Aku teringat akan perkataan ibu "Anak cantik ibu tak boleh menangis. Entar cantiknya hilang". demikian canda ibu dalam keadaan tidak baik-baik saja. Aku tak mengerti pikiran ibuku. Aneh tapi nyata, tetapi itulah seorang ibu yang tak ingin anaknya terlalu berlarut-larut dalam kesedihan.
   Sebulan lamanya ibu terbaring di rumah sakit yang sangat aku benci itu. Mengapa? Karena begitu banyak cerita, tempat ini adalah tempat yang begitu kejam sebagai saksi atas kepergian dan kehilangan banyak insan. Aku selalu berada di sisi ibu. Saat sepulang sekolah, aku tak pernah terlambat untuk menjenguk ibu. Membersihkan tubuh ibu dan memainkan lagu yang sering ibu nyanyikan untuk diriku.
 Kenyataan sekarang terbalik, akulah yang menghibur ibu dalam duka dan lara yang tengah mendekapnya. Bersama ibu, aku merasakan ketenangan. Bahkan tanpa ijin dari ibu pun aku tak akan pernah mencoba terjebak dalam ruang asmara. Bukan karena tak dewasa, sebab mendapat restu dari ibu adalah doa bagi aku yang mencoba menjalani siklus kehidupan yang penuh tanya ini.Â
Sekali lagi aku tak lelah melayani ibu dan aku bahagia karenanya. Kata ibu, saat aku di sekolah ada teman ibu yang menjaga ibu. Aku begitu penasaran siapa teman ibu? Mengingat kami di lingkungan masyarakat adalah pendatang. Kakak atau adik ibu pun aku tak tahu. Bagiku, kisah hidup ibu begitu misteri.Â
   Saat yang tak dinantikan tiba. Aku tak bisa melawan kenyataan pahit yang datang menghampiriku. Bagai tersayat, hatiku teriris dalam kadar sakit yang tak bisa disangkal. Menangis adalah tanda bahwa aku memang tak kuat.Â
Aku lemah karena hal yang aku tak inginkan pun terjadi. Seorang guru datang ke kelasku untuk memberi tahu bahwa aku harus segera ke rumah sakit. Wajah panik dan cemas darinya menandakan ada yang tidak baik sedang terjadi. Seketika aku memikirkan ibu yang masih lemah tak berdaya. Oh tidak, ibu…
   Sesampainya di Rumah sakit, aku berlari tak karuan agar segera sampai di ruangan melati tempat ibu di rawat. Sayang seribu sayang, kakiku terasa kaku dan tatih untuk berjalan. Aku melihat wajah cantik ibuku kini tiada lagi. Kedua lentikan mata indahnya tertutup kelopak mata dan mustahil akan terbuka seperti sedia kala.Â
Aku tak bisa menerima kenyataan pahit ini. Begitu dalam sakit yang kurasakan. Hingga tak tertahankan, tubuhku roboh dan terjatuh dengan pandangan mata yang kosong tiada batas.
 Kenapa secepat ini ibu? Apakah ibu membenciku? Mengapa aku mesti merasakan kesendirian. Tak berdaya aku menjalaninya ibu. Berat bagai batu besar yang menghujam tubuhku yang lemah. Ibu telah tiada. Ibu telah bahagia karena bebas dari rasa sakit yang dia derita selama ini. Ibu tetap hidup tetapi tak di dunia yang fanah ini. Ibu, aku merindukanmu.
     Seminggu setelah kepulangan ibu, aku hanya terdiam dan membisu. Keduanya adalah sahabat yang selalu menemaniku dalam kesendirian di rumah. Aku tak pernah memikirkan rumah yang katanya adalah sebuah istana. Bagiku tanpa ibu, rumah ini bagaikan ruangan gelap yang di jeruji oleh kekejaman semesta yang selalu mempermainkan hidup yang tengah aku jalani.Â
Aku hanya bisa memandang ibu dibalik fotonya yang senyumannya terpancar bagai sinar mentari dan rembulan. Saat ini, aku tengah ditemani tanta Susan yang tak lain adalah sahabat dekat ibu.. Dia juga dokter yang senantiasa membantu ibu dalam proses pemulihan sakit yang diderita. Kebetulan tanta Resa tak bersuami karena hidupnya mengabdi untuk melayani orang sakit.Â