Mohon tunggu...
Meliya Indri
Meliya Indri Mohon Tunggu... Guru - Innallaha ma'ana

Semoga kita bisa berteman..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pengamen Jaranan

7 Februari 2014   13:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:04 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Asih masih melenggang di tengah jalan dan menari-nari sejak satu jam yang lalu. Kaki tangannya bergerak lentur, jemari yang sesekali nyempurit seirama dengan gerakan kaki dan ketukan tabuhan gamelan seolah-olah tak peduli terik yang bahkan membuat kebanyakan orang mengernyitkan dahi. Keterampilan yang pernah ia dapatkan semasa bergabung dengan kelompok kesenian ketoprak, kini dirasakan ada manfaatnya. Walaupun tak diiringi musik gamelan lengkap, tabuhan dan tariannya cukup menghibur.

Tapi mungkin tak semua orang terhibur, ia juga tahu bahwa keberadaannya bersama teman-temannya bisa saja mengganggu lalu lintas siang itu, tapi ia tetap bertahan bergabung dengan pengamen jaranan. Itulah salah satu cara menemukan orang-orang yang dicarinya. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Ada kemungkinan ia bisa bertemu dengan suami dan anaknya lagi jika mau menjalani ini. Ia juga bisa mendapatkan recehan rupiah untuk menyambung hidup. Lumayan, daripada sekedar meminta-minta dari rumah ke rumah.

Setiap pagi hingga menjelang petang, ia beraksi di jalanan, menari-nari tanpa henti. Matanya mengambil kesempatan menyisir ke arah trotoar, ke sudut-sudut jalan, dan ke setiap kendaraan yang berlalu lalang. Ia masih berharap semoga suami dan anaknya tiba-tiba lewat jalan tempat ia beroperasi setiap hari. Harapannya belum terputus.

*

Sudah enam bulan sejak ia kehilangan suaminya. Setiap malam ia selalu mengadukan kesedihannya kepada Tuhan. Dia masih ingat Tuhan, masih selalu menggenapi puasa Ramadhan, walaupun tak setiap malam ia melakukan salat tahajud, ia tak pernah melewatkan salat wajib, doanya selalu sama, memohon kepulangan suami dan anaknya.

Ramadhan tahun ini ia ingin menyiapkan sahur untuk suaminya. Asih masih percaya bersama kesulitannya masih ada kemudahan, karena itu dia belum berhenti berharap dan memutuskan bergabung dengan kelompok pengamen jaranan. Suatu saat pasti diberi kesempatan berkumpul kembali.

Awalnya Asih dan suaminya hidup bahagia di sebuah rumah di pinggir kota, bersama putra satu-satunya, mereka hampir tak pernah tak bersyukur atas kebahagiaan yang melimpah. Walaupun Derma, suaminya tak bisa melihat, ia menerimanya dan menghargainya. Mereka memiliki sebuah warung kecil serba ada. Dan penghasilannya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Hingga suatu hari, Derma suaminya bermaksud ke pasar untuk membeli Jahe. Tak seperti biasa Derma pergi hanya dengan anak laki-lakinya yang berusia tiga tahun. Biasanya ia ke pasar bersama Asih, pikirnya Derma pasti mengingat jalan, karena sudah sering ke pasar setiap hari. Derma punya kemampuan untuk mengingat-ingat jalan pulang, setiap hari ia bahkan paham letak barang-barang dalam rumah. Karena itu, Asih membiarkan suaminya pergi. Dan sejak saat itu suami dan anaknya tak pernah pulang.

Asih tak tahan di rumah sendirian, ia memutuskan menutup tokonya dan bergabung dengan pengamen jaranan supaya tetap bisa mencari anak dan suaminya sekaligus mendapatkan uang.

Hingga sore itu, ketika berteduh di depan warung pinggir trotoar, ia mendengar seseorang seperti menunjukkan keberadaan lelaki tunanetra yang ciri-cirinya sama dengan suaminya.

“Kok tumben bungkus nasi dua Kang?” pemilik warung bertanya pada salah satu pelanggan setianya.

“Iya, Itu kasian pengemis buta di pinggir toko.” Sambil menunjuk ke arah di mana pengemis itu duduk.

Seketika itu, Asih berlari menghampiri pengemis itu. Asih melihatnya, yang duduk di tepi trotoar memegang tongkat, ia kenal betul siapa dia. Asih menghampirinya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Derman yang merasa di sampingnya ada yang duduk mendekatinya langsung berdiri dan mencari tempat kosong lainnya. Ia khawatir kalau-kalau yang mendekatinya ibu-ibu peminta-minta yang sering merampas uang dan makanannya.

Setelah melangkah sekitar satu meter ke depan, seorang anak laki-laki memegang tongkatnya.

“Rendra?” Derman memastikan bahwa yang mengarahkan langkahnya adalah anaknya.

“Ibu?” Seketika itu, Asih langsung memeluk anaknya. “Pak, Ibu Pak!” Derman langsung berbalik dan melangkahkan tongkatnya ke arah mereka.

“Sih, Asih?” masih meraba-raba dengan tongkatnya.

“Iya kang ini Asih” Segera mendekat, Asih kemudian mencium tangan dan merabakan tangan Derma kewajahnya. Setelah ini sudah bisa dipastikan, bulan puasa yang akan datang delapan hari lagi akan ia lalui bersama keluarganya.

*

Buka-buka folder dan menemukan cerita yang kutulis di bulan Ramadhan tahun lalu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun