Mohon tunggu...
Meliya Indri
Meliya Indri Mohon Tunggu... Guru - Innallaha ma'ana

Semoga kita bisa berteman..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar Mendidik

20 Mei 2014   23:12 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:19 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1400851602348334649

[caption id="attachment_325271" align="alignnone" width="611" caption="(ilustrasi: dok. Meliya)"][/caption]

Beberapa saat setelah melafalkan doa makan, baju Najma, Zizi, Chalif, Afif, Asraf, Nabila, dan Rama (usia 1-3 th) tampak belepotan makanan. Nasipun jatuh di lantai agak berceceran. Ketika tangan kanan mereka memegang sendok, kadang mereka tak sabar dan menggunakan tangan kiri mengambil nasi dari piring kemudian langsung memasukkannya dalam mulut. Guru dan pendidik tak bosan-bosan mengingatkan. “Hayo… makannya pakai sendok ya.. pakai tangan kanan ya?”

Demikianlah dunia anak-anak. Mereka masih berproses untuk menjadi lebih baik. Banyak cara kreatif yang bisa dilakukan untuk mendidik anak. Menjadi mandiri adalah salah satu pendidikan yang kami didikkan. Mungkin banyak pihak yang beranggapan bahwa dengan membiarkan mereka makan sendiri hanya akan mengotori baju dan lantai, makannya jadi tak kenyang, seenaknya sendiri karena dilakukan sambil memainkan nasi. Padahal membiarkan anak makan sendiri dapat melatih kemandirian. Supaya mereka tak manja.

Di sekolah, pendidikan karakter selalu kami selipkan di setiap kegiatan yang memungkinkan. Ketika guru dan pendidik memberi aba-aba, “Yuk makan siang dulu Yuk…” Mereka selalu antusias berkumpul untuk minta makan. Sebagian besar mereka selalu tidak sabar. Langsung berdiri mendekati meja dan nasi lalu berceloteh. “Najma mau!”, “Mau.” Sambil menarik-narik bakul dan tempat sayur.

Kami selalu mengajarkan mereka untuk mau bersabar. Sehingga ketika kami beri instruksi “Hayo… Duduk dulu. Kalau mau makan dulu, duduk yang anteng dulu ya… Yang masih berdiri di dekat meja dapat makan terakhir.” Mereka pun dengan segera duduk walaupun mulut mereka masih berceloteh. “Mau, Najma mau”, “Mau.”

Sekali lagi, mereka masih berproses. Pemakluman sangat diperlukan supaya sebagai orang tua di sekolah, guru juga tetap sabar menghadapi mereka. Ada beberapa kasus yang membuat saya pribadi jengkel. Ketika baru saja dikasih tahu, “Kiran… kalau mau pipis nanti bilang ya.. Miss Meli Kiran mau pipis, gitu ya? Coba ulangi, gimana?” Ketika dengan terbata-bata Kiran mau mengucapkannya, dan setengah jam kemudian dia pipis tanpa bilang sehingga basah di mana-mana rasanya sedikit jengkel. Dalam keadaan jengkel mengajaknya ganti baju, seolah-olah dia juga merasa diperlakukan dengan tidak tulus. Mulai rewel tak mau diganti dengan sedikit paksaan tapi malah naik ke bola dunia sampai atas. Pikir saya, najis karena pipisnya bisa sampai mana-mana, astaghfirullah… saya pun diam sebentar. Setelah dibujuk dengan guyonan, dia baru mau diganti. Sempat jengkel beberapa kali. Tapi begitulah, anak-anak.

Keberhasilan mendidik dan mengasuh adalah ketika mereka mengalami perkembangan, sekecil apapun itu. Dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa. Bukan membanding-bandingkan Mereka dengan yang lainnya. Karena mereka berbeda, dan kemampuan mereka berbeda-beda. Pendekatan terus menerus dan pemakluman serta pengertian yang baik sangat diperlukan.

Senang bukan main, ketika Najma tiba-tiba bernyanyi, “Subhanallah.... walhamdulillah.... walailahaillallah…. walahaula.. ” walaupun nada nggak jelas dan kata perkata diucapkan terbata-bata, rasanya senang bukan main ajaran kami diserapnya dengan baik, mengingat ketika menjelang tidur siang teman-teman selalu membisiki mereka lagu itu, atau ketika sibuk bermain tiba-tiba lamat-lamat ia berceloteh “Lir ilir..lir ilirr tandure wis sumilir…..” Saya terkejut, lhoh? Najma bisa?

Luar biasa… anak-anak, walaupun terlihat diam, sibuk sendiri bermain lego, bola, atau sibuk membolak balik buku dongeng sendiri ketika saya berceloteh nyanyi, ternyata mereka sedang mendengarkan. Dan mereka, anak-anak adalah peniru ulung. Belajar memahami dan memaklumi kepolosan mereka berarti belajar mendidik diri sendiri. Ketika mengajarkan untuk sabar menunggu dibuatkan susu waktu mereka merengek sampai menangis, guru dan pengasuh pun harus sabar menghadapi dan memaklumi sifat mereka. Jadi, karena alasan apa selama ini kekerasan terhadap anak masih sering terjadi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun