Beberapa tahun lalu saya sempat bertegur sapa dengan teman lama semasa sekolah menengah. Basa-basi satu dua hal dan berakhir dengan pertanyaan pada usia berapakah saya akan menikah. Saya lupa jawaban saya saat itu, yang jelas saya ingat responnya terhadap jawaban saya.
"Usia maksimal perempuan sebelum mendapat label tidak laku adalah 25 tahun"
Saat itu saya hanya menganggapnya sebagai saran serampangan yang tidak betul-betul saya masukkan ke otak. Namun jika dipikir-pikir itu adalah salah satu bentuk bagaimana masyarakat mempersepsikan perempuan yang tidak kunjung menikah sebagai barang yang tidak laku.
Menurut teori-teorian saya yang mungkin jauh dari benar, orang zaman dulu alias manusia purba mempunyai urgensi untuk memiliki anak sesegera mungkin karena keperluan kelompok: agar kelompoknya cukup besar dan memungkinkan regenerasi lebih cepat jika anggota kelompoknya beranak-pinak dalam usia dini.Â
Namun, dengan posisi Indonesia sebagai negara dengan penduduk terpadat keempat di dunia (jika belum bergeser), apakah hal itu masih kontekstual dengan permasalahan yang ada?
Tentu dengan asumsi bahwa setiap perkawinan akan menghasilkan keturunan, sebab Indonesia belum terlalu akrab dengan pilihan untuk menikah tanpa memiliki anak biologis.
Beberapa kali saya sempat mendengar opini dari teman-teman saya yang juga akan menamatkan pendidikan tingginya, bahwa selepas lulus mereka akan segera menikah. Terlebih mereka juga punya target menikah sebelum usia tertentu. Yang saya tahu, pendidikan mengurangi kemungkinan pernikahan dini, tetapi yang saya tidak tahu sampai umur berapakah pendidikan sukses menekan pernikahan muda pada realitanya.
Satu hal yang saya amati dari orang-orang itu (terlepas dari kecilnya sampel), kesemuanya menganggap orang yang memiliki target menikah dengan usia yang lebih tua adalah sesuatu yang salah. Beberapa darinya malah menggurui saya bahwa perempuan memang harusnya menghentikan pendidikannya dulu ketika sudah "diminta" oleh lelaki.
Saya kira hanya pada zaman kerajaan saja di mana ketika ada seseorang (raja) meminta sesuatu harus pada saat itu pula dikabulkan. Memang mereka punya otoritas macam apa untuk mengubah rancangan hidupmu?
Dari spesies manusia yang sama seperti di atas, ada dua hal yang saya sayangkan:
Pertama, ternyata pendidikan tinggi tidak mendorong angka usia perkawinan sesignifikan yang saya kira.
Kedua, hal yang sama ternyata tidak berhasil menyadarkan mereka bahwa jika mereka hidup di bawah air, mereka tidak akan merasakan airnya sampai mereka terpancing ke luar oleh kail nelayan. Mereka tidak sadar sudah berpikir menggunakan standar tertentu dalam masyarakat dan bahwa ada standar lain selain milik mereka yang hanya akan mereka sadari ketika mereka menanggalkan pola pikir itu.
Apakah salah bila memiliki keinginan tertentu pada usia tertentu? Sayangnya saya akan bilang tidak. Sangat wajar dan normal. Namun akan membuat saya mengerutkan segenap otot-otot wajah saya dengan sangat jijik ketika mereka merasa bahwa keinginan itu adalah kondisi ideal yang harus ada dalam masyarakat.
Menarik Konsep Pernikahan ke dalam Realita
Saya teringat beberapa FTV yang saya pernah tonton saat saya duduk di bangku sekolah dasar dulu. Premis yang berkembang kala itu adalah seputar sepasang kekasih yang ingin menikah tetapi si lelaki tidak cukup mapan untuk standar orang tua si perempuan.Â