Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang mendunia, dikenal karena memiliki keistimewaan tersendiri tidak hanya dari segi motif yang kaya makna, melainkan juga dari teknik pembuatan dan pewarnaannya. Di antara banyaknya aspek yang membedakan batik, penggunaan jenis pewarna memiliki posisi istimewa Pada era modern ini industri tekstil menghadirkan berbagai perkembangan dalam proses produksi batik, mulai dari variasi pewarna kimia, hingga proses produksi batik sendiri yang mulai berinovasi dari metode manual, seperti batik celup, batik tulis, kini mulai beralih ke metode cetak/printing. Perdebatan antara pewarna alami dan pewarna kimia terus berlangsung, dimana pewarna kimia yang mulai mendominasi pasar karena kepraktisan dan ketahanannya, serta banyaknya variasi warna yang disediakan tak dapat dipungkiri memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Sebaliknya, pewarna alami memiliki sifat ramah lingkungan dan memiliki warna khas yang tidak dapat ditiru oleh pewarna kimia, disamping lama proses pembuatannya dan hasil yang ditawarkan mungkin tidak secerah batik dengan pewarna kimia. Penggunaan batik dengan pewarna alami juga menghadirkan nuansa alam dalam setiap helai kain yang menciptakan hubungan mendalam antara tekstil dan lingkungan sekitar.Â
Desa Wonoasri yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Â merupakan salah satu desa penyangga TNMB yang terkenal akan keanekaragaman hayati yang dimilikinya. Diresmikan sebagai pusat batik warna alam TNMB yang diberdayakan oleh Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) dan bekerja sama dengan Universitas Jember, menjadikan desa ini kian berkembang dan inovatif dalam berbagai aspek, mulai dari pengembangan ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan potensi alam, salah satunya melalui kerajinan seni batik. Kelompok Batik Kube (Kelompok Usaha Bersama) Kehati di Desa Wonoasri mengembangkan usaha batik dari berbagai bahan pewarna alami, salah satunya adalah tanaman indigofera. Tanaman indigofera terkenal dapat memproduksi zat warna indigo, atau biasa disebut indigotin yang dapat menghasilkan warna biru alami.
Proses untuk mendapatkan pewarna alami dari tanaman indigofera diawali dengan proses fermentasi, dimana daun dan batang tanaman indigofera direndam dalam air selama 2-3 hari. Tanaman indigofera mengandung glikosida indikan, yang mana selama proses perendaman dengan air, akan terjadi proses hidrolisis oleh enzim yang akan mengubah indikan menjadi indoksil (tarum putih) dan glukosa. Indoksil kemudian dapat dioksidasi menjadi indigo (tarum biru). Setelah fermentasi selesai, daun dipisahkan dari air fermentasi dan dipindahkan ke dalam alat pengaduk. Pada tahap ini dilakukan penambahan air kapur dan dilakukan pengadukan hingga campuran sedikit mengental. Penambahan air kapur ini bertujuan untuk membantu proses pengendapan atau presipitasi pigmen indigo yang larut dalam air.Â
Dengan menggunakan pengadukan manual, proses ini biasanya memakan waktu 2-4 jam. Namun, berkat inovasi alat ekstraktor yang dikembangkan oleh Tim Promahadesa UNEJ sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dan UMKM setempat, waktu pengadukan dapat dipersingkat menjadi hanya 25-30 menit. Setelah campuran mengental, dilakukan penyaringan menggunakan kain untuk memisahkan padatan dari cairan. Padatan yang terbentuk kemudian diambil, dan sebelum digunakan sebagai pewarna perlu terlebih dahulu ditambahkan air gula merah. Proses penambahan air gula bertujuan untuk memperbaiki kualitas pewarna yang dihasilkan. Gula merah berfungsi sebagai bahan pengikat yang membantu menjaga kestabilan pigmen indigo selama proses pewarnaan pada kain, sehingga warna yang dihasilkan lebih cerah dan tahan lama. Pewarna alami pun siap digunakan untuk pewarnaan kain atau tekstil.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H