Selama 21 tahun tinggal di Jakarta, saya telah hidup berdampingan dengan orang-orang dari berbagai macam etnis. Sebut saja betawi, batak, jawa, sunda dan masih banyak lagi. Sampai sekarang, keluarga saya belum pernah sedikitpun memiliki konflik dengan etnis-etnis tersebut, atau setidaknya itulah yang kami rasakan. Namun ada satu etnis yang menurut saya cukup banyak ditemui baik itu sewaktu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Kejuruan, tetangga di sekitar rumah, maupun orang-orang yang baru saya kenal. Etnis yang sering saya temui adalah Jawa. Sejak saya kecil adat istiadat Jawa telah saya rasakan dari tetangga-tetangga saya di lingkungan rumah lama (Sudah 5 tahun saya pindah dari rumah yang lama). Tetangga-tetangga saya yang etnis Jawa sering melakukan slametan, yang kata mereka adalah upaya ucapan syukur baik jika ada kelahiran baru, sanak keluarga pergi merantau, ganti nama, penyembuhan penyakit, dan masih banyak lagi. Biasanya mereka akan mengundang tetangga terdekat untuk mengadiri slametan dan berbagi makanan. Keberadaan mereka yang dominan membuat saya tertarik untuk mempelajari etnis Jawa. Terlebih lagi saya juga percaya dengan simbol mimpi yang juga biasanya dipercayai oleh orang Jawa. Saya akan membahas mengenai simbol-simbol tersebut di akhir bab ini, sekarang saya akan membahas tutur kata dan perilaku orang Jawa yang terkenal lembut dan tidak ingin menyinggung perasaan orang lain.
Dalam kehidupan mereka, orang-orang Jawa dipengaruhi oleh beberapa konsep yang sangat berakar baik di budaya Jawa, yaitu: tata karma, andhap-asor, dan tanggap ing sasmita (gaya bicara, merendahkan diri ketika memuji orang lain, dan mampu menangkap maksud yang tersembunyi). Ungkapan tata karma berarti berperilaku baik atau beretika. Oleh karena itu, ketika orang Jawa berperilaku tidak sipan, misalnya ketika seorang anak muda berjalan di depan kakek neneknya tanpa permisi dan tidak membungkukan badan, dia akan dianggap sebagai seseornag yang tidak sopan dan tidak tahu tata karma. Kalau untuk tata karma, saya rasa orang Batak juga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ketika saya lupa membungkukan badan jika berjalan di depan nenek saya, maka Ibu saya langsung menegur saya sebagai anak yang tidak sopan.
Konsep selanjutnya dari budaya Jawa adalah andhap-asor. Istilah ini menurut kamus terdiri dari dua kata yaitu andhap “rendah” dan asor “sederhana”. Oleh karena itu, untuk bertingkah laku andhap-asor artinya merendahkan hati ketika memuji orang lain. Konsep ini menjadikan orang Jawa untuk mejadi low profile. Sebagai seorang Jawa, mereka tidak akan mencemarkan nama lawan bicaranya dan memuji dirinya sendiri. Ketika orang Jawa melanggar aturan ini, sebagaimana yang merujuk pada tata karma, maka ia akan dianggap tidak sopan dan mungkin akan mendapat sangsi sosial.
Oleh sebab itu, kedua konsep ini memiliki hubungan yang dekat. Berperilaku sopan bagi orang Jawa, seseorang harus tahu bagaimana berperilaku sopan atau tahu tata karma, dan berperilaku sopan juga berarti seseorang harus memiliki rasa andhap-asor. Pada akhirnya, sebagai orang Jawa yang baik, harus memiliki rasa tanggap ing sasmita yang jika artikan sebagai kemampuan untuk membaca yang tersirat.Grice (1981) memperkenalkan istilah ‘maksud’ untuk kasus tersebut yaitu apa yang dimaksud, disiratkan, atau diusulkan oleh pembicara adalah berbeda dari apa yang pembicara katakana. Itu artinya pembicara mungkin mengekspresikan gagasannya secara tidak langsung kepada lawan bicaranya. Itu akan dianggap kurang sopan atau mungkin menyakiti perasaan lawan bicara jika mengekspresikan gagasannya secara langsung. Bagi orang-orang Jawa, tidak selalu diperlukan bagi pembicara untuk mengekspresikan perasaannya secara langsung karena budaya dari tanggap ing sasmita artinya ‘sebuah perasaan baik’ atau maksud, menurut Grace. Tentunya budaya tersebut sangat bertolak belakang dengan budaya orang Batak. Kami sebagai orang Batak biasanya tidak akan menyembunyikan sesuatu jika hendak ingin dikatakan kepada seseorang. Budaya yang bertolak belakang inilah yang menjadi salah satu faktor ketertarikan saya dengan etnis Jawa.
Hubungan sosial orang Jawa juga dibentuk karena adanya tepo sliro, artinya mengukur kepada diri sendiri sebelum sesuatu dilakukan terhadap orang lain. Nasihat ini dapat diartikan lain bahwa “jangan melakukan suatu perbuatan kepada orang lain, yang tidak ingin dilakukan terhadap diri sendiri” , “jangan melukai perasaan orang lain”, “jangan mencampuri urusan orang lain” , dan sebagainya. Sepertinya menjadi orang yang sensitif adalah sebuah keharusan bagi orang Jawa.
Selain gaya bicara yang bertolak belakang dari gaya bicara orang Batak, pemakaian simbol-simbol dalam budaya Jawa telah menarik perhatian saya. Seperti yang telah saya bahas di chapter sebelumnya, saya sampai sekarang masih mempercayai simbol-simbol dalam mimpi. Meskipun tidak dapat diterima secara logika, dan sebenarnya saya sadar akan hal itu, tetapi sampai saat ini saya masih belum bisa melepaskan diri dari menginterpretasi setiap mimpi saya. Ternyata setelah saya mengingat kembali, kebiasaan saya itu bermula dari pengalaman yang saya miliki dengan orang Jawa. Saya pernah memiliki tetangga etnis Jawa. Ia sesekali datang ke rumah untuk sekedar berbincang-bincang dengan Ibu saya di sore hari. Suatu saat Ia berkunjung ke rumah dan bercerita kepada Ibu saya bahwa ia semalam telah bermimpi. Kemudian tetangga saya tersebut menceritakan arti mimpi tersebut jika dilihat berdasarkan simbol-simbol mimpi dalam adat Jawa. Saya tidak hanya sekali mendengar pembicaraan mengenai arti mimpi tersebut, tetapi sudah berkali-kali. Ibu saya awalnya hanya menganggap obrolan tersbeut sekedar iseng semata, namun lama kelamaan Ibu saya justru mulai penasaran dan bahkan meminta tetangga saya untuk menginterpretasikan arti mimpi Ibu saya. Memang terdengar aneh tetapi semenjak itu saya juga menjadi penasaran. Pernah mendengar ungkapan “You are who you surround yourself with”? sepertinya saya menjadi “ketularan” tetangga saya.
Setelah saya mencari referensi lebih jauh terkaid etnis Jawa, ternyata kekhasan budaya Jawa yang paling menonjol adalah penggunaan simbol dalam segala aspek kehidupannya, terutama dalam beragama. Simbol dijadikan sarana atau media untuk menitipkan atau menyampaikan pesan serta nasihat-nasihat kepada manusia secara menyeluruh. Penggunaan simbol menjadi sangat penting, sebagai media dalam proses penyatuan diri antara Tuhan, manusia dan alam. Penyimbolan dapat dapat dilakukan oleh manusia apabila ia sadar akan dirinya. Ia mengetahui serta memahami, bahkan meyakinin simbol-simbol yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Artinya manusia menggunakan simbol sebagai media, berdasarkan kebutuhan dan kemampuan dalam memaknai simbol tersebut, karena simbol merupakan media komunikasi untuk mengungkapka gejolak batin dan pengalaman-pengalaman spiritual yang sulit diungkapkan dengan bahasa lahir. Bentuk-bentuk simbolisme Jawa yaitu simbol berbentuk ramalan, simbol keris pusaka, simbol gempa bumi, simbol gerhana, simbol andeng-andeng (tahi lalat), simbol mimpi dan simbol hari.
Orang Jawa dibedakan atas dasar keagamaan dalam dua kelompok, yaitu:
1.Jawa Kejawen yang sering disebut abangan, yang dalam kesadaran dan cara hidupnya ditentukan oleh tradisi Jawa Islam. Kaum priyai tradisional hampir seluruhnya dianggap Jawa Kejawen, walaupun mereka secara resmi mengaku Islam;
2.Santri yang memahami dirinya sebagai Islam atau orientasinya yang kuat terhadap agama Islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam.
Untuk memperdalam pemahaman saya mengenai etnis Jawa, saya ingin mewawancarai seseorang yang beretnis Jawa tetapi beragama Nasrani. Saya penasaran apakah orang Jawa yang beragama Nasrani masih mempercayai simbol-simbol dalam adat Jawa. Akhirnya saya menemukan seorang teman keturunan Jawa yang beragama Nasrani. Namanya adalah Dita yang merupakan mahasiswi UNJ 2012. Saya mengenal dia melalui Persekutuan Mahasiswa Kristen UNJ. Kedua orang tuanya adalah etnis Jawa dan keluarga 3 generasi didominasi oleh etnis Jawa yang berasal dari Yogyakarta. Menurut Dita, etnis Jawa adalah seputar tata karma dalam berbahasa dan berperilaku, yang artinya berbicara memang harus lembut dan tidak berteriak-teriak, dan berperilaku yang sopan dengan selalu menghormati orang yang lebih tua, misalnya membungkukan badan ketika melewati orang yang lebih tua, mencium tangan ketika bertemu orang yang lebih tua atau ingin pergi. Tata karma tersebut sangat penting dan pasti berlaku bagi setiap orang Jawa. Para orang tua keturanan Jawa misalnya, ketika sedang memarahi anaknya mungkin orang-orang dari etnis lain akan melihat bahwa orang tersebut tidak sedang memarahi anaknya. Artinya suara mereka masih halus dan pelan, namun kata-katanya mempunyai makna yang tersirat. Walaupun pelan, kata-kata yang terkandung adalah kata-kata sindiran sehingga anak-anak akan tetap merasa sedang dimarahi. Berbeda dengan orang Batak yang sangat berterus terang jika anaknya melakukan kesalahan, para orang tua Jawa tidak akan menyebutkan kesalahan mereka secara terus terang, melainkan menggunakan kata-kata sindiran yang secara tidak langsung untuk menegur anak-anaknya. Tidak mengherankan jika di rumah Dita tidak akan terdengar teriakan atau kita tidak akan melihat orang berteriak satu sama lain karena tidak seperti itu tata karma yang ada dalam keluarga etnis Jawa. Dita sendiri tidak dapat berbahasa Jawa dengan baik. Ketika orang tuanya berbicara kepada Dita dalam bahasa Jawa, ia tidak mampu menjawab dalam bahasa Jawa walaupun ia mengerti apa yang dikatakan oleh kedua orang tuanya.
Orang Jawa Kejawen biasanya masih percaya dengan primbon dan simbol-simbol kuno yang dipercayai memiliki arti atau misteri dalam kehidupan manusia. Biasanya mereka menggunakan simbol-simbol itu untuk hari pernikahan, arti mimpi, tanda-tanda di tubuh dan masih banyak lagi. Namun Dita sendiri tidak menganggap bahwa primbon atau simbol-simbol tersebut penting karena Ia menganggap dirinya bukan seorang Jawa yang masih sangat tradisional. Namun kedua orang tua Dita sesekali menginterpretasikan sebuah mimpi, walaupun hanya untuk iseng belaka dan tidak percaya sepenuhnya. Mereka pada akhirnya menyerahkan segala yang akan terjadi kepada Tuhan. Pencarian hari baik untuk menikah melalui tanggal kelahiran pada umumnya masih dilakukan oleh keluarganya yang tinggal di Jawa dan menikah di Jawa. Namun jika mereka menikah di Jakarta, penghitungan hari baik tidak akan dilakukan karena jika hari baik jatuh pada hari kerja, siapa yang akan datang? Maka keluarga Dita yang hendak menikah akan mengikuti kebiasaan orang-orang di Jakarta, yaitu pada akhir pekan karyawan libur dan mereka dapat menghadiri pesta-pesta yang diadakan oleh kerabat-kerabatnya, sehingga hari pernikahan pun biasanya dilakukan pada hari sabtu atau minggu. Saat Dita berkunjung ke Jawa, ia biasanya bersalaman dengan kakek dan neneknya dan ketika bersalaman mereka akan membacakan doa dalam bahasa Jawa. Menurut Dita, sudah merupakan tradisi bagi masyarakat Jawa yang lebih tua untuk memberikan doa-doa kepada kepada anak atau cucu-cucunya ketika sedang bersalaman.
