Mohon tunggu...
Melchior Purnama
Melchior Purnama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Filsafat Di Institut Filsafat Dan Teknologi Kreatif Ledalero

Saya menyukai dunia tulisan entah itu artikel ilmiah, sastra, dan lain sebagainya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Beda Keyakinan Itu Pilihan

22 November 2024   07:12 Diperbarui: 22 November 2024   07:59 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apakah kurang cukup aku menyatakan perihal senja itu kak? apa Kakak mencoba untuk berpura-pura tidak tahu perihal senja itu. Jika kakak benar- benar mengerti tuturan. Seharusnya Kakak mengerti dan tahu siapa yang kumaksud. Mungkin membingungkan dan membuat kakak penasaran tentang semua itu. Perihal senja yang selalu ada, jawabanya adalah Kakak sendiri, atau kurang jelas Senja itu adalah Kakak Jimy yang sangat kukagumi." Jawabnya dengan jujur dan diliputi rasa takut.

      Sore itu tepatnya dibalik senja yang begitu indah telah menjadi saksi pertumpahan rasa yang dipendam Sophia. Dia ternyata telah memendam rasanya selama ini. Dengan rasa tak percaya aku mendengar penuturannya yang terangkum dalam penantian untuk mendapati kepastian. Lantas Semesta mendapati kami berdiam diri. Tak ada lagi keriuhan. Tak ada lagi alunan. Aku biarkan sahabat berdawai enam-ku berbaring di hadapanku. Aku membiarkan suasana menjadi lengang. Aku perlu berpikir keras perihal dia. Apakah penuturan yang barusan kudengar adalah sebuah kebenaran. Semesta tersenyum penuh kemenangan. Kembali aku terjebak pada dunia yang aku anggap sebagai ilusi yang menyakitkan ini. Ilusi senja mengantarku pada kenyataan getir untuk mendengar rintihan rasa Sophia yang secara jujur untuk terbuka padaku. 

"Apakah semua ucapanmu benar?" Aku bersuara memecahkan keheningan diantara kami.

" Benar kak, lagian untuk apa aku berbohong, tapi aku juga bingung kak. Secara kan, aku menganggap Kakak mungkin sebatas sebagai sahabat. Mengingat kita berbeda keyakinan, jadi sangat sulit untuk bersatu. Terkadang aku merasa dibodohi kak. Sebab aku selalu terjatuh dalam perangkap rasa yang selalu tak sadar apa yang dilakukannya. Maaf ya kak". Jawabnya sembari senyum yang tadinya sirna kini kembali. 

"Sophia apa kamu tau?? Sejujurnya, aku juga merasakan apa yang kamu rasakan. Aku juga memiliki rasa padamu. Tapi aku sadar, kita tak akan bisa bersama dalam waktu yang cukup lama. Sebab ada sesuatu yang menjadi tembok besar nan kokoh sebagai penghalang diantara kita. Terkadang, aku selalu ditertawai ego yang berulah, sebab tak berani mengungkapkan semua rasa kepadamu. Alam pikirku pun dikuasai ego supaya terbatas pada angan memilikimu hanya di alam halu atau mimpi saja. Sehingga aku pasrah pada diriku karena rasa yang salah berlabuh." Jelasku dengan menutup semua kebohongan yang selama ini kupendam.

"Jadi, apa Kakak juga merasakan yang kurasakan?, Apa Kakak tidak sadar bahwa kita dipertemukan dalam kemauan untuk bersama, tapi terhalang pada ketidakmauan untuk berpaling?, Mengapa Kakak tidak ungkapkan saja, aku bakalan nerima kakak walaupun kelak aku ataupun Kakak akan sama-sama tersakiti juga." Celetuknya atas keterbukaanku. 

     Sekilas aku tersadar. Benar apa katanya, bukankah jika kami bersama adalah suatu kesempurnaan walau sekejap saja. Dan perihal keyakinan kami yang berbeda, bukankah itu lahiriah dan tidak menjadi batu sandungan bagi kami yang beradu kasih. Lantas apa aku harus merelakan diriku hancur karena memendam rasa seperti dirinya yang juga memendam rasa. Aku tertawa dalam diamku, tertawa atas bodohnya diriku yang bodoh karena selalu menilai seseorang dari sisi bedaannya. Aku berhak menang atas diriku yang sisi bodoh, dan aku harus menang dan membungkamnya kebodohan. Sehingga tak salahkan aku menjalin kasih dengannya, asalkan tak berpaling dari kepercayaan atau agamaku.

  Selepas dari diamku. Aku membulatkan diri untuk mengungkapkan perihal rasa yang memendam. Dan terciptalah kisah kami yang berbeda keyakinan. Sophia pun menerimaku dengan kebahagiaannya, walau pada akhirnya kenyataan memang harus menyakitkan. Sungguh ironi waktu yang salah tapi rasa yang benar. 

     Semenjak saat itu aku terjebak dalam ilusi yang mengatakan "Cinta beda keyakinan". Berbeda bukan berarti tidak bersama. Asalkan tak berpaling dari keyakinan karena itu adalah suatu kekeliruan. Aku hanya mengerti suatu ikhtiar mencintai dalam beda keyakinan. Dia yang Mencipta dan mempertemukan kami berkata" Mencintai yang beda keyakinan itu baik, tetapi menarik dia dari Tuhannya Itu kesalahan. Jadi Aku berserah padaNya Saja. 

"Perihal Rasa"

   Yang datang tanpa ucapan, hinggap tak bersuara, dan menetap tanpa ijin. Sempurna dan nyaman. Namun, kemudian beranjak dan pamit meninggalkan Luka, ah Rasa Sialan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun