Oleh Melissa Kurniawan
"Mbak, beras Koi Biru lima kilo berapa?" tanya seorang pembeli pada Karyatin, penjaga suatu toko kelontong di Tulungagung, Jawa Timur. "Biru 49.500 pak, kalau yang ijo 48.500… Pilih yang mana?" "Wah, naik lagi ya?" keluh si Bapak. "’Nggih pak. Apa coba yang ini, Ngawiti, cuma 47.000. Niki nggih eco (baca: ini juga enak)." "Ngawiti mawon (baca: saja)." ujarnya sambil menghela nafas. Harga beras di toko tersebut telah naik lebih dari tiga kali semenjak pergantian tahun 2014.
Bencana alam, gagal panen, kenaikan upah minimum dan Tarif Dasar Listrik (TDL) serta premium bersubsidi dituduh turut andil menaikkan harga-harga bahan pokok. Akibatnya, masyarakat berpendapatan sedang dan rendah yang tidak memiliki sawah harus mengurangi konsumsi beras atau mengorbankan pengeluaran yang lain jika ingin menabung untuk pensiun atau pendidikan anak.
Sungguh ironis bila masyarakat yang tinggal di wilayah penghasil beras harus merasakan makin tidak terjangkaunya harga bahan pangan pokok. Ibaratnya seperti tikus mati di lumbung padi. Pada Juli 2012 Jawa Timur disebut sebagai penyumbang pengadaan beras terbesar nasional sejak awal tahun dengan 31,27 persen dari total pengadaan beras sebesar 2,36 juta ton. Beras sebanyak itu disebarkan ke daerah lain seperti Jawa Barat hingga Sumatera Utara.
Beras adalah makanan hampir setengah populasi dunia. Konsumen beras tertinggi per kepala (130-180 kg/ tahun dengan beras sebagai sumber utama tenaga) salah satunya adalah Indonesia. Protein beras memiliki asam amino lebih tinggi dibanding sereal lain serta tingkat serat rendah sehingga cocok dikonsumsi bayi. Beras mampu memenuhi kebutuhan karbohidrat dan protein harian dasar pekerja kasar dewasa –yang mirip dengan mayoritas penduduk terbesar kita.
Negara kita pernah menjadi pengekspor beras yang cukup disegani di dunia. Pada 1980-an Indonesia mencapai swasembada pangan dengan surplus 7 persen per tahun. Dari tahun 1968-1989 produksi beras naik dari 12 juta menjadi lebih dari 40 juta ton per tahun. Angka fantastis yang sebanding dengan usaha keras pemerintah memperbaiki sistem pertanian nasional. Pada kurun waktu yang sama 2,5 juta hektar lahan irigasi direhabilitasi, saluran irigasi diperluas untuk menjangkau 1,2 juta hektar sawah, dan pembinaan petani daerah digalakkan.
Pertanian masa itu bukan tanpa masalah. Penggunaan pestisida sempat menurunkan jumlah pemangsa hama sehingga panen terancam gagal. Untuk mengatasi ini subsidi pestisida dihapus dan predator alami dibudidayakan. Pemerintah juga mengatasi kekuatiran kurang pangan dengan cadangan beras yang cukup besar pada masanya, yaitu sebesar dua juta ton.
Ini bertolak belakang dengan kondisi sekarang. Pemerintah seolah tak acuh menghadapi fakta bahwa mereka kurang mampu menstabilkan harga beras di pasaran. Mengenai kenaikan harga beras di Pasar Besar Cipinang Januari 2014, Menko Perekonomian seolah yakin cadangan beras sebesar dua juta ton serta devisa dua triliun akan mampu mengatasi ancaman kenaikan harga beras di wilayah tersebut. Kepala Perum Bulog dengan nada serupa terkesan menganggap kenaikan harga beras ‘sedikit’ di daerah sebagai sesuatu yang wajar.
Menanggapi jumlah cadangan beras negara, sepertinya kurang realistis jika pemerintah masih menggunakan patokan dua juta ton untuk menjaga ketersediaan pangan dan kestabilan harga beras. Jumlah penduduk kita pada 2014 lebih dari 253 juta, meningkat dari sekitar 161 juta orang pada 1984. Terlepas dari fakta bahwa bencana alam yang beragam dan berkepanjangan pasti akan berpengaruh terhadap pasokan dan distribusi beras, hendaklah kita tidak mengabaikan fakta bahwa kenaikan harga tetaplah suatu hal serius yang akan dibayar mahal oleh rakyat kebanyakan.
Mungkin kita perlu mengkaji ulang sistem pertanian dan alokasi pertanahan di negeri kita. Banyaknya alih fungsi sawah menjadi perumahan ataupun rumah pribadi juga merupakan dampak kurangnya kesadaran pengembang serta individu dalam melihat nilai sawah di luar nilai nominal jualnya.
Setiap kita akan setuju bahwa urusan perut lebih mendesak ketimbang urusan tempat tinggal. Kemampuan lahan sawah menyediakan pangan dan menyumbang kestabilan harga bahan pokok di pasaran harus dipandang sebagai suatu yang lebih berharga ketimbang kemampuannya untuk diubah menjadi lahan yang menguntungkan sejumlah kecil pihak saja. Kawasan perumahan dapat dibangun vertikal, sehingga bisa dipusatkan di titik-titik wilayah tertentu. Sedangkan hingga kini belum ada teknologi pertanian yang memampukan kita untuk menanam beras secara vertikal.
Mungkin kita perlu menggali ulang kebijaksanaan pemerintah dalam segi pertanian dari orde yang terdahulu. Mungkin kita perlu meniru negara tetangga seperti Thailand dan India dengan risetnya atau Vietnam yang konsisten dalam alokasi dan pembinaan hasil buminya sejak tiga dasawarsa terakhir.
Dengan perbaikan sistem pertanian dan peningkatan kesadaran seluruh pihak terkait tentang pentingnya ketahanan pangan, diharapkan kenaikan harga beras akan dapat dicegah dan kemakmuran petani akan mampu ditingkatkan. Tanpa fokus terhadap yang terpenting, yakni pemenuhan pangan sebagai kebutuhan dasar, akan sulit mencapai kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana disebutkan di dalam pembukaan UUD’45. Kerja sama dan kejujuran setiap pihak dalam melihat krisis sangat diperlukan untuk adanya perubahan ke arah yang lebih baik.
http://www.tempo.co/read/news/2012/07/04/090414774/Jawa-Timur-Pasok-Beras-Terbanyak
http://www.tempo.co/read/news/2012/09/10/090428629/Akibat-Kemarau-Penyerapan-Beras-Bulog-Menurun
http://www.cambridge.org/us/books/kiple/rice.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/Rice_production_in_Indonesia
http://www.tempo.co/read/news/2014/01/23/090547540/Banjir-Harga-Beras-di-Cipinang-Sudah-Naik-Rp-500
https://rse.anu.edu.au/news_events/vietnam_workshop_pdfs/paddy.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H