Mohon tunggu...
Melina
Melina Mohon Tunggu... Lainnya - Teknisi Pangan

Menulis untuk sharing, karena sharing is caring.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

4 Warisan Petani Jakarta Tempo Doeloe

22 Juni 2022   05:59 Diperbarui: 24 Juni 2022   11:45 1860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani di Batavia (Commons Wikimedia via VOI.id).

Upacara adat "Baritan" di Betawi ini sekilas mirip dengan upacara adat yang dilakukan di Yogyakarta. Keduanya sama-sama dirayakan 1 kali dalam setahun sesudah panen padi dan juga memiliki nama yang sama. 

Bedanya, "Baritan" di Betawi dirayakan setiap Hari Raya Agung, yaitu tanggal 10 bulan Hajj atau bulan Sya'ban atau Rowah sebelum Ramadhan. Sedangkan, "Baritan" di Yogyakarta biasanya dilaksanakan pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Wage sesudah panen di musim kemarau.

Tradisi "Baritan" di Betawi diketahui sebagai tradisi turun temurun oleh keturunan Aris Wisesa, salah satu murid dari Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah. Mungkin hal inilah yang menyebabkan adanya kemiripan tradisi "Baritan" Yogyakarta dan Betawi.

3. Kisah heroik Entong Gendut dibalik sejarah perlawanan petani Batavia

Entong Gendut adalah sosok penting--jagoan atau pahlawan--dibalik gerakan perlawanan petani terhadap pemerintahan Hindia Belanda.

Dalam buku Protest Movements in Rural Java, sejarawan dan penulis sejarah Indonesia Sartono Kartodirdjo menceritakan kisah pemberontakan petani di Batavia (Jakarta) yang bermula dari keserakahan tuan tanah Pemerintah Hindia Belanda. 

Pada saat itu, tahun 1912, Gubernur Batavia mengeluarkan peraturan perpajakan yang memberatkan petani:

Petani diwajibkan untuk membayar pajak tanah sebesar 25 sen setiap minggunya pada tanah yang dikuasai Belanda dan para tuan tanah Inggris. Bila petani tidak membayar pajak tanah tepat waktu, maka mereka akan diberi hukuman kerja paksa.

Kebijakan ini sungguh-sungguh memberatkan petani, hingga akhirnya di tahun 1913, sebanyak dua ribu petani gagal untuk membayar pajak kepada tuan tanahnya. Ketidakmampuan petani untuk membayar pajak ini pun terus terjadi hingga dua tahun berikutnya.

Petani yang tidak membayar pajak dianggap lalai oleh tuan tanah. Dan pengadilan pun memutuskan hal yang sama, sehingga banyak harta milik petani disita, dijual, atau dibakar oleh pengadilan. Di sisi lain, para tuan tanah yang hanya mementingkan keuntungan pribadi semata bisa bebas melenggang dan semakin menindas kaum petani.

Berdasarkan tulisan Goenawan Mohamad yang berjudul Entong Gendut, peran Entong Gendut kemudian muncul ketika pengadilan di Meester Cornelis (Jatinegara) menjatuhkan putusan yang "memeras" petani bernama Taba. 

Taba dijatuhkan putusan untuk membayar 7,20 gulden serta biaya pengadilan dalam jangka waktu yang terbilang singkat. Apabila Taba tidak dapat membayar, maka seluruh harta Taba akan disita dan dijual oleh pihak berwenang. Hal ini memicu protes dari keluarga dan teman-teman Taba.

Di sini, sosok Entong Gendut muncul diantara orang-orang yang mendukung Taba. Mereka berkumpul untuk melancarkan aksi protes di depan pengadilan. Walaupun, usaha mereka harus berakhir sia-sia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun