Sepanjang kehidupan saya, baru dua kali saya menjejaki kaki ke Borobudur. Yang pertama ketika adik saya menikahi orang Yogjakarta dan yang kedua study tour sekolah bersama teman-teman.
Bangunan megah yang termasuk dalam tujuh keajaiban dunia memang betul betul ajaib, bangunan itu hanya berupa tumpukan-tumpukan batu. Saat pertama kali ke sana, kira-kira sepuluh tahun yang lalu, bangunan wonderful Indonesia, yaitu Borobudur sedang dipugar. Banyak bagian batu yang terlihat roboh dan beberapa bagian ada yang hilang.
Saya hanya sempat melihat sebentar, tetapi tidak memperhatikan betul relief yang ada pada Borobudur. Pun saat study tour, ini malah sangat hanya berfoto-foto saja 😁
Ternyata, jauh sebelum tantangan ini diajukan, kompasiana sudah menggelar kompetisi Sound of Borobudur. Bisa jadi tulisan pada tantangan #samberthrkompasiana ini dimasukkan ke dalam bagian dari kompetisi. Ya, tidak mengapa, sekali mendayung dua pulau terlampaui 😁
Saat pertama ke Borobudur, saya hanya melirik beberapa relief yang memang memperlihatkan aktivitas manusia pada zaman itu, tetapi mata saja tidak melihat relief yang menceritakan alat musik. Mungkin saat itu saya tidak begitu 'ngeh' dengan relief-relief itu. Yang saya tahu, Borobudur memang sangat mempesona.
Oleh karena keterbatasan ilmu yang saya miliki, saya akan merangkum beberapa hal tentang sound of Borobudur dari berbagai media.
Sound of Borobudur menjadi sebuah movement (gerakan) yang bersumber dari gagasan untuk membunyikan kembali berbagai alat musik yang wujudnya terpahat dalam relief-relief candi.
Gagasan Sound of Borobudur lahir pertama kalinya pada pertengahan Oktober 2016, dalam rangkaian kegiatan Borobudur Cultural Feast, yang meliputi aktivitas “Sonjo Kampung” dan selebrasi pentas seni budaya di lima panggung.
(Diakses pada soundofborobudur.org.2021)
Pada candi yang dibangun di masa wangsa Syailendra ini terdapat 1.460 panil relief cerita dan 1.212 panil relief dekoratif. Berbagai kisah yang mengandung nilai pengetahuan dan pesan moral ditinggalkan oleh para leluhur untuk generasi selanjutnya.
Pada Kongres ke-6 Oostersch Society tahun 1929, sarjana Perancis Sylvain Levi menyimpulkan bahwa relief tersembunyi di kaki Borobudur adalah teks Buddhis: Mahakarmawibhangga, sesuai dengan naskah teks dari tahun 1411, yang ditemukan Levi di Kathmandu, Nepal, pada tahun 1922.
Relief Karmawibhangga melukiskan gambaran kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa kuno, termasuk aktifitas kesenian, baik kesenian musik maupun tari.