Keuntungan memiliki etnis Jawa bagi Dita adalah kemanapun ia bertemu dengan orang Jawa, ia akan merasa ditolong. Tetangga di lingkungan rumah Dita didominasi oleh etnis Betawi, dan ketika Dita dan keluarga membutuhkan pertolongan, biasanya tetangga yang etnis Jawa yang membantu dengan sigap dan tanpa lelah. Dita sendiri memang mengatakan bahwa kepedulian orang Jawa kepada sesamanya sangat besar, orang Jawa sangat suka bergotong royong untuk membantu orang atau sekedar untuk merawat lingkungan dan budayanya.
Dita pernah mendengar stereotype mengenai orang Jawa yang mengatakan bahwa orang Jawa itu susah ditebak sehingga kemungkinan besar ketika orang Jawa tidak suka dengan seseorang ia akan pura-pura bersikap manis seperti biasanya padahal ia tidak suka kepada orang itu dan membicarakannya di belakang. Bagi Dita, hal tersebut adalah keliru karena orang Jawa itu adalah pemaaf dan menurutnya tujuan mereka berbuat demikian adalah untuk menghindari konfrontasi. Orang Jawa akan berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain.
Ternyata penggunaan simbol-simbol dalam tradisi Jawa, tata karma dalam berperilaku serta gaya berbicara masyarakat Jawa cocok dengan dengan pengetahuan yang saya baca dari buku. Walaupun untuk penggunaan simbol sendiri, Dita menganggap hal tersebut tidak penting karena Ia lebih senang berserah kepada Tuhan ketimbang percaya dengan hal yang berbau mistis. Mungkin untuk kasus Dita dikarenakan ia dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta sehingga budaya kepercayaan terhadap simbol-simbol sudah hilang. Meskipun saudara-saudaranya yang tinggal di Yogyakarta masih mempercayai simbol-simbol tersebut. Namun konsep yang sangat berakar baik di budaya Jawa, yaitu: tata karma, andhap-asor, dan tanggap ing sasmita masih dipegang teguh oleh Dita dan keluarganya walaupun mereka sudah bermukin di Jakarta.
Saya telah mendapatkan banyak pengetahuan baru mengenai etnis Jawa. Mereka sangat menghargai perasaan orang lain dan tidak memiliki keinginan untuk menyakiti hati orang lain, dan konsep ini ternyata turun temurun dilakukan oleh kedua orang tua kepada anak-anaknya, sehingga anak-anaknya dapat mencontoh konsep tersebut. Mungkin saya juga akan perlu mengimplementasikan konsep tersebut, karena seorang konselor memang harus peka terhadap orang lain dan mampu berkomunikasi dengan klien dengan baik sehingga klien juga merasa nyaman berkomunikasi dengan kita. Tetapi ketika memberikan layanan tentu saya tidak akan menggunakan konsep tanggap ing sasmita, karena tidak semua klien saya adalah orang Jawa dan bagi saya pribadi alangkah lebih baik jika saya mengutarakan gagasan saya secara langsung namun tetap memperhatikan perasaan klien. Penggunaan simbol-simbol pun tidak selamanya dipercayai oleh orang Jawa, ya mungkin sekarang sudah jaman yang sangat modern jadi lebih baik meninggalkan dunia mistis menjadi lebih menggunakan logika dan berserah kepada Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H