[caption caption="Ilustrasi: Proses Dialisis (www.timesofmalta.com)"][/caption]“Pak, menurut pertimbangan saya sebaiknya Anda dilakukan cuci darah.”
Sepenggal kalimat yang diucapkan dokter kepada pasien umpama petir di siang bolong. Rasa ketakutan melanda di seluruh raganya, dunia terasa tidak adil dan pikiran berkecamuk. Pasien ketika mendengar kata cuci darah, maka yang terlintas di benaknya adalah akhir dari segalanya. Hidupnya akan ketergantungan alat cuci darah, harus datang 1-2 kali seminggu, harus menyediakan waktu 4-5 jam tiap cuci darah, harus minum obat-obatan rutin dan lain sebagainya.
Seyogyanya memang persepsi itu bisa dipahami. Jika menilik pasien-pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dengan terapi pengganti ginjal yaitu cuci darah, diperlukan ketelatenan dan disiplin tinggi untuk selalu mengikuti jadwal cuci darah rutin, minum obat rutin dan periksa laboratorium rutin. Kadang persepsi ini semakin menakutkan ketika melihat terjadinya komplikasi pada pasien PGK seperti terjadinya stroke atau serangan jantung. Namun, benarkah persepsi tersebut harus tetap dipertahankan? Atau sebenarnya harus dilihat sisi baik dari tindakan cuci darah tersebut?
Apakah cuci darah itu?
Cuci darah atau dalam bahasa medis disebut dengan hemodialisa (HD) suatu proses pemisahan atau penyaringan atau pembersihan darah melalui suatu membran yang semipermeabel melalui suatu alat cuci darah yang dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, baik yang akut maupun kronik.
Saat ini cuci darah merupakan salah satu pengobatan pengganti ginjal yang paling banyak dipakai. Walaupun masih banyak kendala, cuci darah berhasil memperpanjang umur pasien PGK tahap terminal dan memberikan kualitas hidup yang baik, dan pada pasien yang bersifat Gangguan Ginjal Akut (GGA)/Acute Kidney Injury (AKI) memberikan manfaat besar untuk mencegah peningkatan kematian akibat racun ginjal dan menurunkan risiko kerusakan ginjal.
Cuci darah akhir segalanya?
Ketika dokter memberikan pertimbangan untuk segera dilakukan cuci darah, tentu dokter telah memiliki dasar pertimbangan yang masak untuk mengeluarkan pernyataan tersebut. Perlu diperhatikan bahwa cuci darah itu adalah suatu terapi pengganti ginjal, hal ini bisa bersifat sementara atau bersifat permanen tergantung jenis penyakit yang diderita oleh suatu pasien.
Jadi, bisa sementara saja? Tentu saja! Kenapa hal tersebut bisa demikian. Pada orang normal, ginjal bekerja 24 jam tanpa henti selama manusia masih hidup. Berbagai fungsi ginjal, yang paling utama adalah fungsi ekskresi yaitu mengeluarkan cairan yang bersamaan dengan itu juga dibuang racun dan zat hasil metabolisme yang tidak diperlukan tubuh (baca: racun ginjal) yang jika tidak dibuang akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh.
Dalam kinerjanya, ginjal harus selalu terjaga dari kondisi yang bisa menyebabkan kerusakan ginjal, yaitu darah tinggi (hipertensi), kencing manis (diabetes mellitus), batu ginjal/saluran kemih, kekurangan cairan berat, obat-obatan yang merusak ginjal, dan lain sebagainya. Jika mulai terjadi kerusakan ginjal, akan terjadi peningkatan marker kerusakan ginjal, yaitu kreatinin. Juga terdapat satu lagi marker ginjal, yaitu ureum yang merupakan hasil akhir metabolisme protein. Ureum dan kreatinin adalah indikator derajat kesehatan pada ginjal.
Pada pasien dengan kekurangan cairan yang berat (misalnya karena diare akut dan muntah masif, tidak minum berhari-hari, perdarahan akut) maka akan terjadi penurunan aliran darah ke ginjal, hal ini menyebabkan ginjal menjadi tidak maksimal dalam menyaring dan mengeluarkan racun ginjal sehingga akhirnya terjadi peningkatan ureum dan kreatinin. Walaupun sudah diberikan terapi cairan yang mencukupi, sangat mungkin penanda ureum dan kreatinin masih tinggi sehingga akhirnya diputuskan untuk cuci darah. Apakah ini akhir segalanya? Tidak.