"Sophia, ingatlah satu hal bahwa Cantik itu luka". Demikian kata ibu saat aku beranjak usia ke dua belas tahun. Saat itu, masih terpikirkan olehku bahwa kata-kata ibu sungguh sebuah lelucon belaka. Mengingat aku yang begitu polos menanggapinya dengan cengengesan karena tak mengerti. Sejujurnya, aku masih tak mengerti perihal perkataan ibu kala itu.Â
Bagiku, masa itu adalah masa infantil atau kekanak-kanakan dalam hidupku. Jadi, aku tak pernah memikirkan setiap detail kata yang terucapkan ibu. Yang aku mengerti adalah ibu sungguh menyayangiku tiada taranya. Bahkan, kasih ibu tak pernah terukur dalamnya. Dalam setiap doa kecilku, aku selalu memanjakan diri dihadapan Tuhan saat bercakap dalam keheningan. Dalam hening yang berbicara, aku selalu berharap ibu lekas sehat selalu walau tertelan waktu hingga rambutnya yang hitam pun memutih.Â
Kadangkala, aku banyak menghabiskan waktu bersama ibu. Dia selalu ada bagiku. Setiap malam ibu selalu memberikan cerita pengantar tidur. Sesekali ibu memainkan sebuah lagu ditemani dia yang berdawai. Selera musik yang ada pada ibu tak diragukan lagi. Ibu adalah teman bagiku. Dan aku bersyukur atas kehadiran ibu yang mengalahkan segala kehadiran.
 Hingga waktu berlalu, tak dipungkiri aku berada pada titik ketidakberdayaan. Wajah ibu yang begitu cantik dan secara genetik diwariskan kepadaku kian memudar. Namun, tak pernah sekalipun aku sangkal bahwa kecantikan ibu tak ada duanya. Hingga rambut hitam ibu memutih, dan nafasnya tersengal karena derita yang dialaminya.Â
Anehnya, ibu mampu menyembunyikan rasa sakit yang dia derita dihadapanku. Aku tak berdaya saat melihat wajah cantik penuh senyumannya berubah masam di atas tilam ruang bercat putih penuh bau obat-obatan itu. Dan ibu kembali berpesan yang sama "cantik itu luka, sophia" saat terakhir sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.Â
Di akhir kisah ibu, aku mendapat berita yang tak pernah aku ketahui sebelumnya bahwa ibu mengidap penyakit kanker payudara. Konspirasi antara ibu dan dokter yang melayaninya begitu apik menyembunyikan cerita tragis dari diriku yang tak lain buah hatinya. Mengapa ibu? Kisah hidup ibuku yang penuh petaka.Â
Akankah kisah ibu akan serupa diriku? Entahlah, tetapi kata orang "buah jatuh tak jauh dari pohon". Dan akankah seperti itu? Bukankah aku berbeda dari ibu. Mengapa mesti sama? Dan bukankah aku yang menjalani takdirku?.Â
Begitu banyak pertanyaan yang terngiang dalam pikiranku saat aku kembali menatap sendu foto ibu yang terpampang dalam bingkai bunga mawar itu. Aku pun tak pernah menemukan jawaban atas tanya itu. Siapakah aku? Pertanyaan penuh retoris nan reflektif ini memberi aku jawaban bahwa " aku adalah pertanyaan yang belum usai dijawab". Oleh karena itu, bagiku hidup adalah sebuah pertanyaan yang jawabannya bersembunyi dibalik tirai misteri penuh ketidaktahuan.
    Sekilas tentang diriku. Namaku Sophia Jetia. Nama yang ibu sematkan sebagai bentuk syukurnya atas hadir diriku yang menemaninya dalam kisah hidup penuh misteri ini. Kata ibu, nama sophia berarti " bijaksana" dan Jetia adalah nama ibu sendiri. Ibu mengatakan bahwa aku mesti tumbuh menjadi gadis yang bijaksana. Tak hanya berparas cantik atau rupawan bak bidadari, haruslah bijaksana juga dalam menjalani hidup.Â
Aku di mata banyak orang dikenal "si cantik". Tetanggaku menganggap aku sebagai gadis yang penuh pesona karena kecantikkan yang aku miliki. Bahkan mereka berniat menjodohkan aku dengan anak-anak lelaki mereka. Tetapi, mereka sadar
bahwa aku tak layak bagi anak mereka.Â
    Suatu malam, aku mencoba bertanya kepada ibu perihal siapa ayahku. Sosok satu ini, tak pernah sekalipun aku dengar ceritanya dari ibu.Â
" Nak tidurlah. Ingat kamu mesti tidur karena esok kamu sekolah." kata ibu sembari menghentikan petikan gitarnya berharap aku lekas terlelap dan meraja mimpi.
" Tapi bu, aku belum ngantuk. Lagian aku sudah besar dan dewasa. Jadi, ibu tak perlu repot-repot lagi meninabobokan aku. Sanggahku atas tawaran ibu.
" Eitt, jangan salah nak. Bagi ibu, kamu masih gadis kecil ibu. Bahkan ketika kamu bersuami kelak, kamu tetap menjadi gadis kecil ibu"
"..ayolah ibu. Tapi ibu ada yang ingin aku tanyakan. Ini perihal siapa ayahku. Aku selalu malu bu, saat melihat teman-temanku dari SD dulu hingga SMA selalu diantar ayahnya ke sekolah. Sementara aku hanya memiliki ibu. Dimana ayah ibu? Apa ayah sejahat itu meninggalkan kita? Atau ayah telah mati?"
" Cukup Sophia! Tidurlah, pertanyaanmu tak penting. Lagian, apa kehadiran ibu tak cukup bagimu? Mengapa kamu menanyakkan hal itu?
" Ibu…aku hanya menanyakan siapa ayah? Apakah aku salah jika menanyakan keberadaan ayahku atau aku adalah anak tanpa ayah?
"Sophia sekali lagi ibu katakan, jangan kamu tanya tentang ayahmu!! Akan ada saatnya kamu tahu dan mengerti, tetapi tidak sekarang." jawab ibu yang sedikit membentak tanda bahwa ibu marah atas pertanyaanku. Ibu pun pergi meninggalkanku. Terlihat jejak marah dan sedih ibu sembunyikan dariku. Tersirat tetapi aku paham ketika ibu keluar dari kamarku dengan mata yang mencoba membendung air matanya agar tak terlihat sedih. Amarahnya terjawab saat ibu membanting keras pintu kamarku.
     Seketika aku terbungkam dan terdiam. Aku tak pernah melihat ibu seperti ini sebelumnya. Ataukah ibu memiliki masa lalu yang kelam? Tidak biasanya ibu menunjukan kemarahannya padaku. Sejenak aku mencoba merenungi atas sikapku tadi.Â
Aku menyesal telah membuat ibu terluka karena masa lalunya. Dalam kebingungan nan penuh tanya, aku pun terbuai dalam lamunan mimpi menanti hari esok penuh senyum. Entah apa cerita di hari esok, aku serahkan pada sang khauriupan kehidupan.
   Semburat arunika tersenyum dari ufuk timur. Suara fajar memekakan telinga, nafas segar berhembus penuh kenyamanan. Hari baru yang indah, begitu pikirku. Sekejap aku melupakan semua yang terjadi semalam. Aku ingin beranjak sesegera mungkin bertemu ibu untuk meminta maaf atas perbuatanku.Â
Aku menuruni tangga penuh hening. Barangkali sunyi dan sepi adalah sahabat terbaik bagiku. Aku mencoba merangkai kata demi kata agar kata maaf tersampaikan. Sesampainya di dapur aku tengah melihat ibu yang tengah sibuk membersihkan peralatan makan dengan penuh semangat. Seketika terlintas dalam pikiranku untuk memeluk ibu. Aku pun melakukan sesuai intuisi yang ada pada diriku.
"selamat pagi ibu. Aku minta maaf ibu…" kataku sembari memeluk erat tubuh ibu.
"Tidak apa-apa nak. Itu hal biasa sebagai anak menanyakan keberadaan ayahnya. Jadi, akan ada saatnya kamu tahu semua yang terjadi pada masa lalu ibu." balas ibu sembari membalas pelukanku dengan senyuman hangat penuh kasih sayang.
"Cukup bu. Aku tak mau hal semalam terjadi. Aku tak mau ibu membenciku karena keegoisanku. Aku ingin ibu terlihat bahagia serupa aku bahagia memiliki ibu"
"Sudah, lekas mandi dan sarapan. Ingat, hari ini kamu sekolah." Aku pun beranjak untuk mempersiapkan diri berangkat sekolah. Benar, hari ini begitu indah karena ibu memaafkanku dengan tulus. Setelah sarapan , ibu mengantarku ke sekolah dengan mobil inova merah miliknya.Â
Kebetulan tempat kerja ibu juga searah dengan sekolahku. Pekerjaan ibu adalah pegawai negeri di institusi negara yang bermuara pada keadilan masyarakat atau kerap disebut kantor pengadilan. Aku ingin seperti ibu, wanita kuat dan berkarir. Kata ibu, semua karena belajar dengan tekun.
     Waktu demi waktu berlalu tanda bahwa waktu memang benar-benar fanah. Hingga suatu hari yang tak kusangka datang tak terduga. Ibu terjatuh dan pingsan di dapur saat hendak mempersiapkan makan malam. Melihat itu, serentak aku meneteskan air mata yang tak pernah kubiarkan menetes sia-sia terjatuh begitu deras. Bahkan tak setenang air sungai yang mengalir begitu tenang.
 Aku mencoba membangunkan ibu dengan air mata yang mengalir tiada henti. Aku menatap wajah ibu yang penuh basah karena air mataku. Wajahnya begitu pucat pasih, tubuhnya terlihat lemah tak berdaya. Tak perlu menunggu lebh lama, aku menelpon pihak medis untuk segera menolong ibuku.Â
Setelah tiga puluh menit berlaku, mobil putih bertulis Ambulance muncul tepat di pekarangan rumahku. Aku hanya terdiam dan membisu sembari menatap sendu tubuh ibu yang dipapah oleh pihak medis. Aku tak tega melihatnya. Setelah sejam menunggu di ruang tunggu tepatnya di depan ruangan bertuliskan UGD, seorang dokter yang memeriksa ibu keluar dan bertemu aku sebagai keluarga satu-satunya.Â
Dokter menjelaskan bahwa ibu mesti dirawat hingga waktu yang tidak pasti. Saat aku bertanya tentang sakit yang menderita ibu, dokter terdiam dan mencoba menyembunyikan sesuatu dari aku. Tanpa menunggu jawaban dari dokter, aku segera masuk ke. ruangan dimana ibu berbaring tak berdaya. Sesampainya di dalam, aku melihat ibu tengah tersenyum penuh kehangatan nan bermakna memandang aku yang begitu cemas dan takut.
 Aku pun memeluk ibu dengan erat dan enggan tuk melepaskannya. Memandang orang yang aku cintai dan sayangi terbaring lemah, ingin rasanya aku berteriak kepada semesta mengapa harus ibuku? Pasrah dan sabar serta penuh pengharapan agar ibu seperti lekas sembuh adalah satu-satunya hal yang bisa kulakukan.
 Aku teringat akan perkataan ibu "Anak cantik ibu tak boleh menangis. Entar cantiknya hilang". demikian canda ibu dalam keadaan tidak baik-baik saja. Aku tak mengerti pikiran ibuku. Aneh tapi nyata, tetapi itulah seorang ibu yang tak ingin anaknya terlalu berlarut-larut dalam kesedihan.
   Sebulan lamanya ibu terbaring di rumah sakit yang sangat aku benci itu. Mengapa? Karena begitu banyak cerita, tempat ini adalah tempat yang begitu kejam sebagai saksi atas kepergian dan kehilangan banyak insan. Aku selalu berada di sisi ibu. Saat sepulang sekolah, aku tak pernah terlambat untuk menjenguk ibu. Membersihkan tubuh ibu dan memainkan lagu yang sering ibu nyanyikan untuk diriku.
