Yang kelima, barangkali ini yang terakhir. "Keseimbangan", saya barangkali belum menemukan kata yang pas untuk menggambarkannya. Begini, Lombok memang tempat pelarian orang-orang luar pulau ini tapi, kedatangan mereka kesini barangkali sudah diatur oleh pemerintahan setempat supaya tidak mengganggu kehidupan masyarakat, singkatnya pemerintah setidaknya masih berpihak pada pribumi. Ada kawasan yang memang diperuntukkan untuk wisata dan kawasan itu punya batasannya. Disana memang ada bar, karaoke dan bermacam hiburan lainnya, namun tempat-tempat hiburan ini tidak melewati batasannya. Semacam "ada daerah-daerah untuk senang-senang tapi sampai sini saja batasnya". Tempat-tempat seperti itu tidak akan kita temukan di seluruh penjuru Lombok, hanya di kawasan tertentu. Maka dari itu Lombok dengan pulau seribu masjid masih sarat akan suasana religinya. Franchise-franchise asing tidak banyak disana. Bahkan masih banyak sekali pedagang-pedagang pribumi yang punya peran utama mengelola pantai.Â
Inilah opini-opini dibalik "idealnya" pulau ini bagi saya sendiri. Mungkin bagimu, bukan pulau ini dan itu tidak mengapa. Saya jadi lebih merasakan betapa tinggal disana memang nikmat tersendiri setelah kurang lebih 5 tahun menuntut ilmu di pulau lain, dan pulang sesekali saat liburan tiba. Saya tidak bilang pulau lain tidak punya "sesuatu", namun saat di tempat lain ke pasar memerlukan waktu lebih banyak, mengunjungi tempat liburan juga butuh effort lebih, jalanan terkadang tidak bersahabat itulah yang membuat saya berpikir pulau kecil ini sangat nyaman untuk dihuni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H