Mohon tunggu...
Melbvin Datu Madika
Melbvin Datu Madika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Hukum

You don't have to be great to start, but you have to start to be great

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dilema Digitalisasi: Menyelaraskan Penggunaan Media Sosial dengan kode Etik Profesi Hakim

29 November 2024   00:00 Diperbarui: 29 November 2024   00:52 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hakim (Sumber: Media Indonesia)

Digitalisasi telah membawa dampak signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk cara manusia berkomunikasi dan berinteraksi. Salah satu bentuk paling menonjol dari digitalisasi adalah kemunculan media sosial. Media sosial memberikan ruang bagi individu untuk berbagi informasi, mengekspresikan pendapat, serta menjalin komunikasi lintas batas geografis dengan kecepatan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Namun, kehadiran media sosial juga membawa tantangan, terutama dalam konteks profesi yang sangat sensitif terhadap persepsi publik, seperti hakim.

Sebagai penjaga integritas dan imparsialitas peradilan, hakim diwajibkan untuk menjaga martabat, independensi, serta kepercayaan publik terhadap institusi peradilan. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) menegaskan bahwa hakim harus menghindari segala bentuk tindakan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan atau merusak reputasi profesi mereka. Aktivitas di media sosial, jika tidak dikelola dengan hati-hati, dapat menjadi ancaman nyata terhadap prinsip-prinsip ini. Hakim dapat dihadapkan pada situasi sulit di mana kebebasan berekspresi bertentangan dengan tuntutan etika profesi.

Permasalahan ini juga diakui dalam dokumen yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial, yang menjelaskan bahwa penggunaan media sosial oleh hakim harus dilakukan secara bijaksana dan sesuai dengan batasan kode etik. Hakim diharapkan tidak hanya menjaga netralitas dalam pengambilan keputusan, tetapi juga dalam segala bentuk komunikasi yang dapat diakses publik, termasuk di dunia maya. Fenomena ini menggarisbawahi pentingnya menyelaraskan perkembangan teknologi dengan nilai-nilai etis yang melekat pada profesi hakim.

Hakim harus bisa memahami bagaimana batasan berekspresi di media sosial sesuai dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), dan dapat mempertimbangkan apakah aktivitas media sosial hakim dapat memegaruhi kepercayaan publik terhadap independensi dan impartasi peradilan, serta langkah apa yang dapat dilakukan untuk menyelaraskan media sosial oleh Hakim dengan Kode Etik Profesi. 

Regulasi terkait hal ini belum diatur secara spesifik namun tetap ada peraturan yang dapat dijadikan landasan hakim dalam berekspresi namun tetap dalam batasan-batasan agar martabat Hakim dapat tetap terjaga,  seperti Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dalam pasal 28E ayat (2) dan pasal 28J ayat (2), Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 3 ayat (1) Pasal 4 ayat (2), Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara spesifik diatur dalam pasal 3 dan pasal 4, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dab Transaksi elektronik dalam pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2), dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2016 tentang Penegakan Disiplin Kerja Hakim yang mengatur Disiplin Hakim untuk menjaga integritas dan Profesionalisme.

Hak kebebasan berekspresi hakim di media sosial bukan hak mutlak. Sesuai Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, kebebasan ini dibatasi oleh hukum dan nilai keadilan. Hakim, sebagai pelaksana fungsi yudisial, harus mematuhi KEPPH yang mengatur perilaku agar tidak merusak kepercayaan publik terhadap peradilan. Penggunaan media sosial seperti berkomentar tentang isu-isu politik, mendukung pihak tertentu, atau membagikan opini yang kontroversial dapat dianggap melanggar kode etik. Hal ini karena aktivitas tersebut dapat menciptakan persepsi bias terhadap hakim dan memengaruhi independensi mereka. 

Hal inilah yang dapat menjadi pengaruh terhadap integritas dan kepercayaan publik terhadap Hakim, Ketidakhati-hatian dalam menggunakan media sosial dapat memicu anggapan bahwa hakim memiliki afiliasi atau preferensi tertentu, yang bertentangan dengan prinsip independensi. Pasal 3 dan Pasal 4 KEPPH mewajibkan hakim untuk menjaga keadilan dan menghindari tindakan yang dapat merusak kepercayaan publik. Sebagai contoh, dalam beberapa kasus internasional, unggahan media sosial hakim yang menunjukkan dukungan terhadap kelompok tertentu menjadi dasar gugatan atas keputusan peradilannya. Kejadian serupa dapat terjadi di Indonesia jika tidak ada pengawasan ketat terhadap aktivitas media sosial hakim. 

Sayangnya, Peraturan terkait penggunaan media sosial oleh hakim saat ini belum diatur secara spesifik. KEPPH dan Peraturan Mahkamah Agung hanya mengatur prinsip-prinsip umum tentang integritas dan profesionalisme. Oleh karena itu, diperlukan pedoman yang lebih rinci untuk mengatur batasan aktivitas media sosial hakim agar sesuai dengan etika profesi.

Beberapa saran yang dapat dijadikan pertimbangan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial agar Hakim dalam bersosial media tetap terjaga dalam batasannya yaitu, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial harus menyusun pedoman khusus yang mengatur batasan penggunaan media sosial oleh hakim, termasuk larangan berkomentar tentang isu yang sedang diperiksa atau terlibat dalam diskusi politik publik, kemudian perlunya Komisi Yudisial dalam meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas digital hakim dengan cara yang tetap menghormati hak privasi mereka. 

Kesimpulannya, perkembangan digitalisasi, khususnya melalui media sosial, membawa dampak besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk profesi hakim. Di satu sisi, media sosial memberikan ruang untuk berbagi informasi dan berkomunikasi secara luas, tetapi di sisi lain, aktivitas hakim di media sosial menimbulkan tantangan terhadap independensi, imparsialitas, dan kepercayaan publik terhadap peradilan.

Hakim dihadapkan pada batasan kebebasan berekspresi yang diatur oleh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), serta regulasi lainnya seperti Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Kebebasan berekspresi mereka tidak bersifat mutlak, karena harus dibatasi oleh nilai-nilai keadilan dan kebutuhan untuk menjaga reputasi institusi peradilan. Aktivitas media sosial yang tidak terkendali dapat menciptakan persepsi bias dan menurunkan kepercayaan publik terhadap independensi hakim.

Sayangnya, regulasi yang secara spesifik mengatur penggunaan media sosial oleh hakim masih terbatas. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis seperti penyusunan pedoman khusus, pelatihan etika digital, pengawasan aktivitas digital, dan penerapan sanksi untuk memastikan penggunaan media sosial tetap sejalan dengan kode etik profesi hakim. Dengan pendekatan ini, diharapkan hakim dapat memanfaatkan media sosial secara bijak tanpa mengorbankan prinsip keadilan dan profesionalisme mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun