Para siswa harus bersikap tegak selama upacara termasuk saat pengibaran bendera. Pengibaran bendera itu terasa sakralnya ketika pasukan pengibar bendera hendak merentangkan bendera. Ada ketakutan juga saat itu, yaitu takut kalau urutan warnanya terbalik. Perasaan haru bertambah saat drijen mulai mengajak anggotanya menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bila dihayati kita akan merasakan keharuan.
Ingat film zaman dahulu yang menampilkan adegan menancapkan bendera merah putih di suatu gedung. Aduh, saya lupa film apa itu! Adakah yang tahu? Apakah adegan itu di film G30 S PKI, ya? Entahlah.
Kemudian, dalam perjuangan itu terdapat tulisan Hidup atau Mati dengan ejaan lama dan  tertulis di dinding. Para pejuang dengan gagah alias tanpa takut mati terus bergerak dan berusaha mengibarkan bendera sambil bersorak merdeka! Sungguh, ketika adegan itu hati langsung tersentuh. Perjuangan mereka untuk negara ini tidaklah sedikit. Bila ingat itu, terdetik sebuah pemikiran, mengapa di antara kita masih tidak mau mengikuti upacara bendera?
Upacara Bendera dan Anak
Seperti yang telah saya rasakan, ternyata anak saya pun mengeluhkan hal yang sama tentang upacara bendera di sekolahnya. Keluhannya adalah lama dan panas. Mendengar hal itu, saya hanya bisa menasihati bahwa kita itu sebenarnya sangat beruntung karena hanya beberapa menit berdiri saat upacara. Kita tidak sampai berdarah-darah untuk bisa melihat bendera merah putih berkibar, bukan? Perjuangan kita pun tidak sebesar para pahlawan terdahulu. Masa' berdiri sejenak dalam upacara bendera saja kita tidak mau.
Ya, yang namanya anak-anak tidak begitu peduli dengan alasan yang disampaikan oleh orang dewasa. Bagi mereka, upacara itu seharusnya dilakukan dengan dengan singkat dan tidak berpanas-panasan.
Mengajarkan NasionalismeÂ
Melalui Upacara Bendera
Rasa kebangsaan, memiliki tanah air, dan kecintaan terhadap bangsa ini menjadi poin penting dari upacara bendera. Kita bisa mengajarkan hal itu dengan mengikutkan mereka pada upacara. Upacara bendera yang saat ini banyak dirasakan sebagai beban oleh anak-anak sebaiknya dimodifikasi dalam beberapa hal. Misalnya, pengurangan durasi bagi pembina untuk menyampaikan wejangannya.
Lamanya waktu berdiri membuat anak-anak bosan. Mereka mulai melakukan berbagai gerakan. Sifat wejangan pembina upacara yang monoton akan membuat ketegangan dalam diri anak. Alhasil, anak-anak menjadi grasak-grusuk. Gimana tuh rasanya kalau ngelihat upacara jadi seperti itu? Padahal upacayanya pengen hikmat, eh malah jadi kacau.