[caption id="attachment_310398" align="aligncenter" width="576" caption="Dokar di depan Masjid Lasem"][/caption]
Ketika teringat salah satu alat transportasi tradisional dokar, saya teringat juga iklan di salah satu radio di Rembang beberapa tahun silam. Ada percakapan antara warga dengan seorang polisi, terkait keperluan untuk mengisi data apa saya lupa. Inti percakapannnya kurang lebih seperti ini.
“Bapak profesinya apa?”
“Saya Bajingan Pak.”
“Maaf Pak, Bapak profesinya apa?”
“Saya Bajingan?”
“Lhoh, wong iki piye leh? Ditakoni kok. Mosok profesi Bajingan.” ‘Bapak ini bagaimana sih? Ditanya profesi masak profesi Bajingan.’ Polisi bergumam lalu kembali bertanya, “Pak, Nuwun Sewu. Profesi Njenengan Napa? ‘Pak, maaf. Profesi Bapak apa?’
“Lha Bapak iki piye leh? Wong ancen profesiku Bajingan Kok. Kula niki Bajingan Pak. Dikandani bajingan kok ra ngandhel. Kusir dokar jenenge rak Bajingan leh? ‘Bapak ini bagaimana? Orang profesi saya memang Bajingan Kok. Saya Bajingan Pak. Kusir dokar namanya bajingan kan? Dikasih tahu bajingan kok tidak percaya. Kusir dokar kan juga profesi?’ “Pekerjaan saya setiap hari menjadi Kusir Dokar. Kusir kan juga pekerjaan?”
“Eh, kusir iku jenenge bajingan?”’Eh, kusir disebut bajingan?’yang bertanya bergumam.
Semoga sebelumnya tak ada yang berprasangka jelek soal diksi bajingan yang saya gunakan. Saya tidak hendak menulis tentang kejelekan seseorang dengan kata-kata yang terkesan kasar ini, tapi yang akan saya ulas adalah mengenai transportasi tradisional yang masih banyak beroperasi di Rembang, yaitu dokar. Dulu, kusir dokar dinamai dengan istilah bajingan.
[caption id="attachment_310397" align="aligncenter" width="538" caption="Pak kusir yang menunggu penumpang"]
Dalam kamus bahasa Jawa Bausastra Jawa Poerwadarminta, bajingan berarti bêburuh nglakokake grobag 'buruh yang menjalankan gerobag'. Tidak banyak yang tahu bahwa bajingan adalah sebutan untuk kusir dokar, sebelum saya mendengar iklan itu dan setelah tanya beberapa teman di Rembang, saya juga tidak tahu kalau kusir dokar disebut bajingan. Dulu, sebutan lain kusir dokar adalah bajingan. Dan tentu saja istilah ini tidak ada hubungan dengan makna orang yang punya tabiat buruk seperti yang diartikan sebagai bajingan dalam bahasa Indonesia. Di sumber lain juga ada yang menyebutkan bahwa bajingan dalam bahasa Jawa juga digunakan sebagai sebutan untuk pengendara cikar (jaman dulu kereta yang ditarik dua sapi yang biasa mengangkut barang).
Dokar, di daerah lain ada juga yang menyebutnya delman, andong, bendi, atau sado. Di beberapa daerah di Indonesia sampai sekarang masih ada kendaraan tradisional ini. Di Lombok delman atau kereta kuda sering disebut cidomo. Sedangkan di Jawa Tengah termasuk di Rembang delman disebut dokar. Beberapa sumber ada yang menjelaskan perbedaan istilah-istilah ini. Perbedaannya ada pada jumlah roda dan jumlah kuda yang menarik kereta. Ada yang beroda berbahan kayu, ada juga yang beroda mobil bekas. Jumlah rodanya ada yang berjumlah dua bahkan lebih, dan ada yang ditarik satu sampai dua kuda. Kalau di Rembang, dokar umumnya ditarik oleh satu kuda saja dan rodanya biasa roda yang berbahan kayu, tapi di Lasem kemarin saya lihat juga ada yang beroda dari roda mobil bekas.
Di Rembang profesi bajingan yang beroperasi dengan dokar-nyamasih banyak dijumpai di jalanan. Kebanyakan kendaraan umum ini mangkal di pasar tradisional yang berada di desa Sumberjo Rembang. Mangkalnya dari pagi sampai sore sampai pukul tiga atau empat. Sejauh yang saya amati dokar di Rembang kebanyakan mangkal di sekitar pasar Rembang. Dokar biasa membawa penumpang dari berbagai penjuru desa di Rembang menuju dan dari Pasar. Kalau dokar di sebelah Timur Pasar Rembang jalurnya banyak dijumpai di jalan Gajah Mada menyebrang jembatan Karanggeneng di dekat pelabuhan Tasik Agung sampai depan tempat wisata Pantai Dampo Awang sampai jalan jalan Kartini. Dan ada juga yang menelusuri jalan Pemuda sampai di perempatan Nggalonan. Sedangkan yang mangkal di sebelah Barat membawa penumpang yang mempunyai tujuan dari dan ke pasar Rembang ke arah sepanjang jalan Ks Tubun atau sekitaran desa Sumberjo, dukuh Gayam, Sugihan, Ngrandu, Pulo, Sendang Agung Jeruk bahkan sampai dukuh Sono dan Waru.
