Ya Allah, tema challenge kali tentang film. Aduh, entah sudah berapa lama saya tidak menonton film. Bukan karena enggak mau, tetapi tidak ada waktu untuk melakukannya. Cailee ... kayak udah jadi menteri aja, padahal 'kan ... kan ... kan.
Bicara tentang film, saya tuh termasuk orang yang enggak suka film yang terlalu banyak episode alias berseri. Ada loh film atau sinetron zaman baheulak, yang dari saya remaja sampai kerja belum selesai-selesai (hiperbola banget sih). Bosan banget nontonnya. Ceritanya itu bertemakan percintaan (tebak sendiri, ya).
Sebenarnya sampai usia saya sekarang ini, saya baru 2 kali nonton bioskop. Yang pertama, Laskar Pelangi, nobar sama emak dan film Ketika Cinta Bertasbih, nonton bersama Mbak saya. Semuanya dilatarbelakangi dari penasaran apakah sama cerita di novel dengan karya visualnya. Kesan dari kedua film itu sungguh luar biasa bagi saya.
Kali ini saya akan mencoba mengingat kembali kisah Azzam yang mencoba menemukan pasangan hidupnya. Dalam kisah Azzam memanh disuguhkan nuansa percintaan. Namun, entahlah apa yang merasuki hati saya saat itu sehingga saya lebih fokus pada usaha Azzam untuk menghidupi dirinya yang belajar di Cairo dan keluarganya di Indonesia.
Kegigihan Azzam, yang seorang mahasiswa Cairo untuk bisa bertahan di sana dengan berjualan tempe, masya Allah sempat membuat air mata saya mengalir. Entah, berapa banyak mahasiswa luar negeri yang bersikap seperti Azzam. Apakah masih ada mahasiswa yang peduli dengan keuangan keluarga?
Andaikan Azzam tidak berjualan tempe, apa yang terjadi dengan kuliahnya? Apa yang harus dia lakukan untuk mencukupi kebutuhannya dan keluarga di Indonesia. Entahlah, karya Habbiburrahman El Shirazy ini sungguh menggugah bahwa tak ada kata menyerah untuk menjadi orang yang sukses.
Setelah beberapa tahun tayang di bioskop, eh ... ternyata filmnya nonggol juga di TV. Apakah saya menontonnya? Tentu, tapi sekilas saja. Meskipun kisah Ketika Cinta Bertasbih ini sangat bagus divisualkan, kok saya lebih sreg dengan membaca novelnya?
Di novelnya, saya ikut berimajinasi dengan arahan penulis, sedangkan di film saya hanya menikmati suguhan tanpa bersusah payah memahami alur cerita. Saat itu pikiran saya langsung membandingkan tokoh di novel dengan penampakannya. Ah, ternyata, wujud visualnya tuh bikin geregetan aja, di luar pemikiran saya!
Namun, secara keseluruhan film Ketika Cinta Bertasbih ini sarat dengan makna. Kita diajak berdialog dengan diri sendiri tentang banyak hal, termasuk dalam hal jodoh. Masalah jodoh ini menjadi pemanis dari cerita ini.
Akhirnya, saya berharap film-film religi di Indonesia tidak melulu tentang cinta. Tema film seperti pendidikan dan psikologi sepertinya bagus untuk dibuat dan ditonton. Meskipun dalam suatu film  romantisme tidak bisa dipisahkan. Namun, hal itu tidak menjadi tema utamanya.