Musim olimpiade baru aja selesai nih... yuk ngomongin isu olahraga. Tapi sayangnya aku nggak bakal bahas tentang strategi defense atau offence ya, apalagi nama-nama atlet.
Kali ini kita akan membahas aturan Olimpiade yang merugikan para atlet perempuan, tepatnya perempuan pelari jarak jauh.
Kenapa aku mengangkat isu ini?
Soalnya beberapa atlet perempuan harus gagal tanding di cabang lari 800 m, salah satunya adalah Caster Semenya dari Afrika Selatan. Ini karena menurut aturan World Athletics, Semenya dan pelari perempuan lainnya yang tidak mau merendahkan hormone testosteronenya dilarang mengikuti perlombaan dari 400 m sampai 1 mil. Padahal atlet lari berusia 30 tahun ini sudah berkompetisi berkali-kali. Dia juga sudah dinyatakan sebagai perempuan, dibesarkan sebagai perempuan, dan dicatat secara legal sebagai perempuan(Block, 2021).
Semenya akhirnya menempuh jalur hukum karena merasa kalau haknya sebagai perempuan sudah dilanggar.
"All we ask is to be able to run free as the strong and fearless women we are!! (apa yang kami inginkan adalah untuk berlari bebas layaknya perempuan kuat dan tak kenal takut)"
Bukan hanya Semenya, ada total 5 pelari perempuan yang dilarang mengikuti lomba lari jarak jauh di Olimpiade Tokyo 2020. Kelimanya adalah: dua pelari perempuan dari Namibia, Christine Mboma dan Beatrice Masilingi yang mengundurkan diri dari lari 400 m, Caster Semenya dari Afrika Selatan, Francine Niyonsaba dari Burundi, dan Margaret Wambui dari Kenya.
Lalu sebenarnya apa aturan hormone testosterone itu?
Maksud dari peraturan ini adalah mengatasi masalah atlet dengan kadar testosterone tinggi. World Athletics sendiri mengatakan kalau kadar testosterone yang tinggi akan menimbulkan keuntungan tersendiri bagi atlet tertentu.
Kemunculan aturan ini langsung mendapat kontroversi. Apalagi World Athletics meminta atlet untuk menurunkan hormonnya pada batas yang sudah ditentukan jika ingin berlomba. Caranya mulai dari minum obat KB, terapi hormon, sampai operasi (Imray, 2021).
Aturan ini pada akhirnya memantik diskusi, karena sepertinya pembuat aturan sudah mendiskriminasi atlet perempuan dengan kondisi perkembangan seksual yang berbeda (differences of sex development/DSD).