Minggu lalu saya dikejutkan oleh pacar yang tiba-tiba curhat kalau adik bontotnya sedang ujian nasional. Wah, ternyata waktu berjalan begitu cepat. Lima tahun lalu, kata-kata Ujian Nasional terdengar begitu sakral, minggu Ujian Nasional adalah minggu yang terasa begitu penting, seakan penentu hidup dan mati. Semua kalender di rumah saya lingkari merah di hari-hari Ujian Nasional, biar saya ingat, dan semua yang melihat juga ingat untuk berdoa. Tapi hari ini, lima tahun setelah itu, saya bahkan tidak ingat eksistensi Ujian Nasional. Salah satu momok paling menyeramkan bagi pelajar Indonesia.
Teringat kembali sebuah tulisan yang saya buat lima tahun lalu, beberapa bulan setelah pengumuman Ujian Nasional. Tulisan yang saya buat dengan begitu jujur, sebuah bentuk kekecewaan terhadap sistem, bukan terhadap guru, teman-teman, atau saya sendiri.
Saya adalah salah satu dari tiga murid Kharisma Bangsa yang mengikuti Paket C yang diadakan Negara karena tidak lulus Ujian Nasional 2009. Kenapa saya tidak berhasil dalam Ujian Nasional 2009? Bukan, bukan karena saya tidak belajar dengan optimal. Tapi karena saya terlalu jujur. Ujian Nasional yang memaksakan nilai tinggi dalam enam mata pelajaran memang terdengar mustahil. Pada kenyataannya, itu memang mustahil. Ini memang terdengar klise, tapi kita semua memiliki kemampuan yang berbeda-beda pada setiap mata pelajaran. Misalkan, saya pribadi, saya lemah di Matematika dan Fisika tapi tidak bisa dianggap enteng di Kimia dan Biologi. Tapi Ujian Nasional memaksa saya untuk menguasai Matematika dan Fisika laiknya saya menguasai Biologi dan Kimia. Bagi saya itu mustahil, walaupun mereka bilang tidak ada yang mustahil. Frase itu hanya berlaku dalam dunia khayal. Dalam dunia nyata, banyak hal yang mustahil. Mungkin terdengar pesimis dan menyedihkan, tapi terkadang hidup mengajarkan saya untuk menjadi orang seperti itu. Saya sudah diterima di salah satu perguruan tinggi negeri terkemuka di Bandung. Namun gelar ‘Paket C’ saya benar-benar mempersulit saya untuk menjadi mahasiswa resmi di PTN tersebut. Banyak cemooh yang saya terima dari petugas administrasi PTN tersebut. Mereka bertanya-tanya, bagaimana mungkin calon mahasiswa PTN tersebut bisa dinyatakan tidak lulus UN? Pendaftaran pertama saya di PTN tersebut, saya dicemooh oleh salah seorang petugas administrasinya. Awalnya Ia bersikap sangat sopan dan menghormati saya selaku calon mahasiswa PTN tersebut, namun ketika saya mengeluarkan pernyataan bahwa saya tidak lulus UN, maka sikapnya berubah menjadi sinis dan dengan segala ketidak-tahuannya, Ia bertanya pada saya, “Kamu kok bisa masuk PTN ini sih? Kok kamu bisa nggak lulus UN? Kamu tiga tahun belajarnya nggak bener ya?” Demi Tuhan, saat itu ingin sekali saya berteriak padanya. “Saya tidak lulus UN bukan karena saya belajar asal-asalan, tapi karena saya terlalu, terlalu jujur. Memangnya kamu tahu apa tentang cara belajar saya? Kamu tahu tiap malam saya harus belajar dua jam dan satu jam pada pagi hari dimana kebanyakan murid lain masih sibuk bergumul dengan tas make-up mereka? Kamu tahu enam bulan belakangan saya belajar bagai kerja rodi? Non-stop dan diselingi dengan tangisan ketidak-sanggupan yang dengan segera harus saya hapus atau saya tidak bisa melihat buku soal karena air mata?” tapi sungguh saya tidak bisa. Mulut saya kelu. Saya hanya bisa tersenyum pedih dan berdoa dalam hati, Ya Tuhan, tolong lapangkan dada hamba, Amin. Lalu saya pun berlalu. Mereka tidak perlu tahu bahwa saya tidak lulus UN karena kejujuran saya, sungguh mereka tidak perlu tahu. Biarlah ini menjadi rahasia kecil antara saya dengan Tuhan. Bukankah menyenangkan memiliki rahasia kecil yang hanya Anda ketahui dengan Tuhan? Apalagi jika rahasia itu membanggakan Anda.Walaupun jutaan cemooh saya dapatkan, tapi saya selalu mempertegas kepada diri saya sendiri, bahwa saya tidak akan pernah menyesal telah bertindak jujur. Tidak akan pernah. Karena kejujuran membuat saya kuat. Saya bisa berkata dengan bangga, “Hei, lihat saya. Saya mengerjakan UN dengan jujur.” Sekarang saya tanya? Apa mereka yang lulus UN dengan mencontek dan membeli soal, bisa berkata seperti itu dengan rasa bangga yang saya miliki? Mereka tidak bisa. Mungkin mereka lulus UN, mereka bisa dengan bebas masuk universitas manapun, PTN atau swasta. Tapi mereka tidak akan pernah memiliki rasa bangga yang saya miliki. Mereka tidak akan pernah bisa. Saya juga tidak pernah menyesal pernah sekolah di Kharisma Bangsa. Kharisma Bangsa mengajarkan banyak hal yang tidak diajarkan oleh sekolah lain dan hal-hal itu jauh lebih berharga daripada status kelulusan UN. Kharisma Bangsa mengajarkan saya tentang kejujuran, bertanggung jawab, rasa percaya, persahabatan, dan kasih sayang. Kejujuran, Kharisma Bangsa menegaskan bahwa kejujuran adalah mata uang yang akan diterima di semua belahan dunia. Bahwa kejujuran akan membawa rasa bangga. Bertanggung jawab, ini masih ada hubungannya dengan kejujuran, jelas. Salah seorang guru saya pernah berkata, “jika kamu mencontek saat UN, dan salah seorang teman kamu yang tidak mencontek tidak ikhlas kalau kamu mencontek, maka di akhirat nanti kamu harus meminta keikhlasan dia atau kamu tidak bisa masuk surga. Bayangkan kalau hanya satu yang tidak ikhlas, kalau ada jutaan? Bagaimana cara kamu minta maaf ke mereka semua?” Ujian Nasional adalah ujian yang diadakan oleh Negara, tapi kejujuran adalah ujian yang diadakan oleh Tuhan. Anda sangat bersemangat mengikuti Ujian Negara, bahkan menghalalkan segala cara untuk melewatinya, tapi kenapa Anda meremehkan ujian yang diadakan Tuhan? Apakah Anda lebih takut dengan Negara Anda daripada dengan Tuhan yang jelas-jelas Maha Kuasa? Rasa percaya. Terhadap teman dan diri sendiri. Rasa percaya terhadap teman bisa dalam bentuk apapun, bukan hanya dalam bentuk curhatan Anda yang sedang kangen dengan pacar masing-masing atau tidak ada uang untuk membeli jaket kulit keluaran terbaru Zara, tapi juga bisa dengan meminta mereka mengajari Anda hal-hal yang belum Anda pahami, terutama dalam hal pelajaran. Jangan takut mereka akan menjatuhkan Anda, karena teman yang sesungguhnya ada dalam duka dan suka, bukan suka dan duka. Percayalah, teman yang sesungguhnya tidak akan meninggalkan Anda apapun yang terjadi, karena secara tidak langsung, saat mereka mengakui Anda sebagai temannya, maka mereka sudah berjanji akan menerima Anda, bagaimanapun Anda. Persahabatan dan kasih sayang, dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Contohnya saya, saya sudah bersahabat tiga tahun dengan semua teman-teman saya. Bahkan hal dalam diri saya yang seharusnya adalah aib, bisa mereka terima dengan lapang dada. Mereka tidak meninggalkan saya, karena kami semua tahu, hal sebesar apapun tidak akan mengubah persahabatan kami, karena persahabatan kami, jauh, jauh lebih besar.
Ujian Nasional memang menakutkan. Tapi percayalah, tidak lulus Ujian Nasional bukan merupakan akhir dari dunia. Setidaknya kalau Anda berbuat jujur dalam UN, walaupun memang lebih baik kalau Anda berbuat jujur dan lulus UN dengan gemilang. Bayangkan, Anda akan bisa bercerita dengan bangga ke anak dan cucu Anda, “Anakku sayang, mama dan papa berhasil melewati Ujian Nasional dengan jujur, Nak.” Maka kebanggan bukan lagi hanya milik Anda, bayangkan anak Anda bercerita ke teman-temannya, “Orang tuaku lulus UN dengan jujur!” bukankah itu terdengar sangat membanggakan?
Hari ini, saya resmi membuat akun Kompasiana, untuk bercerita, untuk menyampaikan pola pikir dan opini. Hari ini, saya resmi membuat akun Kompasiana dari sebuah gedung berlantai puluhan di daerah Senayan. Tempat saya berkerja dengan gaji yang layak. Tempat saya melakukan hal yang saya suka. Tempat saya membuktikan bahwa tidak lulus Ujian Nasional lima tahun yang lalu, tidak membuat impian saya terhalang, tidak membuat saya menjadi terbelakang.
Hari ini, saya buktikan bahwa saya tidak kalah dengan Ujian Nasional. Bahwa kemampuan saya tidak hanya ditentukan dari ujian satu minggu, kemampuan saya, kemampuan kita semua, lebih dari itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H