Mekar Sari, Oku Selatan bukan hanya kaya akan sumber daya alam hayatinya yang berupa rempah-rempah, tetapi juga kaya dengan budaya. Beraneka ragam budaya telah aku temui di sana. Berinteraksi dengan masyarakat setempat membuat aku sedikit mengerti kebiasaan dan kesukaan warga.
Mengenal budaya masyarakat Mekar Sari tentu saja menambah wawasanku dalam banyak hal. Meskipun hampir 7 tahun di sana, aku mendapatkan banyak pelajaran berharga. Inilah wawasan yang aku miliki tentang sebuah desa yang pernah mengisi hari-hariku.
Dari segi keagamaan, hampir seluruh penduduk mayoritas beragama Islam. Dari berbagai suku, hanya 1 keluarga yang beragama Kristen. Namun, antarwarga menjalin hubungan yang harmonis sehingga proses asimilasi terjalin dengan baik.
Jika di kampung halamanku jarang sekali dilakukan pengajian, maka di sini kegiatan tersebut rutin dilakukan oleh warga. Pengajian itu ada yang digelar sepekan sekali, per tiga mingguan, per bulan, ber tiga bulanan, dan seterusnya. Jadi, memang warga di sini warga sangat aktif dalam kegiatan keagamaan.
Ada satu hal yang menjadi ciri khas dari pengajian di sini, yaitu tradisi bertukar bekal atau makanan. Pada pengajian bulanan, setiap warga membawa bekal masing-masing. Bekal-bekal yang dibawa tadi dikumpulkan dan akan diberikan kepada warga kembali setelah atau menjelang pengajian selesai. Isinya berupa nasi, lauk, jajanan, dan air minum. Peserta bisa memakan bekal  saat itu atau membawanya pulang untuk dimakan bersama keluarga.Â
Menurut warga setempat, ibu Fitri, tradisi pengajian ini sudah lama ada. Ada pun tujuan kegiatan ini adalah untuk menambah wawasan keagamaan warga. Selain itu, kegiatan ini menjadi ajang untuk bersilaturrahmi antarwarga desa dengan warga desa yang lain. Ini disebabkan oleh intensitas bertemu antarwarga yang sangat jarang.
Jarang bertemu antarwarga kerapkali terjadi pada saat panen kopi atau merica. Di sini rata-rata warga memiliki 2 rumah, yaitu rumah kebun dan rumah desa. Mereka banyak bermukim di rumah kebun untuk masa tertentu. Keadaan itu yang membuat warga jarang bertemu karena sibuk dengan kebun masing-masing. Saking jarangnya bertemu, warga menggunakan kesempatan saat usai pengajian untuk bermusyawarah membahas suatu masalah atau kegiatan.Â
Musyawarah menjadi suatu sesuatu yang penting di desa ini. Inilah yang aku lihat dan pahami selama di desa ini. Kesempatan bermusyawarah ini memang sangat baik untuk diterapkan di mana pun. Namun, kendala waktu pelaksanaan acapkali menjadi alasan tidak bisa melaksanakannya. Dengan kegiatan pengajian yang ada diharapkan antarwarga saling tahu keadaan di sekitar.
Begitu indahnya masa itu. Harmonisasi berbalut pengajian, yang membaur dari berbagai suku terjadi di sini. Aku berharap budaya ini terus hidup dari generasi ke generasi. Sedini mungkin para warga harus menanamkan nilai-nilai positif dari budaya ini kepada anak-cucu mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI