Hakim dihadapkan pada batasan kebebasan berekspresi yang diatur oleh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), serta regulasi lainnya seperti Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Kebebasan berekspresi mereka tidak bersifat mutlak, karena harus dibatasi oleh nilai-nilai keadilan dan kebutuhan untuk menjaga reputasi institusi peradilan. Aktivitas media sosial yang tidak terkendali dapat menciptakan persepsi bias dan menurunkan kepercayaan publik terhadap independensi hakim.
Sayangnya, regulasi yang secara spesifik mengatur penggunaan media sosial oleh hakim masih terbatas. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis seperti penyusunan pedoman khusus, pelatihan etika digital, pengawasan aktivitas digital, dan penerapan sanksi untuk memastikan penggunaan media sosial tetap sejalan dengan kode etik profesi hakim. Dengan pendekatan ini, diharapkan hakim dapat memanfaatkan media sosial secara bijak tanpa mengorbankan prinsip keadilan dan profesionalisme mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H