SESI 1:
PENGENALAN FILM BUDI PEKERTI
Sebuah tayangan perdana yang menelisik unsur utilisasi media sosial pada era pandemi Covid-19 tahun 2020 yang disirkulasi dengan mengapungnya berita hoaks, aksi misuh di balik layar handphone, kebiasaan memviralkan masalah, sampai pada kultur cancel yang dianggap gebrakan revolusioner. Budi Pekerti mahakarya Wregas Bhanuteja adalah sebuah film panjang mendekati dua jam yang substansinya disusun pada skema kehidupan seorang guru konseling, Bu Prani, yang hidup dilematis terkena dampak dari kultur cancel pada saat juga mencecap problematika rumah. Sebuah film yang memenangkan Santa Barbara International Feature mengimplikasikan bagaimana relevansi Budi Pekerti dengan jalinan interaksi manusia yang memantul pada giringan opini satu sama lain yang kontradiktif; menjadikan manusia lasuh terjerembab dalam iring-iringan opini yang salah.
Budi Pekerti dibintangi Prilly Latuconsina, Angga Yunanda, Sha Ine Febriyanti, Dwi Sasono, Omar Estheglal, dan lainnya yang memang popular dalam perfilman. Film ini terbuka untuk dinikmati di platform Netflix.Â
SESI 2:
RETORIKA FILM BUDI PEKERTI
Film ini dikemas agar peledakan emosi audiens disampaikan fokus kepada rantai negatif penyebaran informasi di media sosial yang memutus kehidupan damai Bu Prani. Sementara Budi Pekerti sendiri substansi filmnya tidak dominan pada aplikasi Budi Pekerti atau sebagai yang didefinisikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tingkah laku, akhlak, perangai serta watak, melainkan seperti kisah beramanat tersirat yang isinya seperti diadisi cermin RE-FLEK-SI yang sampai pada progres dibangun eksponensial di mana apa yang figur lakukan merupakan resapan untuk tidak dilakukan oleh audiens atas nama Budi Pekerti. Secara hemat, Budi Pekerti meneriaki audiens tanpa suara setiap seorang tokoh mengacau kehidupan Bu Prani,Â
INI BUKAN BUDI PEKERTI!
Dalam rintik-rintik aspek positif yang ditampung oleh film Budi Pekerti ini, Wregas Bhanuteja sedikitnya meletakan kompleksitas dalam simplisitas pemaknaan Budi Pekerti yang masih melekat pada konsep untuk memerangi kultur viral, hoaks, lasuh tergirirng opini negatif, dan misuh-misuhan. Kerumitan itu terletak pada retorika dari film Budi Pekerti itu sendiri.Â
Retorika adalah ilmu yang mempelajari cara bertutur kata di hadapan orang lain dengan sistematis dan logis untuk memberikan pemahaman dan meyakinkan orang lain (Saputra 2006). Dalam Budi Pekerti, Wregas menuturkan kata menjadi sebuah karya visual yang meyakinkan orang bahwa akar permasalahan yang elusif itu adalah kultur dalam penyebaran penggunaan sosial media yang tidak bijak itu sendiri, termasuk subjek eminen seperti Bapak Berbaju Elang, lalu anggota Gaunting Tirta, dan karakter sampingan naratif fundamental seperti para perekam di pasar, murid dan orang tua yang kontra, guru-guru senam yang insensitif, maupun lain sebagainya yang berjalan dalam arah oposisi dari Bu Prani yang dilanda masalah, juga Pak Didit yang turut kontribusi dalam problematika rumah yang terkesan infinit. Kepiawaian Wregas dan tim dalam membungkus Budi Pekerti dalam sebuah keutuhan yang melemparkan audiens perspektif bahwa Bu Prani, Tita, dan Muklas adalah korban yang masalah singularnya adalah H-O-A-K-S.Â
Meskipun kebenaran itu ada dan mengisi plot cerita Budi Pekerti, sebuah siluet aktansial yang hilang dalam cerahnya pewarnaan Budi Pekerti adalah dinamika interaksi Bu Prani, Tita, dan Muklas itu sendiri. Bagaimana demikian?
SESI 3