Peranan AkalÂ
Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas Mogill, Mentreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatau aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian: "Akal melambangkan kekuatan manusia".
Karena akal manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut. Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemikiran akal dalam Islam diperintahkan Al-Qur'an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya apabila ada penulis-penulis, baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.
Pembaharuan Teologi
Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution. Pada dasarnya dibangun atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga di mana saja) adalah disebabkan "ada yang salah" dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lain-lain) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistic, irasional, predeterminisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat Islam. Menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi yang berwatak free-will rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khazanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu'tazilah.
Hubungan akal dan wahyu
Salah satu focus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur'an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H