Mohon tunggu...
Meldy Muzada Elfa
Meldy Muzada Elfa Mohon Tunggu... Dokter - Dokter dengan hobi menulis

Internist, lecture, traveller, banjarese, need more n more books to read... Penikmat daging kambing...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Terapi “Off Label”, Kesalahpahaman yang Membuat Dokter Terlihat Bodoh

7 Oktober 2016   14:03 Diperbarui: 7 Oktober 2016   16:44 948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang dokter (Sumber: gettyimages.com)

“Dok, ibu saya kok malah dikasih obat kejang?” ucap keluarga pasien saat menghubungi dokter yang merawat pasien tersebut.

Pertanyaan di atas adalah hal yang wajar ditanyakan pasien atau keluarga pasien ketika dokter meresepkan obat tertentu, namun menurut mereka obat yang diresepkan tidak sesuai dengan kondisi pasien.

Sebagai contoh di atas, seorang dokter memberikan terapi Gabapentin 300 mg untuk pengobatan neuropati (radang serabut saraf) yang disebabkan penyakit kencing manis. Saat membeli obat tersebut ternyata di label indikasi dituliskan bahwa indikasi obat tersebut sebagai terapi antiepilepsi dan terapi serangan parsial kejang. Padahal pemberian obat tersebut oleh dokter adalah untuk pengobatan neuropati, namun tidak tertulis di label obat sehingga memicu pertanyaan bahkan kesalahpahaman dari pihak pasien. Tujuan terapi tapi tidak tertulis dalam table indikasi obat, itulah yang disebut dengan 'off label'.

Kesalahpahaman yang mungkin diakibatkan karena kurangnya komunikasi dokter atau kurangnya penjelasan dari pihak apotek inilah yang akan menimbulkan dampak persepsi dari pasien/keluarga pasien bahwa dokternya salah, dokternya bodoh atau bahkan tidak mau lagi berobat ke dokter yang bersangkutan.

Mengapa Obat Digunakan secara Off Label
Obat merupakan bahan kimia yang dimasukkan dalam tubuh dalam rangka terapi ataupun pemeliharaan kesehatan seseorang. Sebelum pemasaran obat harus melalui uji coba klinik mulai dari hewan uji sampai uji coba langsung kepada manusia.

Penggunaan obat tentunya harus melalui persetujuan oleh lembaga yang berwenang. Jika di Amerika lembaga yang berwenang tersebut adalah Food and Drug Administration (FDA)sedangkan di Indonesia adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Indikasi yang tertulis pada label obat tentunya adalah indikasi yang telah disetujui oleh lembaga tersebut. Namun seringkali obat bisa memiliki lebih dari satu macam indikasi atau tujuan penggunaan obat.

Ada beberapa alasan kenapa suatu obat dengan banyak indikasi, tetapi hanya indikasi tertentu saja yang dituliskan dilabel. Alasan tersebut antara lain:

  • Salah satu indikasi pengobatan belum sepenuhnya selesai uji klinis, sehingga hanya indikasi yang selesai diujikan yang dituliskan di label,
  • Jika salah satu indikasi dituliskan, penggunaan obat tersebut secara berlebihan akan memberikan efek yang buruk terhadap pasien,
  • Sengaja tidak ditulis karena rentan untuk disalahgunakan apabila diketahui secara massal.

Kenapa Dokter Tetap Menerapi Off Label
Dokter bukanlah tukang obat. Dokter dalam memberikan terapi selalu berpijak kepada evidence based dan patofisiologi perjalanan penyakit, maka perlu diingat bahwa obat yang diberikan dokter tidak karena melihat indikasi pada kotak obat. Sehingga kadang kombinasi pemberian obat yang diberikan terasa tidak tepat menurut pasien/keluarga pasien jika melihat di label obat, tetapi sebenarnya pemberian tersebut sesuai dengan keilmuan seorang dokter yang telah ditempa sekian tahun di Fakultas Kedokteran.

Sebagai contoh, seorang dokter penyakit dalam memberikan terapi Eritromisin pada penderita kencing manis dengan komplikasi gastroparese diabetes (gangguan pengosongan lambung akibat penyakit diabetes), di label indikasi (on label) obat Eritromisin tertulis sebagai obat antibiotik, namun secara off label tujuan pemberian obat tersebut ternyata untuk meningkatkan waktu pengosongan lambung yang akan menurunkan keluhan perut kembung pada pasien tersebut.

Contoh lain terapi off label adalah pemberian suplemen vitamin D3 pada pasien lupus yang bertujuan sebagai imunomudolator sehingga menurunkan risiko aktivitas perburukan penyakit lupus. Terapi misoprostol yang secara on labeldikenal sebagai obat lambung (maag), namun di kalangan kebidanan digunakan sebagai induksi (perangsang) persalinan pasien.

Metformin sangat dikenal sebagai obat kencing manis secara on label, tapi ternyata dikalangan teman-teman kandungan terapi Metformin secara off label dapat digunakan sebagai terapi sindrom ovarium polikistik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun