Mohon tunggu...
melisa emeraldina
melisa emeraldina Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis untuk Berbagi Pengalaman

"Butuh sebuah keberanian untuk memulai sesuatu, dan butuh jiwa yang kuat untuk menyelesaikannya." - Jessica N.S. Yourko

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Milenial Susah atau Tidak Mau Punya Rumah?

3 Juli 2021   15:37 Diperbarui: 3 Juli 2021   21:49 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menemukan sebuah post di Instagram, video cuplikan Podcast antara Luna Maya, Sophia Latjuba, dan Marianne Rumantir, diambil dari channel youtube TS Media yang di tayangkan pada 11 Mei 2021.

"Saya tidak punya rumah," tutur Sophia.

Sophia menjelaskan bahwa harga rumah di Jakarta terlalu mahal, bahkan setara dengan rumah di Beverly Hills. "It's not worth the price," ungkapnya. Dia lebih memilih menyewa rumah dan senang bisa berpindah-pindah setiap 2 tahun.

"Bukannya kalau diperpanjang-perpanjang tiap tahun, the amout you spent sama, kan mirip-mirip," tanggap Luna.

"Ini dia benar-benar menjiwai anak muda zaman sekarang, gua baca statistik itu, seperti itu. Lately, recently itu aku baca ada statistik, anak-anak muda zaman sekarang, mayoritas, nggak semua ya, mayoritas itu tidak mau memiliki rumah. Pengennya nyewa, karena pengen mempunyai kebebasan...." Marriane ikut menanggapi.

Pernyataan Marianne ini mengingatkan saya akan sebuah seminar yang saya hadiri di sebuah Hotel di Jakarta, yang diadakaan oleh sebuah Kementerian bersama Bank Nasional pada tahun 2019. Seminar tersebut membahas tentang Perumahan bagi Generasi Milenial. Pesertanya adalah undangan dari kalangan mahasiswa dan millenials.

Salah seorang peserta yang merupakan mahasiswa, mengungkapkan bahwa dia dan kalangan milenial saat ini tidak terlalu ingin memiliki rumah. Karena saat memiliki rumah juga akan ada banyak biaya yang dikeluarkan. Biaya pajak dan perawatannya. Dia meyakini untuk tinggal di rumah tidak harus memiliki, tapi bisa menyewa. Karena harga rumah juga terlalu mahal.

Seorang peserta lain juga menyebutkan hal yang sama, bahwa lebih memilih membeli mobil daripada rumah, meskipun ada pula dalam forum tersebut yang mengungkapkan ingin membeli rumah pribadi supaya menjadi aset di masa depan.

Saya tidak sependapat dengan mereka. Mungkin seorang Sophia yang memiliki banyak uang tidak menjadi masalah bila berpindah rumah setiap saat. Namun bagaimana dengan orang lain kebanyakan?

Menurut saya, ada beberapa alasan mengapa seseorang WAJIB memiliki rumah. Pertama, karena rumah adalah kebutuhan pokok setelah sandang dan pangan, seperti slogan yang sering kita dengar, "Kebutuhan manusia itu sandang, pangan, papan". 

Alasan kedua adalah untuk membina rumah tangga yang mandiri. Bagi saya setelah seseorang memiliki keluarga maka, sebaiknya memisahkan diri dari rumah tangga orangtua.

Alasan ketiga adalah untuk kenyamanan hari tua. Karena saat usia seseorang tidak produktif lagi, maka dia tidak akan mampu untuk menyewa rumah lagi. Syukur-syukur kalau ada yang beruntung mendapat warisan. Itu bonus, tapi tidak bisa diharapkan. 

Memiliki hunian sendiri ketika usia sudah tidak produktif juga menyelamatkan keturunan kita menjadi Sandwich Generation yang harus membayar sewa rumah kita (Baca: Sandwich Generation, Bagaimana Mengakhiri?). 

Sementara bagi usia lanjut, berat bila harus berpindah-pindah rumah bila ternyata ada kemungkinan buruk sewa tidak bisa diperpanjang.

Pada tulisan kali ini, saya akan membahas 5 tantangan dan 3 kemudahan bagi milenial untuk memiliki rumah.

Tantangan Memiliki Rumah Bagi Generasi Milenial

1. Tingginya Harga Rumah

Menurut Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) Bank Indonesia, dalam satu dekade kenaikan harga hunian mencapai 39,7 persen. Sedangkan kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) di seluruh Indonesia per tahun lebih dipengaruhi kenaikan inflasi. (sumber : pu.go.id).

Harga rumah di kota besar tidak terjangkau bagi kalangan milenial yang gajinya UMR. Di atas UMR pun, saya rasa masih susah bila ingin memiliki rumah. Tapi kalau menunda membeli rumah, apakah kalian yakin jumlah kenaikan tabungan kalian bisa menandingi kenaikan harga rumah?

2. Tidak Memiliki Pendapatan Tetap

Salah satu syarat untuk mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), yang saya intip dari website sebuah Bank Nasional adalah "Memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap, dengan masa kerja/usaha minimal 1 (satu) tahun (pegawai) atau 2 (dua) tahun (profesional/wiraswasta)."

Syarat tersebut berat bagi milenial. Mengapa? Banyak perusahaan saat ini yang membatasi jumlah pegawai tetap. Pegawai yang ada sebagian besar merupakan tenaga kontrak yang kontraknya diperbarui setiap tahun.

Selain itu di zaman industri 4.0, di mana segalanya bersifat teknologi digital, kenyataannya banyak milenial bekerja di sektor digital. Menjadi freelancer, selebgram, Youtuber, atau berjualan online menjadi pilihan bagi mereka yang berjiwa kreatif atau memang kesulitan mendapat pekerjaan tetap.

KPR bagi pegawai informal sudah mulai dikembangkan skemanya oleh pemerintah, dengan skema berbasis komunitas, untuk jenis perumahan subsidi.

Bank dan para stakeholder lain tampaknya perlu mulai beradaptasi dan membuat skema baru yang lebih ramah bagi pekerja informal maupun pegawai tidak tetap.

3. Lokasi Rumah yang Terjangkau Terlalu Jauh

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan perumahan subsidi KPR -FLPP (Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan. Harga rumahnya dibatasi oleh pemerintah bergantung lokasinya yaitu maksimal Rp150 Juta - Rp219 Juta, suku bunga flat di angka 5%, sangat jauh dari suku bunga konvensional yang berkisar 10% dan memiliki tenor hingga 20 tahun. 

Namun lokasi rumahnya masih cukup jauh dari pusat kota, sementara aktivitas pekerjaan tentunya di kota. Sehingga menjadi permasalahan baru jika memutuskan pembelian rumah yang terlalu jauh. Lelah dan berat di ongkos. (Baca: 8 Pertimbangan Memilih Rumah Pertama)

4. Tabungan

Generasi milenial memiliki banyak sekali pilihan dan keinginan ketika memiliki uang. Industri 4.0 tampaknya mengubah segalanya. Belanja online, booking tiket dan hotel online, beli makanan online, ojek online, media sosial, media massa semua dalam genggaman. 

Hidup yang oleh orang zaman dahulu dianggap boros menjadi biasa saja pada zaman sekarang. Orang setiap hari bisa saja beli makanan online, pergi ke mana-mana naik ojek online. Belanja barang semudah menjentikkan jari, hingga barang yang tak penting pun dibeli.

Generasi sekarang tampaknya lebih sulit untuk menabung. Bagaimana bisa menabung kalau uang saja ditaruh di dompet digital. Dulu mungkin harus ke bank atau ke mesin ATM untuk transfer uang ketika membeli barang. Sekarang bisa mobile banking, dompet digital, ke minimarket terdekat atau bahkan COD (Cost On Delivery). Generasi sekarang menjadi lebih konsumtif.

Perlu ada pemahaman pengelolaan keuangan  yang baik agar generasi milenial juga dapat memiliki prioritas dalam penggunaan uang, salah satunya untuk menabung memiliki rumah. 

5. Mindset

Seperti kasus Sophia Latjuba dan Mahasiswa yang menyampaikan opini di Indonesia Housing Forum, maka saya kutip dari sebuah artikel Kompas pada November 2020, berdasarkan survei Consumer Sentiment Study Semester II 2020 Rumah.com, setidaknya 58 persen responden milenial atau di rentang usia 22-39 tahun mengaku belum memiliki hunian.

Dari jumlah tersebut, 63 persen di antaranya memilih menunda memiliki hunian lantaran belum menikah. Angka ini meningkat dari periode sebelumnya yang hanya sebesar 46 persen.

Sehingga perubahan mindset di kalangan generasi milenial ini perlu  menjadi perhatian khusus. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan baru untuk menyediakan hunian bagi millenial, namun perlu dilakukan sosialisasi lebih masif melibatkan para influencer yang lebih didengarkan oleh kaum milenial daripada sekadar publikasi media.

Kemudahan Memiliki Rumah bagi Milenial

1. Kemudahan Pembiayaan Awal

Kemudahan yang pertama yaitu dari sisi pembiayaan awal yaitu DP, biaya pajak dan juga biaya KPR biaya lain-lain. Zaman dulu kita bila mau membeli rumah minimal harus punya DP 30%. 

Setelah itu masih ditambah pajak, biaya KPR dan biaya lain-lain, hingga harus merogoh kocek hingga  Rp 100 juta atau lebih, tergantung harga rumah. Tetapi sekarang banyak sekali kemudahan Karena sekarang pengembang dan Bank sudah bekerjasama untuk membuat skema-skema yang jauh lebih mudah untuk diakses. 

Contohnya yaitu DP 10% atau bahkan 0 rupiah, gratis Biaya KPR atau diskon-diskon lainnya. Adapula yang membuat konsep harga sudah termasuk pajak. Sehingga pembiayaan awal menjadi lebih ringan. 

Namun hati-hati, DP yang ringan juga menyebabkan biaya cicilan yang tinggi. Maka usahakan menabung dahulu agar bisa membayar DP yang lebih besar, sehingga mengurangi cicilan bulanan.

Kemudahan juga dikeluarkan Pemerintah melalui program Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT), dan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

2.  Kemudahan Mencari Informasi Rumah

Dahulu mencari informasi pengembang perumahan atau rumah second dijual itu sangat sulit, harus melalui agen atau kenalan. Pun harus bolak balik untuk mengecek lokasi dan kondisi rumah. Namun sekarang banyak website khusus pencarian rumah. Lokasi dimana pun tersedia informasinya, beserta harga dan nomor kontak yang bisa dihubungi.

Kemudahan juga bisa kita dapatkan melalui media sosial. Banyak tersedia video yang ditayangkan melalui Youtube, instagram maupun TikTok, menunjukkan lokasi perumahan baru, bagaimana kondisinya dan bahkan wawancara dengan salesnya.

Lokasi perumahan juga bisa langsung di cek melalui Google Map. Apakah lokasinya layak, strategis, mudah dijangkau dengan transportasi, bahkan tingkat kemacetannya.

3. Pilihan Bentuk Rumah

Dulu pilihan rumah hanya bentuk rumah tapak. Sekarang, bila kesulitan mencari rumah tapak dengan harga terjangkau di pusat Kota, maka masih banyak pilihan rumah lainnya. Ada apartemen yang biasa dibangun dengan harga yang lebih terjangkau di lokasi strategis dan lebih dekat dengan pusat Kota.

Ada Condovilla atau Low Rise Apartement, yang merupakan apartemen dengan tinggi bangunan sekitar 5 lantai, harganya mungkin sedikit lebih mahal daripada apartemen, namun lebih nyaman karena tidak terlalu lama menunggu lift, parkiran lebih lega, karena tidak terlalu banyak penghuni dan kenyamanan ketika terjadi bencana, lebih mudah saat evakuasi.

Pilihan lain yaitu aparthouse, yang merupakan rumah tapak dengan luasan tanah minim, biasanya kurang dari 30 m2. Konsepnya bukan meluas tapi bertingkat, mengadopsi dan menggabungkan bentuk rumah dan apartemen. Meskipun tanahnya sempit, aparthouse memiliki kepemilikan atas tanah pribadi.

Mungkin sebagian besar pilihan ini baru ada di Jabodetabek, namun di kota besar di Indonesia lainnya juga sudah mulai ada apartemen. 

**

Itulah 5 tantangan dan 3 kemudahan milenial untuk memiliki rumah, menurut pendapat dan hasil riset saya melalui berbagai media. Bagaimanapun juga, keputusan memiliki rumah adalah sebuah komitmen jangka panjang, perlu kesiapan keuangan, mental dan kesepakatan bersama pasangan.

Kalau saya memilih punya rumah pribadi. Meski kecil atau masih agak jauh. Kalau kamu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun