"Dih, batik udah kusam bin kucel bin kulehek aja masih dipakai, Bu. Apa enggak punya daster lain sih?" tanya pak Yanto kepada Marni istrinya di suatu pagi.
Marni tersenyum manis, semanis teh yang disuguhkannya pagi ini. Sudah beberapa kali Yanto menyindir batik kesayangan Marni itu, tetapi selalu ditanggapinya dengan senyum. Entah hari ini, Marni ingin sekali mengomentari ucapan suaminya itu.
"Loh, Pak. Daster ini kan Bapak yang beli. Apa enggak suka kalau Ibu terus memakai daster ini?" tanya Marni seolah ingin mengingatkan sejarah batik ini kepada suaminya.
"Bapak ingat, daster ini kan Bapak beli sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kita yang pertama?" tatap Marni kepada suaminya.
Yanto diam dan terkenang dengan kenangan dua tahun lalu. Berarti sudah 3 tahun mereka menikah. Marni sangat sayang dengan batik pertama yang dibelikan Yanto.
Setelah tahun pertama pernikahan, Yanto selalu membelikan Marni daster batik. Yanto pikir Marni akan suka memakainya. Kenyataannya, Marni hanya memakai satu batik itu saja.
"Batiknya adem, Pak," jawab Marni sekenanya.
"Daster Ibu kan banyak. Masa' dasternya pakai sistem cuci-pakai. Ibu ... Ibu," gerutu Yanto.
"Biarin, pokoknya, Ibu suka daster ini."
Sudah 3 tahun daster ini dipakai. Motif dan warnanya pun sudah sangat redup. Ada tambalan di sana-sini. Kancing depannya sudah berganti berkali-kali. Benangnya sudah banyak yang rapuh. Namun, Marni tetap saja suka memakainya.