Semakin hari, suasana di Indonesia semakin panas saja. Selesai pemilu kita bukannya jadi konsentrasi untuk melakukan perubahan untuk perbaikan kualitas kehidupan berbangsa kita, tapi malah terlihat semakin terbelah dan terpecah dengan berbagai isu sosial yang berkembang. Mulai dari kasus Antasari, Bibit-Candra, Bank Century dan sekarang soal Gurita Cikeas. Kasus demi kasus sudah semakin mempertajam jurang pemisah pihak-pihak yang pro dan kontra pemerintah.
Saya bukan pro pemerintah, tapi saya pro pada perdamaian. Semua elemen bangsa hanya terfokus untuk menunjukkan dukungan dan penolakan pada setiap kasus…rakyat Indonesia “dipaksa” untuk berpihak, berpihak pada yang Pro kasus atau berpihak pada yang kontra kasus. Lihat saja dari awal pemilu tahun lalu, berapa banyak blog pro dan kontra baik tokoh atau pun kasus tertentu. Contoh: gerakan pro megawati dan say no to Megawati yang membuat kader PDI P kalang kabut atau blog Say no Boediono yang dipandang sebagai antek Neoliberalisme dan juga blog pendukung teknokrat ini, banyak lagi….bahkan Sampai juga kasus Lunamaya. Dan Sekarang ada lagi blog pendukung dan penolak George Aditjondro di Face Book juga lagi “perang di dunia maya.
Satu sisi ini bertanda perkembangan dunia teknologi informasi di Indonesia begitu cepat tidak kalah dengan bangsa lain. Kita cukup bangga untuk itu, bahkan saya bisa bilang kemampuan dan aksesibilitas orang Indonesia juga cukup luas, teman saya yang tinggal dipelosok negeri pun saat ini juga punya blog FB sendiri, dan itu sama sekali tidak saya sangka. Walau hanya bisa ber FB saja, ya..minimal mereka sudah melek teknologi…baik muda atau pun tua, semuanya sibuk memiliki FB sendiri.
Tapi saya sangat sayang jaringan seperti itu bukan membangun komunitas kita semakin solit, tapi teman baik yang tadinya seperti reunian di FB tiba-tidak tidak mau lagi kontak atau mungkin malas kontak dan memberikan sekedar komentar kepada temannya karena sang teman pembela pihak yang tidak disukainya di FB…suami dan istri juga malas bertukar pikiran lagi, karena tahu si suami suka berkomentar dan update statusnya yang mencerca tokoh yang dibelanya.
Masyarakat kita “dipaksa” untuk memihak, memihak untuk sebuah “penilaian” yang kadang tanpa alasan apakah yang berpihakan itu benar atau tidak, yang dia tahu hanya sebagai sepotong informasi yang mempropagandakan sebuah isu. Orang-orang yang merasa dirinya golongan “orang-orang pintar” pun hanya bisa bersilat lidah dan tidak memdidik masyarakat kita menjadi masyarakat “dewasa” yang tidak hanya mengandalkan emosi untuk menelaah setiap kasus demi kasus dengan cara benar. Yang ada hanya demontrasi dimana-mana dan kemudian dilawan lagi dengan demontrasi. Sekarang buku pun diminta dilawan dengan buku. Mau itu ilmiah atau tidak…bagi saya itu tetap menyuruh rakyat untuk memihak. Ok lah dengan cara itu orang akan melihat fakta, tapi apa tidak bisa memberikan fakta dengan lebih baik tanpa harus mendorong harus pilih yang "hitam atau yang putih"…bisa tidak fakta diungkapkan secara cerdas sehingga pembelajaran pada masyaraat bisa dilakukan dengan suasana damai…bukan pertentangan.
Sadari lah energi kita sudah habis terkuras hanya untuk mempertajam jurang pemisah itu…jadi kapan kita berfikir untuk meningkatkan kemampuan kita dan memperbaiki taraf kesejahteraan kita?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H