Sebuah film di Screen Below The Wind Festival mencoba mengajak penontonnya mempelajari sejarah, lewat cara yang berbeda. Sejarah adalah catatan peristiwa. Mempelajari sejarah sama artinya dengan berusaha memahami seperti apa sosok kita (bangsa) di masa lampau, apa yang kita cita-citakan waktu itu, apa saja perkembangan yang sudah kita capai. 122 tahun yang lalu, Sri-moh adalah orang Chiang Mai pertama yang datang ke Yokohama. Dalam perjalanannya, ia menulis sebuah surat kepada orangtuanya, dia menceritakan pemandangan, budaya dan masyarakat di kota itu. 122 tahun kemudian, Santiphap, seniman yang berdomisili di Chiang Mai, membawa surat Sri-moh bersamanya dalam kunjungannya ke Yokohama dalam kegiatan Koganecho Artist Residency. Di situ ia membacakan surat tersebut untuk warga Yokohama. Ia kemudian mengajak mereka untuk menulis surat jawaban atas surat Sri-moh yang sudah berumur seratus tahun tersebut. Surat-surat baru ini hadir sebagai sebuah refleksi atas Yokohama hari ini. Tentunya surat-surat yang menjadi balasan adalah sebuah refleksi untuk warga Yokohama. Perubahan wajah wilayah adalah hal yang pasti terjadi seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi. Namun bagaimana dengan kehidupannya? Apakah tetap menyenangkan ataukah menjadi keras dan kejam? Atau bagaimana dengan masyarakatnya? Apakah budaya kerja keras dan pantang menyerah itu masih ada? Melihat film berdurasi 9 menit ini mengingatkan saya kepada kumpulan surat-surat dari R.A. Kartini yang disatukan dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Kita mungkin bisa menikmati situasi dan kondisi kehidupan-sosial saat ini. Namun lewat surat dari masa lalu kita bisa berkaca: sudah saatnya kah kita bersyukur, atau jalan yang harus kita tempuh itu masih jauh?
Festival Layar di Bawah Angin
Festival Layar di Bawah Angin (Screen Below The Wind Festival) adalah ruang pertukaran budaya dan sejarah Asia Tenggara, melalui film dan foto dokumenter. Festival ini tidak hanya untuk peminat dan pelaku film dan foto dokumenter, tapi juga untuk siapapun yang ingin lebih emahami peristiwa yang terjadi di berbagai negara di Asia Tenggara.
Festival ini juga mempertemukan berbagai rekan yang selama ini saling mempengaruhi, yaitu pembuat film & foto dokumenter, publik, pelaku media mainstream dan bisnis melalui berbagai kegiatan seperti Workshop Film dan Foto Dokumenter, Berbagi Bersama Dokumentarian, Sarasehan Dokumenter Asean.
Festival Layar di Bawah Angin (Screen Below The Wind Festival) menyambut kedatangan rekan semua, untuk duduk bersama, saling berbagi untuk memahami realita dengan lebih utuh di dalam suasana yang hangat dan sederhana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H