 Kenyataan sekarang terbalik, akulah yang menghibur ibu dalam duka dan lara yang tengah mendekapnya. Bersama ibu, aku merasakan ketenangan. Bahkan tanpa ijin dari ibu pun aku tak akan pernah mencoba terjebak dalam ruang asmara. Bukan karena tak dewasa, sebab mendapat restu dari ibu adalah doa bagi aku yang mencoba menjalani siklus kehidupan yang penuh tanya ini.Â
Sekali lagi aku tak lelah melayani ibu dan aku bahagia karenanya. Kata ibu, saat aku di sekolah ada teman ibu yang menjaga ibu. Aku begitu penasaran siapa teman ibu? Mengingat kami di lingkungan masyarakat adalah pendatang. Kakak atau adik ibu pun aku tak tahu. Bagiku, kisah hidup ibu begitu misteri.Â
   Saat yang tak dinantikan tiba. Aku tak bisa melawan kenyataan pahit yang datang menghampiriku. Bagai tersayat, hatiku teriris dalam kadar sakit yang tak bisa disangkal. Menangis adalah tanda bahwa aku memang tak kuat.Â
Aku lemah karena hal yang aku tak inginkan pun terjadi. Seorang guru datang ke kelasku untuk memberi tahu bahwa aku harus segera ke rumah sakit. Wajah panik dan cemas darinya menandakan ada yang tidak baik sedang terjadi. Seketika aku memikirkan ibu yang masih lemah tak berdaya. Oh tidak, ibu…
   Sesampainya di Rumah sakit, aku berlari tak karuan agar segera sampai di ruangan melati tempat ibu di rawat. Sayang seribu sayang, kakiku terasa kaku dan tatih untuk berjalan. Aku melihat wajah cantik ibuku kini tiada lagi. Kedua lentikan mata indahnya tertutup kelopak mata dan mustahil akan terbuka seperti sedia kala.Â
Aku tak bisa menerima kenyataan pahit ini. Begitu dalam sakit yang kurasakan. Hingga tak tertahankan, tubuhku roboh dan terjatuh dengan pandangan mata yang kosong tiada batas.
 Kenapa secepat ini ibu? Apakah ibu membenciku? Mengapa aku mesti merasakan kesendirian. Tak berdaya aku menjalaninya ibu. Berat bagai batu besar yang menghujam tubuhku yang lemah. Ibu telah tiada. Ibu telah bahagia karena bebas dari rasa sakit yang dia derita selama ini. Ibu tetap hidup tetapi tak di dunia yang fanah ini. Ibu, aku merindukanmu.
     Seminggu setelah kepulangan ibu, aku hanya terdiam dan membisu. Keduanya adalah sahabat yang selalu menemaniku dalam kesendirian di rumah. Aku tak pernah memikirkan rumah yang katanya adalah sebuah istana. Bagiku tanpa ibu, rumah ini bagaikan ruangan gelap yang di jeruji oleh kekejaman semesta yang selalu mempermainkan hidup yang tengah aku jalani.Â
Aku hanya bisa memandang ibu dibalik fotonya yang senyumannya terpancar bagai sinar mentari dan rembulan. Saat ini, aku tengah ditemani tanta Susan yang tak lain adalah sahabat dekat ibu.. Dia juga dokter yang senantiasa membantu ibu dalam proses pemulihan sakit yang diderita. Kebetulan tanta Resa tak bersuami karena hidupnya mengabdi untuk melayani orang sakit.Â
Mulia sekali tantaku ini. Kebahagiaan pun aku rasakan tat kala tanta Resa berniat mengangkatku sebagai anaknya. Dia berhutang budi atas kebaikan mendiang ibu dulu sebelum aku hadir di dunia ini. Seketika kesedihanku sedikit sirnah. Dia memintaku untuk memanggilnya Ibu. Tanta Resa ingin membesarkanku sebagaimana ibu membesarkanku. Rupanya habis gelap terbitlah terang. Kehilangan ibu adalah gelap dan kehadiran tanta Resa yang kini menjadi ibuku adalah terang. Terima kasih Tuhan, atas kebaikanMu.
    Sebelum aku meninggalkan rumah dan memulai hidup baru, aku mencoba kembali menelisik setiap bagian rumah. Bagian yang aku tuju tentunya kamar ibu yang tak pernah aku masuk selama ini. Saat aku membuka pintu, kakiku seakan akrab dengan ruangan ini dan secara perlahan aku memandangi foto-foto yang tergantung rapi dibalik dinding kamar ibu.Â
aku melihat senyuman kedua gadis cantik yang tak ada bedanya. Semuanya sama, dan aku bangga menjadi anak ibu walau ibu telah tiada. Kemudian menghampiri meja ibu dengan banyaknya peralatan rias wajah ibu. Namun, ada suatu hal yang menarik perhatianku.Â
Aku melihat buku kecil berukuran kecil sepertinya buku catatan harian ibu. Benar dugaanku, aku membaca cover putih yang bertuliskan catatan harian Jetia. Nama ini begitu indah terangkai dalam lembaran putih ini. Aku begitu penasaran atas isi buku ini. Dan apakah pertanyaan yang belum terjawab ada pada buku ini.? Semoga saja, begitulah harapanku.
Surat untuk Putriku tercinta
    Sophia, hanya ini yang bisa ibu tinggalkan untukmu. Ibu tahu kamu pasti akan menemukan buku catatan harian ibu ini saat ingin mengetahui segalanya. Ibu yakin kamu pasti membacanya walau ibu telah tiada. Ibu ingin menceritakan kisah yang tak pernah ibu ceritakan kepadamu.Â
Barakallah dengan kisah singkat ini kamu mengerti dan paham atas segala tanyamu malam itu. Ingatlah sophia, jangan menaruh dendam atau apapun yang membuat hatimu terluka apalagi memupuk benci yang tak berguna. Juga jangan menangis Sophia, entar cantiknya hilang.
      Sophia, kamu adalah duplikat ibu di masa laku. Ibu dulu secantik dirimu dan terjaga hingga banyak orang berharap bersanding dengan ibu. Namun, ibu tak mau memikirkan itu. Ibu berasal dari keluarga cukup berada. Kakek meninggal saat ibu dilahirkan karena kecelakaan mobil hingga merenggut nyawanya. Ibu pun hidup bersama nenekmu dengan bahagia walaupun tanpa kehadiran kakekmu yang berada di dimensi lain.Â
Namun, hal yang menyakitkan adalah ketika nenekmu juga pergi meninggalkan ibu setelah ibu menyelesaikan Sekolah ibu di bangku SMA. Dan ibu merasakan sakit yang mungkin saja kelak kamu akan rasakan juga. Untuk mewujudkan mimpi ibu yang masih tertunda, ibu pun memutuskan untuk melanjutkan kuliah di kota tempat dimana kamu dilahirkan.Â
Kepandaianmu adalah kepandaian ibu sejak dahulu. Sesampainya di kota ini, ibu tak tahu mesti harus kemana. Sementara ibu tak punya siapa-siapa disini. Saat kebingungan menghampiri ibu, datang wanita yang mungkin saja ibu menarik perhatiannya. Awalnya ibu mengenal dia baik dan penuh perhatian. Wanita itu mengatakan bahwa dia ingin membiayai perkuliahan ibu asal mau bekerja dengannya. Saat itu, pikiran ibu gagap dan buntu dan mengiyakan tawaran darinya asal ibu bisa kuliah dan meraih mimpi ibu.
       Sesampai di rumah wanita itu, ibu melihat begitu banyak wanita-wanita cantik. Mereka mengucapkan selamat datang kepada ibu sebagai keluarga baru. Mereka menerima ibu dengan penuh ketulusan. Tetapi ternyata semua itu kamuflase belaka. Kebahagiaan yang direkayasa dengan begitu apik telah menghipnotis ibu.Â
Bahkan ibu melupakan semua yang terjadi di masa lalu sepeninggal kakek dan nenekmu. Setahun kemudian tepatnya ketika ibu berada di semester tiga, semua terjawab. Ternyata mereka yang kelihatan cantik setara dengan ibu tengah dipersiapkan untuk menjadi korban dari bisnis gelap wanita tua yang kami panggil ibu itu.Â
Kami semua adalah korban dari bisnis gelapnya. Semuanya jelas ketika saat sepulang kuliah, wanita tua itu meminta ibu untuk melayani "lelaki hidung belang" yang ternyata tertarik dengan kecantikan ibu. Ibu hanya bisa diam dan membisu atas semua permainan dalam perjalanan kisah hidup yang tengah dijalani. Begitulah Sophia, kami dikenal sebagai "wanita penghibur" setiap lelaki yang ingin hawa nafsunya terpuaskan.Â
      Pada saat ibu ingin menyibukkan diri dengan skripsi, seorang laki-laki seumuran ibu mengutarakan cintanya kepada ibu. Awalnya ibu tak menghiraukannya sebab jika ia mengetahui masa lalu ibu, maka kebenciannya begitu dalam terhadap ibu. Namun, ibu tak menyangka bahwa ia sangat mencintai ibu apa adanya. Waktu ibu menceritakan semua hal di masa lalu, tanggapnya ia tak mencintai masa lalu ibu melainkan ibu yang sekarang ia kenal.Â
Sophia, ibu sangat bahagia mendengarnya. Ternyata masih ada lelaki yang mencintai ibu dengan tulus. Ibu pun menerimanya dengan tulus. Saat itu, ibu berpikir untuk keluar dari rumah penuh dosa yang selama ini menjadi tempat terburuk yang pernah ibu alami. Ternyata kemauan ibu pun berhasil ketika wanita tua itu tertangkap polisi atas bisnis gelapnya. Sekali lagi, ibu merasa Tuhan ada di pihak ibu.Â
       Setelah keluar dari masa lalu yang mencekam, ibu pun memutuskan untuk mengontrak rumah. Dan ibu tiada henti bersyukur karena seusai menjalani wisuda, ibu mencoba mengikuti tes cPNS. Alhasil ibu pun lulus dan ditempatkan di lembaga yang memperjuangkan keadilan.Â
Setelah bekerja di tempat itu, ibu mencoba meminta kepastian dari lelaki yang ibu cintai. Saat malam indah ditemani rembulan yang beradu kasih dengan bumi ini, ia mengatakan siap menikahi ibu.Â
Dan kami menghabiskan waktu selayaknya sepasang merpati yang beradu kasih. Tiga bulan kemudian seusai malam penuh berarti itu, ibu mengalami suatu keanehan dalam diri ibu. Menanggapi semua itu, ibu pun ke dokter untuk berkonsultasi perihal rasa sakit yang ibu derita. Nyatanya, ibu telah mengalami fase "telat tiga bulan". Hal itu tentunya sangat membahagiakan ibu. Sebab melahirkan buah hati dari lelaki yang ibu cintai adalah sebuah kebahagiaan sejati yang pernah ibu rasakan. Ibu merasa tak akan ada yang memisahkan kami suatu hari nanti.Â
Namun, suatu hal yang tak pasti dan menyayat hati adalah ibu didiagnosis kanker payudara. Sakit seperti tertusuk duri dan berdarah yang membutuhkan waktu lama untuk sembuh. Sophia, apa kamu tahu? Kehadiranmu dalam rahim kala itu adalah kebahagiaan ibu di atas rasa sakit yang mendera ibu. Selepas ibu menceritakan semuanya kepada lelaki itu, ia merasa marah dan tak terima. Sebab, ia berpikir bahwa bukan hanya ia saja yang menghampiri ibu. Ia menyangkal bahwa anak dalam rahim ibu bukanlah anaknya.Â
Ia juga mengatakan bahwa mungkin saja anak yang dalam kandungan ibu adalah anak dari lelaki yang pernah menghampiri ibu. Lantas ia pergi meninggalkan ibu dengan sakit yang menghantam kalbu ibu terlalu dalam.
    Sophia, apa kamu tahu? Ibu tak pernah membencinya. Jika ibu membencinya maka ibu pun membenci anak yang ada dalam rahim ibu yang tak lain adalah dirimu. Ibu hanya ingin menunjukkan bahwa ibu kuat. Tanpa seorang ayah, ibu masih bisa membesarkan dan menyayangimu.Â
Kesendirian ibu berubah saat kamu hadir menyapa dunia yang kejam ini. Sophia, kamu layak membenci ibu karena masa lalu ibu yang tak berkenan di hatimu. Ingatlah, kamu bukanlah anak yang seperti dikatakan lelaki itu. Kamu adalah anak ibu yang hadir karena rasa cinta. Kamu anak adalah permata bagu ibu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H