Umumnya memang ada di sekitar pasar karena selain mengangkut penumpang juga mengangkut barang-barang belanjaan. Di Lasem pun sama, sejauh yang saya amati dokar mangkal di depan masjid Jami’ Lasem atau sekitaran taman, dan sekitar pasar.
Biasanya bapak kusir dokar mengoprasikannya sampai sore sekitar pukul 3, di sekitar jalan pemuda bahkan sampai pukul 4 sore. Tapi karena musim ini adalah musim bertani, bapak Kusir yang juga punya ladang di sawah pulang beroperasi agak awal untuk bekerja menggarap sawahnya.
Sebagai Salah Satu Warisan Budaya
Naik dokar di belakang pak Kusir dengan semilir angin dan irama sepatu kuda kadang bikin teklag-teklug ngantuk. Nah, ini yang jadi romantisisme tersendiri kalau lama nggak naik dokar. Lalu saya ingat lagi saat masih duduk di bangku TK sekitar lima belas tahun silam, pernah diajari menyanyi lagu pada hari minggu…
Pada hari minggu kuturut ayah ke kota/Naik delman istimewa ku duduk di muka/Duduk di samping Pak kusir yang sedang bekerja/ Mengendarai kuda supaya baik jalannya/ Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk/ Tuk tik tak tik tuk suara sepatu kuda.....
Di Indonesia dokar memang sudah ada sejak berpuluh tahun silam. Konon dokar yang asal mulannya dinamai delman di Batavia ditemukan oleh orang Belanda, Ir Charles Theodore Deeleman, seorang insinyur yang memiliki bengkel besi di pesisir Batavia. Oleh karena itu, masyarakat Jakarta menamainya Delman. Kemudian masyarakat juga ada yang menyebutnya dokar yang berasal dari dog car dalam bahasa Inggris.
Dokar adalah salah satu warisan budaya. Beberapa Raja zaman dahulu menggunakan dokar sebagai alat transportasinya. Di Museum Monumen Yogya Kembali menyimpan dokar yang pernah dipergunakan oleh Panglima Besar Jendral Soedirman.
Indonesia tak akan kehilangan akar-akar budaya jika mau melihat potensi peninggalan nenek moyangnya. Peninggalan budaya jika mau dikembangkan untuk mendukung pariwisata bisa sekaligus dijadikan langkah untuk melestarikannya. Masyarakat yang mencintai budayanya sendiri, kemudian pemerintah yang memberi ruang bagi masyarakat dan budaya lokal agar budaya tetap bisa eksis jika dikemas dengan menarik, dapat menarik wisatawan internasional.
Di tengah-tengah modernitas, dokar masih beroperasi di beberapa daerah di Indonesia. Untuk jarak tempuh yang relatif dekat, setidaknya dokar jauh lebih ramah lingkungan daripada kendaraan bermotor. Dokar zaman sekarang hanya menjadi alat transportasi sisa-sisa modernisasi. Di Yogya kabarnya dokar masih ada di sekitar daerah Malioboro sebagai transportasi wisata sedangkan di Bali juga sudah mulai digerus oleh alat transportasi lain. Di beberapa daerah dokar hanya menjadi alat transportasi yang diminati kaum tua, untuk mengangkut barang menuju atau dari pasar tradisional.
Belajar Percaya dan Nriman (menerima) dari Bapak Bajingan
Agak lama meninggalkan Rembang, beberapa bulan kemarin saya pulang naik bus Semarang Surabaya turun di halte depan obyek wisata Pantai Dampo Awang. Biasanya sepulang dari Semarang kalau masih pagi untuk sampai di rumah saya memilih naik dokarmenuju pasar Rembang, karena takut barangkali ada kenaikan tarif dan pekewuh mau tanya berapa bayarnya saya beri sepantasnya dengan lebih sedikit dari tarif yang dulu biasa saya berikan pada Bapak kusir. Dan biasanya bapaknya tidak pernah melihat berapa upah yang diberi, tapi langsung dimasukkan ke dalam saku.
Mereka umumnya tidak memberi tarif atau sakpawehe (diberi berapapun diterima saja/sukarela). Jadi jika ditanya kadang ya bilangnya “sakpawehe ae”. Kebanyakan penumpang adalah penumpang langganan yang kadang menetapkan tarif sendiri. Dan Pak kusir sejauh yang saya amati dari dulu sampai sekarang memang tak pernah melihat berapa yang diberikan penumpang tapi langsung diterima dan dimasukkan ke dalam saku baju.
Berbeda dengan kendaraan umum lain, walaupun kesepakatan tarif dan permintaan harga pada kendaraan umum lain sudah lazim dan dapat diterima sebagai balas jasa, tapi di sini Pak Kusir lain, mereka selalu nriman. Mereka percaya bahwa yang diterima pasti cukup, berapapun yang diberi oleh penumpang.
***
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Delman
http://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Monumen_Yogya_Kembali
Tulisan terkait Rembang:
Bersyukur dan Berbagi melalui Tradisi Ngalungi dan Baratan
Sedekah Bumi/ Sedekah laut: Thanksgiving-nya Orang Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H