Pak Sudrajat berjalan menuju sebuah rumah, tapi sepertinya rumah itu bagaikan kawan yang menusuknya dari belakang dan akhirnya menjadi lawan. Hentakan sepatu disertai mimik muka yang geram membuat pandangan semua orangtertuju kepadanya. “Sedang apa kamu di sini?, apa yang kamu lakukan bersama dia?”, kedatangan pak Sudrajat membuat bu Linda sedikit kebingungan, “a……..ku…..”, belum selesai bu Linda menjelaskan jawabannya, pa Sudrajat menyeret bu Linda ke jalan, seperti sedang menyeret sesuatu yang tidak bernyawa dengan kejam dan tanpa perasaan.
Tanpa memperdulikan orang-orang yang berusaha melerai, pak Sudrajat terus menyeret bu Linda sampai kebelakang rumahnya. Bu Linda berusaha membela diri, dia memegang sebuah tiang yang berdiri kokoh di dekatnya. Tanpa mereka sadari, anaknya memperhatikan apa yang sedang orangtuanya lakukan, dengan polosnya mereka terlihat seperti sedang menonton film kartun yang tidak bisa diganggu.
Sepertinya tenaga bu Linda tidak cukup kuat untuk melawan tenaga pa Sudrajat yang terus menyeret bu Linda, bahkan jarak yang sangatjauh pun tidak menjadi penghalang bagi pak Sudrajat untuk menyeret bu Linda sampai ke rumah mertuanya. Bu Marni bingung apa yang sebenarnya sudah terjadi kepada anaknya, “ada apa Sudrajat? Apa yang sudah terjadi kepada anakku Linda?”, bu Marni langsung memeluk anaknya yang menangis tersedu-sedu. Pak Sudrajat menjelaskan semua kejadian yang sudah dia lihat, tetapi saat itu bu Linda tidak bisa membela diri, menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Suasana antroposfer berubah seketika saat bu Linda mengatakan bahwa dia ingin bercerai dengan pak Sudrajat, seperti di terjang awan cumulonimbus, hujan asam, angin tornado, dan hilang ditelan Segitiga Bermuda, pak Sudrajat menyetujui keinginan bu Linda. “keluar kamu dari rumahku, jangan pernah kamu injakan kakimu di rumahku lagi Sudrajat” dengan volume 100 % bu Marni membentak menantunya yang dulu selalu dia bangga-banggakan kepada orang-orang. Pak Sudrajat langsung meninggalkan rumah mertuanya itu dan mungkin bahkan sebentar lagi akan sah menjadi rumah mantan mertuanya.
Suara jangkrik menemani perjalanan pak Sudrajat, dan matahari sudah menunjukan gerak semunya menuju barat bumi. Ketika sampai di rumah, pak Sudrajat langsung memeluk kedua anaknya. “Zahra, Yasmin kalian sudah makan?”
Zahra bahkan saat itu menghiraukan pertanyaan ayahnya, dia langsung menanyakan keberadaan ibunya “Ayah mana Ibu? Kenapa Ibu tidak ikut pulang bersama Ayah?”
Dengan nada yang terbata-bata pak Sudrajat menjawab pertanyaan anak sulungnya itu “ibu…i…bu…., sementara ibu akan menginap di rumah nenek, sepertinya kakek sedang berada di Kalijati, jadi nenek minta ditemani oleh ibu, sudah…. ayah siapkan makan malam untuk kalian ya?”
Yasmin, dia hanya melihat wajah kakaknya, ketika kakaknya menangis, dia ikut menangis, saat itu Zahra memeluk Yasmin dengan erat dan mencoba menenangkan Yasmin.
Tidak seperti biasanya, makanan malam itu sepertinya terasa sangat hambar. Malam itu pak Sudrajat seperti orang yang sedang berada di tengah-tengah hutan yang tidak tahu jalan untuk pulang, bingung entah apa yang harus dia lakukan. Tapi pak Sudrajat seseorang yang memiliki hati tanpa benci, bahkan semua kejadian yang telah dia lalui membentuk jiwa yang tegar dan damai.
Satu bulan sudah dilalui oleh pak Sudrajat sebagai ayah, sekaligus ibu bagi kedua anaknya. Pagi itu pak Sudrajat dikejutkan oleh selembar kertas yang dibungkus oleh amplop coklat, pak Sudrajat harus datang ke pengadilan tiga hari setelah adanya surat pemberitahuan. Sampai saat itu pak Sudrajat belum menerima penjelasan apapun dari bu Linda bahkan bertemu pun sepertinya mustahil untuk mereka.
Proses perceraian bu Linda dan pak Sudrajat menghabiskan waktu satu minggu. Hak anak sepenuhnya berada di tangan bu Linda, saat itu bu Linda tidak mempedulikan mengenai pembagian harta ataupun yang lainnya. Bu Linda mencoba memberi penjelasan kepada Zahra dan Yasmin. Wajar saja, seusia mereka belum siap menerima keadaan bu Linda saat itu.
Sudah dua tahun pak Sudrajat mengurus kebutuhannya sendiri. Hingga suatu hari pak Sudrajat menemukan seorang perempuan yang bisa menggantikan posisi bu Linda sebagai ibu negara di rumahnya. Bu Sinta, dia bisa membuat pak Sudrajat melupakan bu Linda dan pengalaman kelamnya dua tahun yang lalu.
[caption id="" align="aligncenter" width="385" caption="keluarga"][/caption]
Pernikahan bu Sinta dengan pak Sudrajat tidak dikaruniai anak, oleh karena itu pak Sudrajat menuntut hak anak kepada bu Linda. Karena Zahra yang ingin tinggal bersama pak Sudrajat, bu Linda memberikan hak asuh Zahra kepada pak Sudrajat. Zahra, Yasmin, dan bu Linda saat itu baru mengetahui bahwa pak Sudrajat sudah memiliki istri untuk yang kedua kalinya.
Perlakuan yang begitu baik diterima Zahra dari ibu tirinya, tetapi perlakuan itu tidak bertahan lama. Bahkan ketika pak Sudrajat sedang tidak ada di rumah, Zahra sering menerima perlakuan buruk dari ibu tirinya.”Zahra kamu tahu setiap keluarga memiliki aturannya masing-masing?” kalimat itu membuat Zahra terhenti dari makan siangnya.”iya bu, memangnya ada apa?”
“hah kamu malah nanya? Lihat jam berapa ini, bukan waktunya untuk makan siang, kalau kamu tidak bisa mematuhi aturan di sini kamu bisa pergi dari rumah ini”
Zahra tidak bisa berkata apa-apa, dia berlari ke dapur dan tidak bisa menahan air matanya menetes.”Zahra kamu kenapa?” pak Sudrajat melihat Zahra yang sedang menangis, kemudian Zahra menjelaskan apa yang sebenarnya sudah terjadi.
“pah mana mungkin saya tega mengusir Zahra dari rumah ini, ini rumah dia, saya cukup tahu diri pah” saat itu bu Sinta mencoba memberikan penjelasan kepada pak Sudrajat, dan pak Sudrajat seperti lebih memercayai bu Sinta dibandingkan dengan Zahra. Zahra sudah terbiasa dengan sikap pak Sudrajat yang lebih memperhatikan bu Sinta dibandingkan dengan dirinya.
Hari ulangtahun bu Sinta sepertinya merupakan hari yang begitu istimewa untuk bu Sinta dan pak Sudrajat, sampai-sampai pak Sudrajat lupa bahwa hari itu dia diundang ke sekolah Zahra untuk menerima RAPOR. Meskipun Zahra mendapat peringkat pertama di kelasnya, itu tidak berarti apa-apa tanpa kehadiran pak Sudrajat. Zahra tidak ingin memberi tahu ibunya tentang keadaan yang sedang dia alami saat itu, Zahra sangat menyayangi ibunya, Zahra tidak ingin membuat ibunya cemas dengan keadaanya.
“Ayah…Zahra boleh minta sesuatu?” Zahra menarik ayahnya dan memaksa ayahnya untuk duduk di kursi sudut taman, “Zahra maaf ayah lupa tadi ayah ada urusan…..” belum selesai menjelaskan, Zahra sudah memotong pembicaraan ”bukan itu Ayah, masalah pembagian RAPOR Zahra mengerti Ayah, Ayah apakah Ayah masih mencintai bunda? Apakah Ayah benar-benar saat ini mencintai ibu?”
“Tidak ada yang bisa menggantikan posisi bunda, dan masalah ibu, dia hanya seseorang yang bisa menemani ayah saja” pak Sudrajat langsung meninggalkan Zahra. Zahra sangat senang mendengar jawaban dari ayahnya, tapi hari itu Zahra juga harus bersiap-siap untuk menerima perlakuan buruk dari ibu tirinya, karena pak Sudrajat akan pergi dinas ke Jakarta selama tiga hari.
“Zahra….. kamu bisa masak? Kenapa rasanya seperti ini?” nadanya begitu lembut tetapi matanya tidak bisa membohongi Zahra, ibu tirinya sangat membenci Zahra, belum sempat menjelaskan ”tolong kupaskan apel untuk ibu!” sepertinya setiap hari tidak terhitung tanda seru yang diberikan bu Sinta kepada Zahra.”
“Zahra apelnya kurang manis, rasanya tidak enak”
“rasanya akan manis apabila seperti ini, manis? manis? apa yang Anda rampas selama ini dari keluarga saya akan saya ambil kembali” saat itu Zahra seperti kehilangan akal sehatnya, Zahra mencekik bu Sinta.
“lepaskan Zahra.. le …pas..kan!”
“dan rasanya akan enak apabila anda merasakan ini” Zahra menusukan pisau tepat di dada bu Sinta. Saat itu Zahra langsung menyerahkan diri ke kantor polisi, dan mengabari bu Linda dan pa Sudrajat. Zahra meminta agar kedua orang tuanya bisa menikah kembali. Akhirnya lima hari kemudian pak Sudrajat dan bu Linda menikah kembali dan hidup bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H