaskan satu warga dan melukai 10 orang. Wakil Presiden Jusuf Kalla, Minggu (19/7) malam, telah menginstruksikan Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti mengambil langkah hukum yang tegas untuk segera menyelesaikan insiden di Tolikara.
Wapres juga menyebut perlunya mempertemukan semua tokoh. Hal ini perlu kita garis bawahi karena terkait dengan tidak berlangsungnya komunikasi yang baik di antara kedua pihak dan pemerintah. Saat kejadian, kata Wapres, selain shalat Idul Fitri, juga ada pertemuan pemuka gereja. Insiden itu semestinya tidak terjadi seandainya ada komunikasi yang baik di antara ketiga pihak. Lebih dari itu, mungkin juga ada latar belakang lain di balik insiden yang mengusik kehidupan toleran yang selama ini ingin kita tumbuh kembangkan di Tanah Air. Presiden Joko Widodo dan sejumlah tokoh mengingatkan bahwa Indonesia memiliki banyak keragaman, baik tradisi, budaya, maupun agama. Oleh karena itu, semua pihak perlu terus menjaga persatuan dan toleransi antarsesama.
Selama ini kita sudah banyak diingatkan akan ancaman SARA (suku, agama, ras, antargolongan). Pada sisi lain, kita pun menerima bahwa meski sudah banyak pemimpin dan negarawan mengingatkan, bangsa Indonesia masih belum sepenuhnya menjadi. Menjelang usia 70 tahun, Indonesia masih harus berjuang keras menegakkan toleransi. Kita hargai seruan para tokoh, seperti Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, agar kita terus memperjuangkan persaudaraan dan kerukunan lintas agama di Tanah Air, khususnya di Papua.
Ditegaskan pula, Indonesia didirikan dengan merangkul semua komponen bangsa. Jika selama 70 tahun kita berhasil menjaga keselarasan hidup bersama dalam keberagaman, dengan segala hambatan dan tantangannya, ke depan kita harus lebih maju lagi. Seruan bijaks Syafii Maarif, agar masyarakat tidak terprovokasi oleh insiden Tolikara. Dewasa ini, Indonesia sedang tertekan secara ekonomi, dan hal itu juga berlangsung dalam era konsolidasi politik. Akan jadi lebih berat manakala isu yang selama ini kita jaga baik-baik pecah dan menambah beban bangsa. Maka diharapkan, masyarakat Indonesia untuk mengedapankan rasa persaudaraan dan lebih menerapkan toleransi dalam kehidupan agar dapat hidup damai dan aman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H