Mohon tunggu...
Flores Melky
Flores Melky Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Media Televisi Harus Dikembalikan Perannya Sebagai Pendidik Masyarakat  

3 Juli 2015   10:04 Diperbarui: 3 Juli 2015   10:04 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pentingnya tanggung jawab sosial industri media, khususnya televisi, harus terus diingatkan. Selain lewat peringatan lisan, tertulis, apabila perlu sanksi hukum. Selain itu lewat penyadaran tentang kewajiban etis (deontologi) media. Kita diyakinkan hasil survei Komisi Penyiaran Indonesia belum lama ini. Dari 45 program acara dalam 15 stasiun televisi di Indonesia selama Maret-April 2015, diperoleh nilai indeks kualitas secara keseluruhan 3,25, di bawah angka standar baik 4,0. Televisi cenderung mempertontonkan tayangan sensasional dan kualitas rendah. Hasil itu membenarkan keluhan banyak orang tentang minimnya perhatian industri televisi sebagai pendidik. Industri media sebagai usaha ekonomi didahulukan. Sisi idealisme, di antaranya memberikan informasi yang benar dalam isi benar dan cara, dikesampingkan. Hasil survei KPI perlu dilanjutkan, pelatuk menggulirkan gerakan menjauhkan televisi jadi alat pembodohan dan perusak moral.

Media televisi menganggap tingginya rating ukuran keberhasilan, sementara dalam media cetak besarnya oplah dan iklan. Rating, oplah, dan iklan memang merupakan faktor kepercayaan publik. Yang terjadi, kepercayaan diperoleh dengan cara tidak etis, pembodohan, sensasional, dan irasional. Kewajiban etis media dilanggar demi kepercayaan pasar dan kepentingan ekonomi. Televisi memiliki ”kemewahan” lebih dibandingkan dengan media cetak dan digital. Budaya menonton kebiasaan masyarakat memberikan kesempatan besar media televisi berbuat semaunya. Menonton televisi dan mendengarkan radio tidak menuntut persyaratan sesulit membaca. Prinsip komunikasi yang searah dalam televisi, cenderung jadi sepihak sehingga tidak merangsang sikap kritis.

Seiring ”kemewahan” itu, beban kesalahan yang ditanggungnya secara etis lebih besar dibandingkan dengan media cetak dan digital. Upaya kuratif perlu lebih digiatkan. Eksistensi KPI perlu lebih diberi gigi. Tak hanya peringatan, tetapi juga kewenangan membawanya ke ranah hukum, termasuk menutup program siaran. Penguatan posisi KPI jadi keniscayaan. Kenikmatan membawa tanggung jawab. Untuk mengingatkan deontologi industri televisi yang memasuki ruang-ruang privat dalam proses pembusukan dan pembodohan publik, perlu lebih digencarkan di tengah masyarakat semakin lebih terbuka dan permisif.

Kita atur kembali agar industri media, dalam hal ini televisi, kembali ke peranan idealnya sebagai pendidik masyarakat. Rating yang jadi ukuran keberhasilan perlu dilandasi proses dan cara yang tidak merusak. Survei KPI kita jadikan pelatuk gerakan bersama, termasuk lewat penguatan kedudukan KPI yang jauh dari motivasi kecurangan dan pengawasan apalagi kepentingan sempit. Survei itu jangan kita sia-siakan sebagai sekadar data, tetapi data yang bicara mengingatkan perlunya penyadaran bersama tentang fungsi edukatif dan kewajiban etis industri televisi.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun