#Pertemuan
Ifa, seorang wanita berusia 24 tahun, yang lahir dari keluarga kaya raya. Sekarang baru mendapati kehidupan baru. Ifa harus berusaha mencari kerja sendiri. Ifa tidak ingin bekerja di perusahaan Mama dan Papanya. Dengan sahabat karibnya, Ifa berusaha mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Namun, yang dia dapatkan hanyalah menjadi seorang pengajar di lembaga bimbingan belajar. Gaji yang didapat memang tidak seberapa, tetapi Ifa merasa senang bekerja di sana. Terlebih lagi, itu didapatnya dengan melakukan beberapa kali tes.
Pertemuan Ifa dengan sang suami bukanlah pertemuan jodoh yang pernah dia bayangkan. Untuk ukuran anak dari pengusaha tekstil ternama, Ifa selalu membayangkan akan menjadi seorang istri dari pengusaha juga. Namun, kenyataannya berbeda. Pertemuan awal pada sebuah lapak buku kecil di pinggir jalan, saat diajak jalan-jalan oleh sahabatnya menjadikan Ifa kecanduan untuk kembali ke sana.
Sejak kuliah dulu, Ifa selalu mengajakku untuk membeli buku. Uang ongkos yang diberikan orang tuanya selalu disisihkan untuk membeli sebuah buku. Ifa punya komitmen untuk membeli satu buku setiap bulan. Karena itulah, aku memperkenalkan toko buku loakan di pinggir jalan. Kegiatan Ifa mengoleksi buku telah dilakukan bertahun-tahun lamanya.
Ifa seperti kecanduan dengan buku-buku loakan di lapak itu. Meskipun itu adalah lapak kecil, buku yang dicarinya selalu dia temui di sana.
"Bang, kok bisa ya buku-buku favoritku ada di sini. Padahal aku sudah cari di toko besar lo."
"Alhamdulillah ya, Mbak. Buku yang dicari Mbak kan buku lama. Kalau di toko buku besar, biasanya buku-buku baru. Di sini kan buku loakan, Mbak." jelas si Abang.
"Iya sih, Bang. Ngomong-ngomong Saya dapat diskon kan Bang. Ini saya mau beli lima."
"Iya, Mbak. Nanti saya kurangi harganya."
"Alhamdulillah."
Kelima buku tadi dimasukkan ke kresek dan uang pun diberikan kepada si Abang.
"Makasih ya, Bang. Insha Allah saya kembali lagi."
"Tunggu, Mbak. Ini bonus untuk Mbak."
"Wah, terima kasih ya, Bang."
Dia tersenyum, pulang ke rumah. Sebelum menaiki motornya, dia melirik buku yang menjadi bonus pembeliannya. Sebuah buku yang membuat dia tertegun sesaat. Buku fiksi berjudul Hijrah itu telah membuat Ifa ingin segera membacanya.
***
Kehidupan keluarganya yang kaya tidak membuat Ifa malu bersahabat denganku. Sebagai seorang sahabat akulah yang harusnya minder berteman dengannya.
"Fa, hari ini tidak beli buku ya?"
"Ih, kamu ini. Masa' beli buku setiap hari sih. Uang jajanku sudah habis. Aku tidak mau minta lagi sama Mama dan Papa. Malu," katanya.
"Terus, kapan kamu mau ke lapak buku itu lagi?"
"Nantilah. Ini saja belum sempat aku baca. Aku mau baca bonus yang dikasih si Abang dulu."
"Wah, boleh aku baca, Fa?"
"Tunggu antrianlah. Kalau aku sudah, aku kasih kamu deh."
"Iya, tetapi isinya apa sih?"
"Ya, tentang perubahan pada seseorang, tetapi diceritakan dengan narasi yang baik. Nanti aku ceritakan ya."
"Tidak mau ah! Aku mau baca sendiri. Tidak seru kalau diceritakan."
Seminggu sudah dia melahap habis buku yang dibelinya itu. Bonusnya pun sudah dibaca pula. Untuk ukuran seorang pembaca buku, dia termasuk hebat. Bukunya sudah menumpuk di kamar dan semuanya sudah selesai dibaca. Kamar kecilnya sudah berubah menjadi perpustakaan mini.
***
"Yuk, kita ke lapak buku si Abang. Aku baru mencari sebuah buku true story Torey Hayden."
"Oke. Aku siap. Aku tunggu di rumah ya."
Tak berapa lama, dia sudah ada di depan rumahku dengan motor bebek merahnya. Helm bergambar bunga anggrek pun diberikan padaku. Kami melaju ke lapak buku favorit kami.
Setelah melepaskan helm, aku terkejut. Penampilan Ifa sudah berubah padahal baru dua hari kami tidak bertemu.
"Ifa! Benarkah?" tanyaku tidak percaya. Penampilannya sekarang lebih anggun dengan jilbab biru tua menutupi kepala dan menjulur sampai dadanya.
"Sudah. Ayo, jangan diam saja." Dia menarik tanganku.
"Bang, ada buku Torey Hayden?"
"Judulnya apa, Mbak?" tanyanya si Abang tanpa melihat wajah. Tidak ada reaksi yang berbeda dari ucapan si Abang. Mungkin si Abang tidak begitu memperhatikan perubahan Ifa.
"Judulnya Sheila, Bang." jawabnya singkat.
Si Abang langsung mencari buku kumpulan true story di rak bagian atas. Meskipun lapak itu hanya sebesar 3x3 meter, susunan bukunya rapi seperti perpustakaan pribadi. Semua buku tertata rapi berdasarkan abjadnya sehingga tidak butuh lama si Abang bisa menemukan buku itu.
"Ini, Mbak."
"Wah, ada ya, Bang. Alhamdulillah."
Aku terbelalak melihat buku Torey Hayden yang masih terlihat baru. Sejenak, aku terlupa pada penampilan baru sahabatku itu.
"Saya juga suka buku itu, Mbak. Ada beberapa lagi karya Torey Hayden yang ada di sini. Waktu itu yang menjualnya butuh uang. Lihatlah, bukunya masih baru kan." Jelas si Abang singkat.
Aku juga ikut memperhatikan buku itu. Pastinya, yang memiliki buku itu adalah seorang yang sangat menyukai buku dan merawatnya dengan baik.
Setelah agak jauh dari lapak, aku ingin menuntaskan rasa penasaranku.
"Fa, mengapa kamu cepat sekali berubah?"
"Berubah apanya?"
"Itu. Kamu sudah berjilbab!"
"Ah, inikah hijrah. Ini hasil membaca buku bonus si Abang," jawabnya sambil meletakkan kresek yang berisi buku ke dalam tas ranselnya.
"Ih, mengapa tidak cerita dulu sama aku?" Aku merenggut.
"Perbuatan baik itu harus dilakukan segera. Jangan ditunda," jawabnya. Aku duduk di belakang Ifa dan masih dengan rasa penasaranku.
Dia mengantarku sampai ke rumah.
"Eit, tunggu. Aku boleh pinjam buku bonus si Abang kan?" tanyaku.
"Ini. Aku sudah selesai membacanya. Dibaca ya. Dah!" Dikeluarkannya sebuah buku tipis berjudul Hijrah dan diberikannya kepadaku. Setelah itu, dia melajukan motor dan segera hilang dari pandanganku.
***
Kubuka buku berjudul Hijrah itu. Isinya murni pengalaman perubahan pada diri seseorang. Setelah membaca buku itu, aku malah bertambah bingung. Bingung pada perubahan Ifa. Bingung mengapa aku tidak berubah seperti Ifa. Apa yang membuat Ifa berubah begitu cepat dari penampilan tomboinya? Aku mengeryitkan dahi. Bertambah penasaranlah aku karenanya. Membaca membuatku bertambah bingung, pikiranku menjadi kalut. Kuambil ponselku dan kuketik nomor Ifa.
"Ifa, aku sudah membaca buku si Abang, tetapi aku tidak mengerti mengapa bisa membuatmu mengubah penampilan?"
"Bagaimana bukunya?"
"Bukunya bagus dan pengalamannya baik."
"Terus ...."
"Ya, aku masih tidak mengerti alasanmu berubah?"
"Oh, itu. Entahlah, aku rasa itu adalah hidayah."
"Hidayah? Apa itu?"
"Petunjuk agar aku menjadi lebih baik. Karena aku tidak tahu kapan ajal menjemputku, maka aku bertekad harus segera berubah menjadi baik."
"Aku...."
"Ya sudah. Istirahatlah dulu. Nanti kita ngobrol lagi ya."
Dia menutup teleponnya dengan ucapan salam. Meskipun tomboi, Ifa tidak pernah terlihat tersentuh oleh tangan laki-laki. Sikapnya yang ceplas-ceplos sangat berbeda dengan kesukaannya membaca buku. Baginya membaca itu penting dan menjadi supel juga penting.
Malam ini sepertinya akan menjadi malam yang panjang bagiku. Aku akan membaca kembali buku si Abang dengan penuh perasaan. Mungkin aku akan mendapatkan hidayah seperti yang dikatakan oleh Ifa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H