Mohon tunggu...
melitaiwandari
melitaiwandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa ilmu politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kotak Kosong atau Kotak Gosong?

10 Desember 2024   09:43 Diperbarui: 10 Desember 2024   09:57 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah semakin sering terjadi di Indonesia. Situasi ini memunculkan pertanyaan mendalam tentang kualitas demokrasi di tingkat lokal. Apakah keberadaan calon tunggal mencerminkan stabilitas politik, atau justru menjadi tanda kemunduran demokrasi karena masyarakat tidak diberi alternatif untuk memilih? Dengan hanya satu pasangan calon yang tersedia, rakyat tentunya dihadapkan pada pilihan yang terbatas, yakni mendukung calon tersebut atau memilih "kotak kosong”.
Masalah calon tunggal dalam Pilkada cukup kompleks, salah satunya adalah karena masalah internal parpol atau masalah finansial yang mengakibatkan partai politik memiliki absen untuk mencalonkan kader. Tentu saja hal ini sangat ironis, karena pada dasarnya pemilihan Kepala Daerah merupakan ajang persaingan antara partai politik dan melibatkan suara rakyat sebagai bentuk demokratis. Keputusan beberapa partai untuk tidak memberikan calon pada Pilkada sangat tidak sesuai dengan kemudahan yang telah diberikan MK. Pada keputusan MK terkait Pilkada 2024, memberikan beberapa kemudahan seperti partai politik atau gabungan partai politik kini dapat mengajukan pasangan calon tanpa harus memenuhi syarat 20% kursi DPRD atau 25% suara sah dalam pemilu terakhir. Akan tetapi, parpol memilih untuk mundur dalam pencalonan.
Fenomena ini jelas menjadi perhatian publik karena keterlibatan pada bagaimana masyarakat memahami proses demokrasi. Ketika hanya ada satu pasangan calon dalam Pilkada dan masyarakat tak diberikan pilihan lain, kotak kosong menjadi opsi alternatif bagi pemilih, Ini berarti pemilih tidak memilih dari beberapa kandidat, tetapi memutuskan apakah mendukung calon tunggal tersebut atau memilih untuk tidak memberinya mandat melalui kotak kosong. Hal ini dapat dianggap sebagai bentuk protes, kritik, atau simbol ketidakpuasan terhadap calon yang ada. Fenomena ini mencerminkan pesan dari masyarakat bahwa calon tunggal dianggap kurang mampu merepresentasikan aspirasi mereka atau diragukan dapat merealisasikan janji-janji yang dikampanyekan.
Menurut Quict Count, terdapat beberapa daerah yang memiliki jumlah kotak kosong cukup tinggi bahkan lebih tinggi dari jumlah suara yang diperoleh para calon kepala daerah. Di Pilkada Bangka, misalnya, sebanyak 57% pemilih memilih kotak kosong, yang artinya mayoritas suara masyarakat lebih memilih opsi tersebut daripada mendukung calon yang ada. Fenomena serupa juga terjadi di Pangkalpinang, di mana jumlah suara kotak kosong juga mencapai 57%. Sementara itu, di Gresik, meskipun jumlah suara kotak kosong tidak sebesar di Bangka dan Pangkalpinang, tetap tercatat cukup tinggi, yaitu sebesar 40%. Ini merupakan kritik keras masyarakat terhadap partai politik. Partai politik harus menjadikan ini sebagai evaluasi lebih lanjut. Dalam realitanya, setiap parpol memiliki kader yang kompeten, ini bisa menjadi pertanyaan besar kenapa mereka memilih untuk absen. Pencalonan kader oleh partai politik sejatinya harus dikuatkan agar politik dan demokrasi lebih dinamis, serta pencalonan kader juga dapat menekan potensi pragmatisme yang dibangun kaum kapitalis.
Sebagai respons terhadap calon tunggal, masyarakat memiliki opsi untuk memilih "kotak kosong" sebagai bentuk penolakan terhadap calon yang ada. Jika kotak kosong menang, pemilihan harus diulang, yang menunjukkan bahwa rakyat tidak puas dengan calon tunggal tersebut. Namun, mekanisme ini masih menghadapi tantangan, terutama dalam hal kesadaran masyarakat untuk menggunakannya sebagai alat kontrol demokratis. Di sisi lain, dukungan terhadap partai kecil, pendidikan politik yang lebih intensif, dan regulasi pemilu yang lebih inklusif dapat menjadi langkah penting untuk mencegah dominasi calon tunggal di masa depan.
Kotak kosong dapat dinilai sebagai pilihan yang lebih baik daripada paslon itu sendiri. Hak masyarakat memilih kotak kosong juga bagian dari aspirasi demokrasi. Memilih kotak kosong bukanlah kesalahan atau kemunduran politik, itu adalah hak demokrasi setiap masyarakat yang tidak bisa dikiritisi. Fenomena ini seharusnya menjadi momen introspeksi bagi partai politik dan kandidat untuk mengevaluasi diri, terutama dalam hal kualitas pelayanan yang diberikan kepada rakyat. Parpol harus memperkuat komitmen mereka dalam mencalonkan pemimpin yang kompeten dan memiliki rekam jejak yang baik. Sementara itu, kandidat terpilih perlu memastikan bahwa visi dan misi yang mereka janjikan selama kampanye dapat direalisasikan dengan baik. Selain itu, penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus lebih dioptimalkan untuk kepentingan rakyat, seperti pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, dan pendidikan yang merata. Dengan menjadikan kotak kosong sebagai bahan refleksi, parpol dan kandidat diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi dan memastikan pembangunan yang lebih inklusif dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Dampak dari calon tunggal terhadap demokrasi lokal sangat signifikan. Ketika pilihan politik terbatas, masyarakat cenderung kehilangan kepercayaan terhadap sistem pemilu. Ini berpotensi menurunkan partisipasi politik karena rakyat merasa tidak memiliki pengaruh dalam menentukan pemimpin mereka. Selain itu, fenomena ini sering dianggap sebagai gejala menguatnya oligarki politik, di mana keputusan politik hanya dikendalikan oleh segelintir elit. Kondisi ini bertentangan dengan prinsip demokrasi yang menekankan keterwakilan dan kompetisi yang adil.
Pilkada 2024 dengan calon tunggalnya adalah cerminan tantangan dalam sistem politik lokal di Indonesia. Meski sah secara hukum, situasi ini menimbulkan keraguan tentang esensi demokrasi yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih. Oleh karena itu, diperlukan upaya nyata untuk memastikan demokrasi di tingkat lokal tetap kompetitif dan representatif, sehingga setiap warga dapat merasa suara mereka benar-benar bermakna dalam menentukan arah pembangunan daerah

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun