Mohon tunggu...
Melchior Purnama
Melchior Purnama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Filsafat Di Institut Filsafat Dan Teknologi Kreatif Ledalero

Saya menyukai dunia tulisan entah itu artikel ilmiah, sastra, dan lain sebagainya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibuku Kupu-Kupu Malam

21 November 2024   22:02 Diperbarui: 22 November 2024   15:22 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 "Sophia, ingatlah satu hal bahwa Cantik itu luka". Demikian kata ibu saat aku beranjak usia ke dua belas tahun. Saat itu, masih terpikirkan olehku bahwa kata-kata ibu sungguh sebuah lelucon belaka. Mengingat aku yang begitu polos menanggapinya dengan cengengesan karena tak mengerti. Sejujurnya, aku masih tak mengerti perihal perkataan ibu kala itu. 

Bagiku, masa itu adalah masa infantil atau kekanak-kanakan dalam hidupku. Jadi, aku tak pernah memikirkan setiap detail kata yang terucapkan ibu. Yang aku mengerti adalah ibu sungguh menyayangiku tiada taranya. Bahkan, kasih ibu tak pernah terukur dalamnya. Dalam setiap doa kecilku, aku selalu memanjakan diri dihadapan Tuhan saat bercakap dalam keheningan. Dalam hening yang berbicara, aku selalu berharap ibu lekas sehat selalu walau tertelan waktu hingga rambutnya yang hitam pun memutih. 

Kadangkala, aku banyak menghabiskan waktu bersama ibu. Dia selalu ada bagiku. Setiap malam ibu selalu memberikan cerita pengantar tidur. Sesekali ibu memainkan sebuah lagu ditemani dia yang berdawai. Selera musik yang ada pada ibu tak diragukan lagi. Ibu adalah teman bagiku. Dan aku bersyukur atas kehadiran ibu yang mengalahkan segala kehadiran.

 Hingga waktu berlalu, tak dipungkiri aku berada pada titik ketidakberdayaan. Wajah ibu yang begitu cantik dan secara genetik diwariskan kepadaku kian memudar. Namun, tak pernah sekalipun aku sangkal bahwa kecantikan ibu tak ada duanya. Hingga rambut hitam ibu memutih, dan nafasnya tersengal karena derita yang dialaminya. 

Anehnya, ibu mampu menyembunyikan rasa sakit yang dia derita dihadapanku. Aku tak berdaya saat melihat wajah cantik penuh senyumannya berubah masam di atas tilam ruang bercat putih penuh bau obat-obatan itu. Dan ibu kembali berpesan yang sama "cantik itu luka, sophia" saat terakhir sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. 

Di akhir kisah ibu, aku mendapat berita yang tak pernah aku ketahui sebelumnya bahwa ibu mengidap penyakit kanker payudara. Konspirasi antara ibu dan dokter yang melayaninya begitu apik menyembunyikan cerita tragis dari diriku yang tak lain buah hatinya. Mengapa ibu? Kisah hidup ibuku yang penuh petaka. 

Akankah kisah ibu akan serupa diriku? Entahlah, tetapi kata orang "buah jatuh tak jauh dari pohon". Dan akankah seperti itu? Bukankah aku berbeda dari ibu. Mengapa mesti sama? Dan bukankah aku yang menjalani takdirku?. 

Begitu banyak pertanyaan yang terngiang dalam pikiranku saat aku kembali menatap sendu foto ibu yang terpampang dalam bingkai bunga mawar itu. Aku pun tak pernah menemukan jawaban atas tanya itu. Siapakah aku? Pertanyaan penuh retoris nan reflektif ini memberi aku jawaban bahwa " aku adalah pertanyaan yang belum usai dijawab". Oleh karena itu, bagiku hidup adalah sebuah pertanyaan yang jawabannya bersembunyi dibalik tirai misteri penuh ketidaktahuan.

       Sekilas tentang diriku. Namaku Sophia Jetia. Nama yang ibu sematkan sebagai bentuk syukurnya atas hadir diriku yang menemaninya dalam kisah hidup penuh misteri ini. Kata ibu, nama sophia berarti " bijaksana" dan Jetia adalah nama ibu sendiri. Ibu mengatakan bahwa aku mesti tumbuh menjadi gadis yang bijaksana. Tak hanya berparas cantik atau rupawan bak bidadari, haruslah bijaksana juga dalam menjalani hidup. 

Aku di mata banyak orang dikenal "si cantik". Tetanggaku menganggap aku sebagai gadis yang penuh pesona karena kecantikkan yang aku miliki. Bahkan mereka berniat menjodohkan aku dengan anak-anak lelaki mereka. Tetapi, mereka sadar

bahwa aku tak layak bagi anak mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun