Pada usia ketika lariku akan disambut tawa orang-orang, aku lebih memilih melengket pada satu perempuan. Berlari dari belakang dan mengagetkannya. Aku tidak tahu sepintar apa aku saat itu karena aku tahu bahwa ekspresi terkejutnya  selalu palsu, ia hanya pura-pura kaget untuk menyenangkanku. Untung saja aku tidak terlalu memikirkan itu.
Aku suka sekali aroma tubuhnya pukul enam pagi saat aku berlari-lari atau berpura-pura membantunya menyapu pelataran. Sesekali aku akan menenggelamkan kepalaku yang masih seukuran kelapa yang belum masak ke tubuhnya yang sudah harum sedari matahari belum terbit.Â
Aroma tubuhnya seperti tepung agar-agar yang bungkusnya selalu kupungut ketika ia memasakkan agar-agar untukku. Jenis wewangian yang membuatmu berpikir bahwa sumber wangi itu bisa dimakan. Menunjukkan pula bahwa sumber wangi itu sangat aman karena tidak seperti parfum yang tidak bisa diteguk, tepung agar-agar punya kelebihan bisa dimakan.
Perempuan berhidung mancung ini selalu menjawab pertanyaan-pertanyaanku, permintaan-permintaanku, seolah tahu bahwa selepas umur tujuh, anak kecil akan puas mengemis permintaan dan mendewasa dengan cepat.
Ia jugalah yang bertanggungjawab atas pengetahuanku bahwa ketika aku tidak memberi seseorang makanan yang sama dengan yang kumakan, setidaknya aku harus menyembunyikan itu darinya.Â
Ia mengajariku bahwa ketika tangan kanan memberi, bahkan seluruh jari-jari tangan kanannya tidak wajib tahu apa yang diberikan melaluinya.
Kadang aku berpikir, bahwa mestinya aku minta maaf pada anak-anakku kelak karena mereka tidak akan mendapatkan ibu yang seperti ibuku. Ibu yang pukul lima pagi panik membawaku ke rumah bidan hingga keliru mengenakan sendalku yang kekecilan di kakinya yang besar.
Ibu yang keliru mengenakan sprei untuk menggendong bayi ketika bangun dalam keadaan listrik mati dan harus keluar rumah karena suatu hal. Aku juga penasaran kenapa ia keluar rumah malam-malam dengan membawaku dan adikku dalam gendongan, yang kuingat ia menyambut bapak yang baru bubar dari tahlilan.
Pernah suatu ketika, aku memotong percakapan ibu dengan cucu pertamanya, tanyaku, mengapa menggunakan istilah rumit yang keponakanku tidak akan mengerti? Bagaimana mereka akan belajar bila kita terbiasa menyederhanakan segala sesuatunya? Jawabnya. Untuk pertama kalinya aku sadar bahwa aku tidak tahu apa-apa.
Harusnya nanti selepas ibu pensiun dari pekerjaannya, kubuatkan lembaga kursus yang mempelajari cara menjadi ibu yang baik. Akan kubikinkan sertifikat tanda kelulusan dengan kriteria lulus beberapa SKS dan akan ditandatangani ibuku sendiri. Jika saja ukuran menjadi ibu yang sukses tidak dilihat dari outputnya (baca: aku), sudah akan kubuatkan lembaga kursus itu.
Dulu ketika lulus dari sekolah dasar, ibu menuturiku untuk membetah-betahkan diri tinggal di rumah orang. Kata ibu, ia pernah mendengar dari kyai entah siapa, bahwa anak tidak akan mendapat apapun jika dibuai orang tuanya melulu. Dengan mata merah tertahan, aku iyakan. Cukup masuk akal, pikirku.
Sekarang aku sudah tidak mudah rindu rumah. Entah karena sudah terbiasa atau mataku yang tambah buram saja karena susah mengenali mana rumah mana rumah-rumahan. Yang jelas hal pertama yang kucari ketika sampai di rumah tetaplah ibu.
Saat baru lulus sekolah dasar pula, rankingku pernah terjerembab ke angka belasan. Lingkungan yang kompetitif mungkin penyebabnya. Saat itu aku masih bangga dengan rankingku mengingat anak-anak lain memasukkan gulungan kertas-kertas kecil kala aku tidak melakukannya, aku bangga dengan tingkat kekeraskepalaanku.
Ibu yang mengambil raporku tidak marah sama sekali. Ia bahkan tidak membicarakan ketersungkuran peringkatku sebagai suatu yang memalukan. Sedangkan bapak hanya mengejekku, membuatku berpikir bahwa nanti aku juga tidak akan memaksa anakku ada di atas rantai peringkat sekolah.
Mungkin dari sekian kilogram kebaikan-kebaikan ibuku, hanya ada satu yang kurasa jadi kekurangannya. Ia tidak percaya sepenuhnya bahwa aku bisa melakukan urusanku sendiri. Tapi itu bukan masalah besar, nanti bila aku sudah menghasilkan penghidupan sendiri, toh ia akan melihatku sebagai seorang yang kredibel.
Dalam hal tutur kata, ibuku yang mengajarkanku jangan sampai nafasmu saat bertutur bisa menerbangkan sehelai kapas yang ditempatkan di depanmu. Jangan sampai membuat orang menoleh untuk mencari tahu siapa yang tengah bicara. Semua tersampaikan tanpa kata.
Tidak sekalipun kami dibentuk untuk menjadi istri orang. Tidak pula kami diperintah melakukan sesuatu agar kelak cepat dinikahi lelaki. Ibu mengisyaratkan bahwa menikah bukanlah tujuan hidup nomor satu. Tidak ada angka yang memagari kami agar cepat menyelesaikan studi sebab takut dimakan usia dan tak seorang pun mau meminang.
Jika orang-orang di luar sana menganggap privilege (hak istimewa) adalah terberkati dengan orang tua yang kaya atau darah bangsawan yang disegani, mungkin mereka harus mendefinisikan sekali lagi makna hak istimewa. Bahwa memiliki ibu yang ideal bukanlah sebuah keniscayaan dan karena itu cukup baginya untuk dikategorikan sebagai hak istimewa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H