Aku menuruni tangga penuh hening. Barangkali sunyi dan sepi adalah sahabat terbaik bagiku. Aku mencoba merangkai kata demi kata agar kata maaf tersampaikan. Sesampainya di dapur aku tengah melihat ibu yang tengah sibuk membersihkan peralatan makan dengan penuh semangat. Seketika terlintas dalam pikiranku untuk memeluk ibu. Aku pun melakukan sesuai intuisi yang ada pada diriku.
"selamat pagi ibu. Aku minta maaf ibu…" kataku sembari memeluk erat tubuh ibu.
"Tidak apa-apa nak. Itu hal biasa sebagai anak menanyakan keberadaan ayahnya. Jadi, akan ada saatnya kamu tahu semua yang terjadi pada masa lalu ibu." balas ibu sembari membalas pelukanku dengan senyuman hangat penuh kasih sayang.
"Cukup bu. Aku tak mau hal semalam terjadi. Aku tak mau ibu membenciku karena keegoisanku. Aku ingin ibu terlihat bahagia serupa aku bahagia memiliki ibu"
"Sudah, lekas mandi dan sarapan. Ingat, hari ini kamu sekolah." Aku pun beranjak untuk mempersiapkan diri berangkat sekolah. Benar, hari ini begitu indah karena ibu memaafkanku dengan tulus. Setelah sarapan , ibu mengantarku ke sekolah dengan mobil inova merah miliknya.Â
Kebetulan tempat kerja ibu juga searah dengan sekolahku. Pekerjaan ibu adalah pegawai negeri di institusi negara yang bermuara pada keadilan masyarakat atau kerap disebut kantor pengadilan. Aku ingin seperti ibu, wanita kuat dan berkarir. Kata ibu, semua karena belajar dengan tekun.
     Waktu demi waktu berlalu tanda bahwa waktu memang benar-benar fanah. Hingga suatu hari yang tak kusangka datang tak terduga. Ibu terjatuh dan pingsan di dapur saat hendak mempersiapkan makan malam. Melihat itu, serentak aku meneteskan air mata yang tak pernah kubiarkan menetes sia-sia terjatuh begitu deras. Bahkan tak setenang air sungai yang mengalir begitu tenang.
 Aku mencoba membangunkan ibu dengan air mata yang mengalir tiada henti. Aku menatap wajah ibu yang penuh basah karena air mataku. Wajahnya begitu pucat pasih, tubuhnya terlihat lemah tak berdaya. Tak perlu menunggu lebh lama, aku menelpon pihak medis untuk segera menolong ibuku.Â
Setelah tiga puluh menit berlaku, mobil putih bertulis Ambulance muncul tepat di pekarangan rumahku. Aku hanya terdiam dan membisu sembari menatap sendu tubuh ibu yang dipapah oleh pihak medis. Aku tak tega melihatnya. Setelah sejam menunggu di ruang tunggu tepatnya di depan ruangan bertuliskan UGD, seorang dokter yang memeriksa ibu keluar dan bertemu aku sebagai keluarga satu-satunya.Â
Dokter menjelaskan bahwa ibu mesti dirawat hingga waktu yang tidak pasti. Saat aku bertanya tentang sakit yang menderita ibu, dokter terdiam dan mencoba menyembunyikan sesuatu dari aku. Tanpa menunggu jawaban dari dokter, aku segera masuk ke. ruangan dimana ibu berbaring tak berdaya. Sesampainya di dalam, aku melihat ibu tengah tersenyum penuh kehangatan nan bermakna memandang aku yang begitu cemas dan takut.
 Aku pun memeluk ibu dengan erat dan enggan tuk melepaskannya. Memandang orang yang aku cintai dan sayangi terbaring lemah, ingin rasanya aku berteriak kepada semesta mengapa harus ibuku? Pasrah dan sabar serta penuh pengharapan agar ibu seperti lekas sembuh adalah satu-satunya hal yang bisa kulakukan.