kepemimpinan. Saya pasif dalam kelompok, jarang mengeluarkan pendapat, tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian, apalagi menjadi pemimpin.
Sejak kecil saya merasa tidak pernah memiliki jiwaKetika pertama kali ditunjuk menjadi ketua kelompok tugas oleh guru saat masih SD, saya merasa tidak dapat melakukannya dengan baik. Meski kelompok saya sebenarnya juga tidak buruk-buruk amat. Tapi saya tetap "merasa" tidak dapat memimpin.
Saat SMP saya senang karena dipilih untuk mengikuti Latihan Dasar Kepemimpinan OSIS. Saya tidak terpilih menjadi pengurus OSIS. Namun saya cukup senang bisa mendapat ilmunya. Sejak itu saya sering aktif ikut kegiatan atau organisasi untuk melatih keberanian saya sendiri dalam lingkungan pergaulan.
Saat saya menikah, saya memiliki salah satu kriteria pasangan yang saya idamkan. Yaitu salah satunya adalah bisa menjadi pemimpin. Jadilah saya terpesona (yaelaah!) pada suami saya yang sejak kecil selalu menjadi ketua. Dari ketua Kelas, Ketua OSIS SMP, Ketua OSIS SMA, Ketua BEM, Ketua Alumni dan sekarang dia juga menjadi Ketua Ormas Pemuda Perantauan.
Baca juga : Pemuda Berkarya Membangun Kampung Halaman
Saya selalu meyakini bahwa suami saya bisa memimpin karena dia memiliki bakat. Namun setelah saya mengenalnya, kepemimpinannya terbentuk bukan sekadar bakat, tetapi juga karena dilatih sejak kecil.Â
Dia menguasai medan, karena dia mengetahui bagaimana cara mengendalikan orang, membuat keputusan, mengumpulkan pendapat, menyatukan perbedaan pendapat, menghargai banyak kepentingan, juga dalam berstrategi ketika ada opisisi atau hambatan.
Suami saya juga membaca banyak sekali buku kepemimpinan dan biografi para pemimpin dunia. Hobinya setiap malam adalah membaca Wikipedia dan sejarah negara atau kerajaan.
Sejak saya mengenal suami saya, secara tidak langsung ilmunya banyak yang dibagi pada saya.
Pada suatu saat saya mulai ditunjuk menjadi koordinator kegiatan atau tim di kantor. Entah mengapa, kepercayaan diri saya bertambah dan saya merasa puas dengan kinerja saya. Saya merasa dapat melakukannya dengan baik, tim saya solid dan dapat berjalan dengan baik.
"Semakin tinggi tingkat kepemimpinan seseorang, semakin tinggi pula efektivitasnya" - John C. Maxwell.
Saya masih belum tahu apakah saya memiliki jiwa kepemimpinan. Tapi saya mau belajar. Setidaknya saya mau mempersiapkan diri. Bila saya ditunjuk, artinya saya dianggap kompeten.
Ada tiga teori tentang asal usul kepemimpinan.
Pertama adalah teori genetis, yang meyakini bahwa kepemimpinan dimiliki seseorang karena faktor genetis atau keturunan. Sehingga seorang pemimpin memang lahir memiliki bakat.Â
Hal ini terlihat di kalangan kerajaan. Memang zaman dahulu seorang bisa menjadi pemimpin karena diturunkan oleh ayahnya yang juga merupakan raja.
Teori kedua menyatakan bahwa kepemimpinan itu dibentuk bukan dilahirkan. Teori ini meyakini bahwa semua orang memiliki potensi yang sama untuk menjadi pemimpin jika dididik dan dilatih.
Teori terakhir merupakan teori yang meyakini bahwa kepemimpinan yang baik didapat karena bakat lahir yang diasah dan terus dilatih.
Saya setuju dengan teori terakhir. Kenyataannya perlu sebuah potensi awal untuk seseorang menjadi pemimpin. Setidaknya dia perlu memiliki rasa percaya diri, berani mengemukakan pendapat, juga berani bertanggung jawab.
Saya mendapati beberapa orang disekitar saya yang seumur hidup tidak pernah memimpin apapun. Hanya mengikuti suara mayoritas dan cenderung pasif dalam kelompok. Bahkan mereka menolak dan mundur jika diberi kesempatan. Tentu mereka melewatkan kesempatan untuk mengetahui potensi dalam diri.Â
Saya sendiri sebelumnya harus "ditunjuk" dahulu, untuk sampai akhirnya berani untuk mulai belajar. Artinya mungkin guru dan pimpinan saya ingin melihat apakah saya memiliki kompetensi itu. Ketika saya ditunjuk kembali, maka artinya saya dianggap memiliki potensi. Meski mungkin masih banyak yang perlu dikembangkan.
Orang lain ada yang merasa sangat percaya diri mengajukan diri sebagai ketua, selalu ingin menonjol, namun nyatanya egois dan tidak diikuti oleh anggota yang lain. Tentu bukan seperti ini gambaran pemimpin.
Disamping itu ada beberapa orang yang selalu menjadi ketua. Entah ketua kelompok, tim, organisasi atau juga menjadi orang yang dominan dalam pergaulannya. Mereka bahkan selalu dipilih dan dipercaya untuk menjadi ketua. Termasuk suami saya. Inilah yang saya sebut sebagai orang yang telah memiliki bakat.Â
Namun itu baru cukup untuk menjadi pemimpin, bukan menjadi pemimpin yang baik dan sukses.Â
Menjadi pemimpin yang baik dan sukses, serta diakui sebagai pemimpin, perlu pendidikan dan pelatihan. Perlu diasah dan dibiasakan. Pemimpin sejati tentunya juga memiliki sikap bijaksana, tidak egois dan sekaligus tegas dalam membuat keputusan.Â
Pemimpin sejati juga tentunya memiliki pengaruh yang kuat dan diikuti oleh enggotanya.
Jika ingin mengetahui apakah memiliki bakat atau potensi menjadi pemimpin maka setidaknya Anda harus memiliki rasa percaya diri dan keberanian untuk bertanggung jawab.Â
Jangan melewatkan bila ada kesempatan untuk belajar menjadi pemimpin baik berupa pelatihan maupun ketika ditunjuk sebagai pemimpin, meskipun hanya tim kecil. Disamping itu tetaplah membekali diri dengan ilmu dari buku maupun senior yang telah berpengalaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H